Luka ke-Dua

3K 534 561
                                    

Tidak ada yang mencoba bicara di meja yang kini kehilangan hangatnya. Makan malam itu berjalan seperti sebelumnya, di mana diamnya Papa adalah hal biasa dan Jefra pun tidak menuntut apa-apa.

Sampai kemudian cowok itu menyadari ada yang hilang dari tangan kokoh Papa. Jam tangan merk ternama yang dulu lelaki itu beli ketika berkunjung ke Kiev, Ukraina, tanah kelahiran orang tuanya. Dengan harga yang jika dirupiahkan bisa setara harga dua unit motor matic keluaran paling baru.

"Jam Papa ke mana? Biasanya nggak pernah lepas." Setelah berdeham pelan, cowok itu akhirnya membuka pembicaraan. Masih sambil menusuki potongan kentang di piringnya yang hampir tandas.

"Papa jual. Lumayan buat nutup utang sama rentenir yang dari seminggu lalu udah ribut nanyain."

Detik itu pergerakan Jefra terhenti dan fokusnya buyar. Garpu yang ia gunakan untuk menusuk kentang pun kini hanya ia genggam. Kemudian cowok itu mendongak, menatap Papa yang tampak begitu lahap menikmati makan malam, juga pergelangan tangannya yang kini hampa.

"Tapi dulu Papa beli itu sama Mama. Mama yang pilihin jamnya dan bahkan bantu buat bayar separuh harga. Papa pernah bilang kalau itu berharga." Kalimat cowok itu terhenti saat Papa meliriknya. Tatapan Papa tampak tidak terima. Gurat-gurat lelah tampak jelas di kedua mata birunya yang mulai menua.

"Papa butuh uang. Apa pun yang lebih memungkinkan untuk dijual, mau nggak mau harus Papa jual."

Jefra mengangguk paham dengan senyum yang ia paksakan. Satu irisan kentang yang tadi sudah menancap di garpunya detik itu juga ia telan. Sebelum akhirnya ia kembali menatap Papa yang tampak sama sekali tidak tertarik melanjutkan obrolan.

"Thanks, Pa," ucapnya yang kemudian mengundang decak lelah Papa.

"Apa lagi kali ini?"

"Dari apa yang Papa lakuin ini, aku belajar tentang satu hal. Bahwa yang awalnya berharga pun juga bakal nemuin waktu untuk jadi sia-sia. Roda kehidupan itu muter, dunia bergerak, nasib manusia juga berubah. Tapi ada satu yang tetep statis, tanpa kita sadari." Ada jeda yang Jefra biarkan merangkak di sana, hanya sekadar agar ia bisa menangkap bagaimana teduh di mata Papa berubah menjadi menyala.

Kemudian, cowok itu melanjutkan kalimatnya. "Kenyataan kalau hidup manusia selalu dikendaliin sama uang. Dulu Papa beli kebahagiaan pakai uang. Sekarang, Papa jual kebahagiaan Papa yang dulu, demi uang."

Sepertinya, kalimat Jefra berhasil merusak selera makan Papa. Terbukti dari bagaimana detik itu ia meletakkan sendoknya begitu saja, kemudian menandaskan air putih di gelasnya. Namun, topik itu nyatanya masih tinggal di sana meski bungkamnya Jefra seolah telah mengisyaratkan bahwa ia selesai dengan apa yang ingin ia sampaikan kepada Papa.

"Kamu kalau nggak bisa bantu apa-apa buat keuangan kita, nggak usah bicara sok bener di depan Papa. Lagian jam itu Papa jual karena memang Papa udah nggak butuh-butuh amat. Kalau Papa mau, Papa bisa pakai yang lain, yang lebih murah."

"Royaltiku masih akan cair tiap enam bulan sekali selama beberapa tahun ke depan. Apa itu belum bisa masuk kriteria bantu keuangan kayak yang tadi Papa bilang?"

"Kalau ada penjualan. Kalau enggak ada?"

Seketika pembicaraan mereka jadi terasa menjengkelkan. Jefra mulai tidak nyaman. Maka cowok itu ikut meletakkan sendoknya dan sejenak menarik napas dalam.

"Jadi Papa maunya apa?"

"Kamu nulis lagi. Jadi, kan, pemasukan kita nggak cuma dari satu judul aja."

Kedengarannya seperti Papa sedang memanfaatkan potensi Jefra untuk dirinya sendiri dan ia tidak suka.

"Papa pikir segampang itu?"

Dear, LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang