23 | Meniti Kebersamaan

751 208 18
                                    

Jangan menyerah hanya karena satu pintu tertutup.

¤•¤

Tidak terasa Sabtu ini adalah hari libur pertama mereka di semester ganjil. Sekalipun nilai rapotnya tidak pernah sebagus para juara kelas, tapi Audri sangat bersyukur karena mamanya tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Katanya, asal dirinya sudah mengetahui mimpi yang ingin dicapai dan bagaimana cara mendapatkannya, itu sudah lebih dari cukup. Tentu saja Audri tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan tersirat yang selalu mamanya berikan selama ini.

Dan sebagai bentuk terima kasihnya pada Genta yang telah membuat pundi-pundi pendapatannya meningkat drastis selama beberapa bulan terakhir, pun juga ilmunya yang bertambah dalam membuat berbagai macam hidangan pastry—karena sudah diijinkan bergabung dengan Monochrome Cafeè, Audri mengajak Genta pergi ke Dufan. Sejujurnya, itu salah satu keinginannya sejak pindah ke Jakarta. Dulu sempat ingin mengajak Deva dan Gia, tapi Audri belum memiliki cukup uang untuk membayar tiket sendiri, jadi tentu saja niat itu harus diurungkan.

"Ih, kok, tetep elo yang bayar, sih?? Kan, gue janji mau traktir ke Dufan," keluh Audri saat Genta sudah lebih dulu mengeluarkan uang saat membeli tiket masuk.

Genta mengambil tiket, lalu menoleh kecil pada Audri dan mengajak cewek itu berjalan ke pintu masuk. "Ya, nggak apa-apalah. Bingung juga gue ngabisin duitnya gimana," balasnya, mengedikkan bahu singkat. Belum lagi wajahnya yang dibuat-buat penuh kesombongan, tentu membuat Audri mencibir dengan delikan kesal. Dan Genta langsung terkekeh melihat wajah kesal yang sayangnya sangat menggemaskan baginya itu. "Nanti traktir makan aja, gimana?"

Audri masih merengut sebal. Dia memang perhitungan soal pengeluaran, tapi jika sudah berniat memberi atau membayari sesuatu, pantang baginya untuk tidak melakukan.

"Ya ampun, ngambek," sela Genta dengan dengusan geli, dan tangan yang mengacak-acak rambut halus Audri. "Ngambeknya lucu banget."

Hah? Oh, astaga.

Audri yakin kalau pipinya pasti sudah memerah sekarang. Sial, sepertinya Genta memang pantas mendapatkan julukan penakluk cewek di Nawasena! Masa hanya bersikap seperti ini saja, hatinya kembali berdebar aneh?!

Genta mengulum senyum. "Beneran, nanti traktir makan aja, oke?"

Kepala Audri mengangguk kaku. Debarannya masih terus menggila apalagi saat Genta menggandeng tangannya melalui pintu masuk. Tetapi Audri berusaha mengabaikan keanehan pada detak jantungnya dengan memperhatikan sekeliling. Senyumnya terbit saat melihat berbagai wahana di sana. "Ta! Naik itu, yuk?"

"Halilintar?" sahut Genta dengan kernyitan di kening. "Naik yang ringan-ringan dulu kali."

"Yee, maksudnya istana boneka gitu? Atau kuda-kudaan? Dih, nggak mau, ah!"

Genta tertawa kecil. "Ya udah, kita list-in dulu mau naik apa aja gimana? Biar nggak kelamaan milih."

Audri mengangguk-angguk saja. Masih terlalu antusias. Pilihan Audri jatuh pada semua wahana yang termasuk wahana ekstrim di sana. Awalnya Genta berpikir bahwa Audri hanya sembarangan memilih, tapi setelah menaiki Tornado dan Histeria dan cewek itu masih tersenyum lebar penuh kebahagiaan, Genta hanya mampu menggelengkan kepala dengan keberanian cewek itu.

Yeah, that's mine.

Di belakang Audri, Genta masih mengulas senyuman. Sekalipun selalu meyakini diri bahwa suatu saat Audri akan menoleh ke arahnya, tapi Genta tidak pernah berpikir bahwa segalanya akan berjalan selancar dan semenyenangkan ini.

"Gimana kalau kita naik Baling-Baling?"

Genta tentu saja tidak keberatan. Tidak ada wahana yang ditakutinya. Hanya saja Genta harus memikirkan cewek kecil yang terlalu bersemangat ini, kan? "Udah agak siang, nih. Makan dulu, yuk?"

Limerence [Completed]Where stories live. Discover now