Luka ke-Enam

1.9K 406 455
                                    

Hari ini, Natra harus rela membiarkan absensinya terisi oleh keterangan sakit, setelah Pakde memaksa ia untuk tinggal di rumah dan beristirahat. Natra sendiri sudah merasa cukup baik. Setidaknya, jauh lebih baik daripada kemarin. Namun, sampai jam delapan pagi ini, entah sudah berapa kali Pakde keluar masuk kamarnya, hanya untuk memastikan ia menghabiskan sarapan dan meminum obatnya tanpa sisa.

"Udah minum obatnya?"

Laki-laki itu kembali mendekat, kali ini dengan satu piring buah yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Ia kemudian duduk di sisi ranjang Natra setelah sebelumnya meletakkan piring yang ia bawa ke meja.

"Udah, Pakde."

Anak itu mengangguk pelan. Sebisa mungkin ia berusaha menarik senyuman. Hal seperti ini hampir selalu terulang, menjadi rutinitas yang mungkin tidak akan pernah hilang. Sejak kecil, Natra terbiasa hidup dengan hari-hari yang tidak pernah tenang. Tadi pagi ia masih baik-baik saja, tetapi tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi padanya ketika siang tiba. Tidak ada yang dapat memperkirakan apakah nanti malam ia bisa tidur dengan nyaman setelah menelan sepuluh butir obat rutinnya, atau justru terjaga sepanjang malam karena tubuhnya menolak istirahat.

Natra sudah lebih dari sekadar terbiasa. Ia bahkan tidak lagi terkejut ketika malamnya ia terlelap di ranjang kamar dan paginya terbangun di brankar rumah sakit yang sama sekali tidak terasa nyaman. Namun, setiap sesuatu terjadi padanya, satu-satunya yang cowok itu khawatirkan adalah Pakde. Perasaan bersalah seketika memenuhi dada Natra, ketika ia melihat Pakde pelan-pelan mengusap punggung tangannya, kemudian menggenggamnya.

"Aku udah nggak separah kemarin, Pakde. Jangan natap aku seolah-olah aku udah sekarat banget gitu."

Garis-garis halus muncul di sekitar mata ketika Pakde menarik ujung-ujung bibirnya. Hingga kemudian ia melepas genggamannya dan menatap semua seperti biasa, meski Natra tahu lelaki itu mungkin juga tidak baik-baik saja.

"Pakde ini ... bangga sama kamu. Kalau kamu sering lihat Pakde nangis pas kamu lagi sakit, itu bukan karena Pakde kasihan, Le. Pakde selalu bilang sama Gusti Allah, sungguh luar biasa Sang Maha Kuasa yang telah menciptakan kamu di muka bumi ini."

Kali ini Natra tidak mengatakan apa-apa. Kalimat Pakde seperti air hujan yang mampu meredam seluruh gersangnya, tetapi di saat bersamaan juga seperti nyala api yang membakar dinding-dinding hatinya. Namun, jika Pakde menganggap kekurangannya sebagai hal yang luar biasa, cowok itu diam-diam menggumamkan pertanyaan yang berbeda. Ia hanya ingin tahu mengapa Tuhan menciptakan dirinya dengan takdir semenyedihkan ini di dunia?

Natra sudah cukup muak dengan segala perawatan medis yang harus ia terima sejak ia bahkan belum tahu apa-apa. Obat-obatan yang setiap hari harus ia telan pun rasanya sudah menjadi hal biasa. Ditambah lagi serangkaian terapi yang seolah tidak ada putusnya. Juga pembedahan untuk memperbaiki susunan tulang belakang di usianya yang dulu bahkan masih belum cukup dewasa. Natra bersumpah, ia sudah cukup tersiksa hidup dengan seluruh rasa sakit yang bahkan tidak dapat ia rasakan sakitnya.

Namun, seolah belum cukup sampai di sana, akhir-akhir ini ia harus kembali menerima kenyataan bahwa Familial Dysautonomia yang ia miliki telah merusak lebih banyak dari yang ia kira.

"Seperti yang pernah saya sampaikan, bahwa FD akan memburuk seiring bertambahnya usia. Pada usia anak-anak, gejala FD yang muncul biasanya berupa berkurangnya kepekaan terhadap suhu dan rasa sakit, episode muntah, buang air kecil yang tidak teratur, kelengkungan tulang belakang yang tidak normal, kualitas tulang yang buruk sehingga meningkatkan risiko patah tulang. Individu dengan FD juga memiliki regulasi tekanan darah yang buruk dan dapat terjadi sewaktu-waktu. Sekitar sepertiga anak dengan FD, memiliki ketidakmampuan belajar, rentang perhatian yang pendek, sehingga memerlukan pendidikan secara khusus."

Dear, LukaWhere stories live. Discover now