Bahwa sesungguhnya, akan selalu ada sosok yang ingin dijaga karena menyayangi.
¤•¤
Audri sudah tertidur. Setelah menangis di pelukan sang mama. Dan Genta belum juga beranjak dari ruang tamu kecil di rumah cewek itu.
"Ini udah mau gelap. Genta mau sekalian makan di sini aja?" Ira bertanya sambil meletakkan segelas teh hangat di meja.
"Oh. Nggak usah, Tante. Habis ini saya masih mau ke rumah sakit lagi." Genta menolak dengan senyum sopan. Seumur-umur, ini pertama kalinya berinteraksi dengan ibu dari teman selain teman-teman dekatnya.
Ira tersenyum maklum. "Temen kamu beneran baik-baik aja?"
Genta menoleh kecil mendengar pertanyaan itu. Kemudian menarik napas pelan. "Kata dokter, lukanya lumayan parah. Tapi dia pasti baik-baik aja." Itulah yang selalu Genta tekankan dalam pikirannya.
Kepala Ira mengangguk pelan. "Iya. Semoga baik-baik aja. Kalian masih muda, masih banyak yang harus dicapai," ucapnya, dengan senyum lembut.
Bibir Genta sudah akan terbuka, tapi kembali mengatup karena bingung harus memulai darimana. Pertanyaan tentang keadaan Audri tertahan di bibirnya sejak tadi. Ingin bertanya, tapi takut merasa terlalu ikut campur. Apalagi ini pertama kali dirinya bertemu mamanya Audri.
"Audri dari dulu emang nggak bisa lihat orang pukul-pukulan gitu. Apalagi sampai berdarah-darah." Ira memutuskan untuk bercerita. Karena sadar kalau anak muda yang sedang duduk di depannya ini seperti ingin tahu apa yang dialami putrinya.
Genta tertegun. Untuk satu informasi yang baru saja didengarnya.
"Dia bisa sesak napas. Bahkan sampai pingsan, kayak yang kamu lihat tadi."
Tanpa sadar, Genta sudah menelan ludahnya.
"Tapi nggak apa-apa. Habis ini, pasti udah baik-baik lagi. Udah bisa diajak ngobrol kayak biasanya." Ira berusaha mengulas senyum. Sekalipun matanya mungkin tak menunjukkan hal yang sama. Perasaan khawatir itu jelas masih menggerogoti pikirannya.
Genta baru saja ingin bertanya alasan mengapa Audri bisa seperti itu, saat ada yang mengetuk pintu rumah. Membuat mamanya Audri berdiri lalu berpamitan sebentar untuk membuka pintu.
"Tadi saya udah bunyi-bunyiin gembok pager, Tan. Tapi nggak ada yang denger."
"Iya, nggak apa. Masuk aja sini. Tapi Audri baru aja tidur."
"Baru sempet ke sini, Tan. Tadi abis temenin Oma periksa dulu."
Kening Genta sedikit mengernyit saat samar-samar mendengar suara mama Audri berbicara dengan seorang cowok.
"Nggak apa-apa. Ada temennya Audri juga. Dari siang di sini." Ira memberi tahu. "Tante ambil minum dulu di dapur."
"Siapa—oh, Genta?" Deva bertanya, bingung.
Sedangkan Genta tanpa sadar sudah memasang raut tak suka. Tapi segera dikuasainya kembali saat menyadari ada mamanya Audri di samping cowok itu. "Iya."
"Tau Audri sakit?" tanya Deva lagi, sambil terus berjalan masuk.
"Genta yang nolongin Audri, Dev." Ira yang menjawab sambil membawa satu gelas teh manis untuk Deva.
"Oh?"
"Iya. Kemaren nggak sengaja lewat." Genta menjawab singkat.
Kepala Deva mengangguk. "Tan, saya mau liat Audri dulu, ya?"
Masih tidur dia! Genta pasti akan mengatakan itu jika saja hanya berdua dengan Deva.
"Iya. Masuk aja. Tante nggak kunci pintunya, takut Audri kebangun nanti."

YOU ARE READING
Limerence [Completed]
Teen FictionNotes : Silakan baca selagi on going :) "Karena, menggilai seseorang itu sungguh benar adanya." Limerence. Kata benda yang berarti; sebuah kondisi saat kita sedang tergila-gila dengan seseorang. Bukan menyukai itu yang salah. Tapi kepada siapa tujua...