13 | Berteman Luka

3.3K 869 176
                                    







Mungkin memang benar, bahwa tidak tahu apa-apa kadang menjadi pilihan terbaik. Daripada tahu, tapi akhirnya hanya menimbulkan luka.

¤•¤

Awal kepergian Ola beberapa bulan yang lalu, selalu membuat Genta menginginkan jawaban akan tanya di kepalanya. Genta selalu ingin mencari tahu, tapi selalu gagal karena tak memiliki keping informasi apa pun tentang sang adik.

Karena sejak perceraian orangtua mereka, Ola tak lagi menatapnya dengan sorot kagum. Sejak mama membawanya keluar dari rumah besar milik sang papa, Ola selalu mendorongnya menjauh tiap kali Genta berusaha datang untuk mengunjungi. Selalu begitu. Bahkan setiap chat dan telepon dari Genta sangat jarang dibalas oleh adiknya itu.

Kecewa, mungkin begitu yang dirasakan Ola. Tak bisa melampiaskan pada kedua orangtua mereka, mungkin Ola memilih untuk melampiaskan padanya. Tak apa. Genta tak masalah dengan kemarahan itu. Asalkan Ola tak mendorongnya menjauh. Itu, lebih dari cukup.

Genta hanya ingin perannya sebagai kakak tetap ada. Genta hanya ingin bagiannya menjaga masih tetap diperhitungkan. Ola boleh kehilangan sosok orangtua, tapi Genta tak ingin adiknya itu kehilangan sosok kakak. Bagi Genta, cukup dirinya yang terluka sendirian. Namun ternyata, tidak dengan adik kecilnya itu.

Itu sebabnya, dulu, Genta selalu memaksa tiap kali Ola menolak kedatangannya di Bogor. Selalu terus meminta agar hadirnya diterima di sana. Tetapi sejak adiknya itu mulai memasuki sekolah menengah, Genta tahu kalau pemaksaan tak lagi bisa menggugah sosok yang disayangi lebih dari dirinya sendiri itu.

Sialnya, Genta mungkin salah langkah. Tidak lagi menolak keras bukan berarti benar-benar diterima. Mungkin, begitulah gambaran perasaan Ola padanya. Karena tetap saja, Ola menyimpan kisah sendirian. Tak lagi menjadikannya sebagai sandaran, seperti mereka masih berseragam putih-merah. Dulu.

Sampai kabar kematian itu datang untuk membunuh dunianya. Menggenapkan lagi luka yang tak pernah kunjung sembuh. Meyakini Genta, kalau kadang, semesta memang sekejam itu. Tak pernah memberi ampun pada manusia terbuang sepertinya.

Genggaman tangan Genta mengeras pada stang motornya. Mati-matian menahan air mata yang sejak tadi sudah meminta untuk dikeluarkan dengan keras.

Tidak. Genta tidak akan menangis. Tidak lagi. Itulah sugesti yang diberikan Genta pada otaknya. Sampai membuat dadanya sesak. Sampai membuat tarikan napas pelan pun terasa mencekiknya.

Tadi waktu Tante Lian beresin kamar Ola, dia liat surat ini. Jatuh dari selipan buku. Namanya buat kamu.

Genta semakin memacu motornya dengan cepat. Tak peduli pada dinginnya angin malam. Potongan ingatan saat tubuhnya berjejak di rumah sang papa, membuat Genta kembali merasa sakit.

Terserah gue-lah, Bang, mau pacaran apa enggak! Ngapain juga lo ngatur-ngatur!

Gue mau nongkrong, kek. Jongkok, kek. Rusak, kek. Biarin aja! Papa sama mama aja nggak pernah peduli, kok.

Waktu itu, Genta ingat balasan yang diberikannya pada Ola. Teriakan kalau dirinya masih sangat peduli pada adik kecilnya itu.

Oh, ya? Terus kenapa nggak minta mama bawa gue ikut kalian, Bang?

Genta merasa ada yang menampar wajahnya. Ingatan itu membuat luka.

Gue, benci banget sama kalian. Gue benci papa yang cuma tau buat bahagian istri barunya itu. Gue benci mama yang sama sekali nggak pernah nemuin gue. Dan gue, benci abang yang bahkan nggak bisa bawa gue buat ikut sama dia.

Limerence [Completed]Where stories live. Discover now