12 | Setitik Jejak

3.2K 859 171
                                    




"Apa pun dan siapa pun yang udah hilang dari hidup kita, bukan buat diratapi. Tapi diikhlaskan."

- Audri Felisia -

¤•¤

Audri sadar kalau perasaan senangnya saat Deva benar-benar menjemputnya dari kedai, tak akan bertahan lama. Audri amat paham kalau pada akhirnya, sekali lagi hatinya akan patah saat Deva dengan senyumnya menceritakan tentang cewek lain di depannya.

Ini hal biasa. Bahkan saat mereka sudah berpisah kota, Audri masih selalu menjadi tempat Deva bercerita tentang cewek-cewek di sekelilingnya.

Seharusnya, Audri sudah kebal. Seharusnya, Audri tak lagi membiarkan hatinya meringis karena perasaan kecewa. Karena nyatanya, mereka memang hanya bersahabat. Audri-lah yang harus mulai berkeras sadar bahwa Deva jelas tak akan meliriknya sebagai seorang cewek.

Audri masih memasang senyumnya sambil mendengar cerita Deva tentang Amira, si adik kelas yang katanya mengingatkan cowok itu akan Ola, sang mantan.

"Kemaren gue ajak kenalan." Deva mengulas senyum. "Anak kelas sepuluh. Dia masih malu-malu banget."

"Terus? Terus gimana?" tanya Audri, dengan mimik antusiasnya. Bahkan belum berganti seragam saat Deva meminta waktunya untuk mendengarkan cerita cowok itu.

Deva tertawa. Kemudian mengacak rambut Audri dengan gemas. "Terus, gue kayaknya mau coba deketin dia, deh. Gimana?"

Ya, hatinya kembali tak berbentuk. Dengan orang yang sama. Tetapi Audri tetap mengulas senyum lebarnya. Deva terlalu muluk untuk diharapkannya menjadi lebih dari seorang sahabat. Deva memiliki hampir segalanya. Cowok itu memiliki wajah yang menarik, berasal dari keluarga berada, pandai bergaul dan memiliki cukup banyak teman di mana pun cowok itu berada. Jadi, sudah seharusnya Audri tahu diri, kan?

Selamanya, upik abu tak akan pernah bisa bersanding dengan seorang pangeran.

"Cool!" Audri memekik riang, sambil menepuk bahu Deva pelan. "Pokoknya, kalo udah jadian, gue mau traktiran," pintanya, dengan senyum lebar.

Kembali Deva tertawa. "Pastilah!"

"Tapi, ini bukan pelarian kan, Dev?" Bersama Deva, Audri merasa tak perlu berbasa-basi. Sekalipun menyadari arti senyum tipis yang diberi Deva barusan, Audri ingin tetap memastikan. "Lo bilang, sebelum Ola meninggal, lo udah putus sama dia. Jadi, mestinya ini bukan pelarian, kan?"

Audri tak masalah kalau Deva tak membalas rasa sukanya, atau bahkan sekecil hal mengetahui tentang perasaannya. Itu tak apa. Asalkan, Deva bisa mulai hidup tanpa menoleh lagi ke belakang. Pada kisah apa pun di masa lalu.

"Gue masih sayang dia waktu putus, Dri." Deva selalu mengulang kalimat yang sama setiap kali membicarakan Ola. Tarikan napasnya terdengar. "Tapi kami nggak bisa terus bareng."

Iya, Audri tahu itu. Hubungan dengan sang papa-lah yang membuat Deva memilih pindah ke Jakarta.

"Gue boleh bilang sesuatu?"

Kepala Deva menoleh kecil, menatap Audri.

"Kalo lo aja belum bisa lupain Ola sepenuhnya, kenapa terus-terusan berusaha gantiin tempat dia, Dev?" Audri lalu mengulas senyum. Menatap Deva lurus. "Yaa, ini mungkin cuma sekadar teori. Tapi, kalo lo terus maksa punya hubungan baru cuma buat lupain Ola, kasian cewek itu, Dev. Walaupun cuma main-main, tapi apa lo nggak merasa jahat banget?" tanyanya.

"Gue nggak bisa liat dia buat terakhir kalinya." Deva tahu, bukan ini yang ingin diceritakannya saat meminta Audri menemaninya mengobrol. Tetapi Deva sadar, ada rasa frustasi setiap kali mengingat satu-satunya cewek yang berhasil membuatnya benar-benar menyayangi selain dengan Audri.

Limerence [Completed]Where stories live. Discover now