Luka Pertama

5.6K 698 760
                                    

Di sudut kafe dengan dinding kekuningan itu, Jefra membiarkan buih kopinya mengendap. Hangatnya bahkan sudah menguap. Gelasnya membeku, tetapi suara seseorang di balik ponselnya ternyata masih belum lenyap. Jefra bisa mendengar paksaan dari bagaimana perempuan itu meyakinkannya. Namun, keputusan cowok itu masih sama.

"Bukannya aku sombong dan nggak tau diri, Kak. Tapi Kakak, kan, tau aku nulis bukan karena suka."

Samar-samar, Jefra bisa mendengar suara helaan napas Dara dari seberang sana. Perempuan 27 tahun yang kini memegang status sebagai editornya itu belakangan memang jadi sering meneror Jefra. Menawarkan sejumlah proyek besar yang katanya bisa semakin melambungkan namanya di pasar buku nusantara. Namun, cowok itu tidak pernah tertarik. Tidak akan pernah.

"Iya, saya tau. Tapi potensi kamu itu sayang banget kalau dianggurin, Jef. Kamu punya passion di bidang ini. Saya tau literasi mungkin memang bukan dunia kamu. Tapi dunia literasi sekarang ini, butuh orang seperti kamu."

Detik itu Jefra mengambil jeda dan menghela napasnya. Setelah semua usaha yang ia lakukan untuk menolak keinginan gila Dara, perempuan itu ternyata masih belum menyerah juga. Cowok itu kemudian menatap lagi layar tabletnya yang masih menyala, hanya untuk menemukan pesan-pesan yang mengendap di notifikasi akun media sosial miliknya. Ada ratusan orang menandai akunnya dalam unggahan tentang buku yang telah melambungkan nama Aljefra Prasastya.

Katanya, mereka berduka. Menangis di batas pergantian hari saat langit kehilangan warna. Seperti judulnya; Ketika Langit Berduka.

Sampai suara Dara kembali menyela dan mengembalikan fokus Jefra ke tempat semula.

"Kamu tau kenapa dari sekian banyak penulis yang saya kenal, kamu yang saya pilih?"

"Karena namaku lagi booming. Strategi marketing, kan? Apa lagi emang?"

Di seberang sana, Dara mendecak. Mungkin kesal karena Jefra selalu punya cara mematahkan kalimatnya sebelum tuntas. Tetapi kemudian perempuan itu menghela napas dan Jefra bisa membayangkan bagaimana sekarang wajah Dara memerah.

"Bagus kalau kamu tau. Saya jadi nggak perlu jelasin panjang lebar tentang peluang pasar. Saya cuma mau bilang, kariermu sebagai penulis baru lagi bagus-bagusnya. Rating buku kamu bahkan tembus 4,6 bintang di goodreads. Kamu tau nggak gimana sulitnya dapat 4 bintang di sana? Bahkan penulis senior pun harus kerja ekstra keras untuk bisa dapat angka segitu. Mendiang ibu kamu, juga cuma dapat 4,1. Rastafara, penulis jebolan wattpad yang karyanya best seller di mana-mana bahkan cuma pernah dapat 4,3 bintang di sana. Tapi kamu, cukup dengan satu karya, udah bisa tembus rating setinggi itu. Kamu yakin mau sia-siain kesempatan sebesar ini?"

Gambar-gambar berwarna di layar tablet Jefra kini tak lagi menarik perhatiannya. Kata-kata penuh rima yang dirangkai sedemikian rupa mengikuti tiap unggahan yang ada juga seolah tak pernah berarti apa-apa. Maka detik itu ia keluar dari laman media sosialnya dan menatap ke luar jendela. Merekam para pejalan kaki yang datang dan pergi di seberang jalan sana.

"Masalahnya, aku nggak tau apa-apa soal tema yang mau kalian angkat itu. Apaan tadi coba namanya? Tuh, kan, baru lima menit aja aku udah lupa. Sembilan belas tahun aku hidup, denger namanya juga baru sekali ini. Kalau aku nekat, bukan nggak mungkin bintangku jatuh ke angka 2,0"

"Kamu udah pernah riset besar-besaran untuk novel sebelumnya, Jef. And you did it! So, kenapa kali ini enggak? Ini era digital. Informasi bisa didapat dari mana aja, kapan aja. Kalau kamu kesulitan, saya juga nggak keberatan direpotin. Mendiang Ibu kamu dulu juga pernah beberapa kali bantu saya di luar dari pekerjaan kita. Saya belum sempat balas kebaikan Ibu kamu, tapi beliau udah lebih dulu dipanggil. Mungkin dengan bantu kamu sekarang, sedikit demi sedikit saya juga bisa balas kebaikan Ibu kamu."

Dear, LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang