08 | Langkah Pertama

3.4K 651 109
                                    

"Seacak-acakan apa pun hidup gue, gue tetep percaya sih kalo nggak pernah ada orang yang bener-bener jahat."

- Januari Alaska -

¤•¤

"Kenapa si Bos?"

Firaz mengedikkan bahunya saat mendengar pertanyaan Ravi. Sejak tadi, menyadari kalau Genta hanya diam dan berbicara seadanya saja, Firaz sudah tahu kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran raja arena itu.

"Diem aja lo. Sakit gigi?" Ravi memberanikan diri bertanya, sambil menendang pelan kaki Genta.

"Mau gue tonjok?"

Balasan itu membuat Ravi meringis kecil. Kemudian berganti menatap Firaz, yang sudah mengulum tawa. Sialan.

Menyadari kalau Genta memang sepertinya sedang tidak bisa diajak bercanda, Ravi dan Firaz memilih ikut diam. Menatap ponsel masing-masing, walau mata mereka sesekali melirik ke arah Genta yang masih duduk di sofa ruang rawat Orlan, dengan tatapan menerawang. Kemudian Ravi dan Firaz saling pandang dengan tatapan bertanya, namun tanpa suara.

"Dokter bilang, kapan si Orlan bakal sadar?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Genta itu membuat Ravi dan Firaz berdeham pelan, lalu menjawab dengan gelengan kecil.

"Luka di kepala lumayan katanya. Dokter belum bisa pastiin kapan sadarnya."

Genta menarik napas. "Nyokapnya udah di telepon?"

Firaz mengerjap pelan. "Gue langsung telepon pas Orlan pertama kali diperiksa dokter," jawabnya, lalu kembali berdeham. Membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. "Tapi katanya nggak bisa balik cepet. Bokapnya masih ada kerjaan penting."

Rahang Genta mengetat. "Tai, ya?" gumamnya, dingin. "Anaknya sekarat tapi masih mikirin kerjaan."

Ravi kembali meringis. Pun dengan Firaz yang sudah menarik napas panjang. Sejak mendengar jawaban mama Orlan dua hari yang lalu, Firaz juga memikirkan hal yang sama. Setidak dekat apa pun hubungan orangtua dan anak itu, tidakkah keterlaluan jika tidak ada rasa panik di sana? Sialan sekali, kan?

"Berapa nomor telepon nyokapnya Orlan?"

"Hah?"

"Eh, mau ngapain lo, Ta?" Ravi bertanya, sedikit panik.

"Nelepon nyokapnya." Genta menjawab, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Berapa nomornya?"

Firaz terkesiap kecil. Kemudian dengan sedikit terpaksa membacakan sederet nomor telepon untuk Genta. Setelahnya, Firaz sudah melebarkan matanya karena Genta langsung menghubungi nomor itu tanpa menunggu apa pun lagi.

"Ini Genta, Tante. Temennya Orlan .. iya, mau ngabarin Orlannya masih belum sadar .. Tante kapan mau ke sini? Secepatnya itu kapan, Tan? Oh, Orlan nggak mesti mati dulu kan, baru Tante liat dia? Maaf lancang, Tante. Tapi kondisi dia emang masih nggak baik. Siapa tau kalo Tante ke sini, dia bisa pergi dengan tenang." Genta mendengus kecil saat mendengar suara perempuan di seberang sana sudah mulai meninggi. "Iya, saya tunggu Tante ke sini, biar bisa ngomelin saya langsung," lanjutnya, dengan senyum tipis. Sama sekali tak merasa bersalah. "Oke, Tante. Selamat mal—dimatiin, dong," adunya geli pada Ravi dan Firaz.

Sedangkan Ravi dan Firaz masih belum mampu bernapas dengan normal.

"Katanya malem ini mereka mau berangkat ke Jakarta." Genta memberitahu, sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. Kemudian menatap kedua sahabatnya itu dengan malas. "Pada napas, kek!"

"Ck!" Hanya decakan itu yang bisa diberikan Ravi. "Otak lo lagi geser ya, Bos? Udah tau nyokapnya Orlan itu serius banget orangnya. Gila emang!" Ravi masih tak habis pikir dengan tindakan Genta tadi.

Limerence [Completed]Where stories live. Discover now