Luka ke-Delapan

1.7K 408 277
                                    

Malam sudah merangkak semakin temaram saat Jefra menyambung kembali panggilannya dengan Dara yang tadi sempat terputus karena hilang sinyal tiba-tiba. Cowok itu menyingkir cukup jauh dari kamar yang Pakde Bakti berikan secara cuma-cuma untuknya karena pertanyaan Dara membuatnya harus banyak menyebut nama Natra. Untuk itu ia membawa langkah ke beranda rumah, berusaha menjaga agar suaranya tidak mengusik siapa-siapa di dalam sana.

"Anaknya ngeselin, Kak, sumpah. Songong banget. Nggak ada sopan-sopannya gitu sama tamu. Aku, kan, baru aja dateng, ya. Ketemu dia juga belum ada semenit, lah dia udah langsung nyolot terus ngusir aku, dong."

Penolalan Natra tadi siang rupanya memang membekas begitu dalam di ingatan Jefra. Melukai seluruh usaha dan bahkan juga harga dirinya. Namun, ia juga sudah menduga bahwa Dara tidak akan mengizinkannya menyerah begitu saja.

"Pelan-pelan, Jef. Para penyintas memang kadang jauh lebih sensitif daripada kita. Jangan paksa mereka buat ngerti. Kita yang harus berusaha ngertiin posisi dan kondisi mereka."

"Tapi yang ini bener-bener ngeselin, Kak. Aku kira awalnya dia ini tipe orang yang kalem, lemah lembut, sopan, soft boy. Nyatanya ekspektasiku digempur habis-habisan sama realita. Ini anak mulutnya tajem banget kayak pisau baru diasah. Udah tajem, nyelekit juga. Aku aja kalah."

Saat itu Dara memberi jeda dengan menghela napas dan diam-diam Jefra juga melakukan hal yang sama. Aroma tanah basah sisa gerimis tadi sore merebak di udara, sejenak membuat Jefra membandingkan kota ini dengan Jakarta. Di sini bukan tempatnya, tetapi beberapa hal di kota ini seperti berbeda. Hal-hal sederhana yang ia anggap biasa di Jakarta, ternyata di sini terasa luar biasa. Ia tidak tahu bahwa petrichor yang sebelumnya tidak pernah berarti apa-apa sekarang bisa begitu menenangkan untuknya.

Sampai kemudian suara Dara terdengar lagi di antara hening yang merayap menjadi jeda.

"Tapi kamu nggak berpikir buat nyerah di penolakan pertama, kan?"

Kali ini pandangan Jefra menyisir jalanan gelap di depan sana. Memori di kepalanya memutar kembali bagaimana tadi Natra menatapnya seperti penjahat yang datang dengan membawa bahaya.

"Kalaupun aku bilang iya, Kakak pasti bakal nyuruh aku usaha lagi sampai batas di mana rasa maluku habis. Iya, kan?"

"Lebih tepatnya, sampai usahamu membuahkan hasil yang manis."

"Kak-"

"Jef, kamu itu penulis. Kalau kamu mau hasil yang maksimal untuk tulisanmu, kamu juga harus maksimalin usahamu. Penulis itu nggak cuma harus jago mainin narasi aja, tapi juga harus tahan sama tekanan dari mana-mana. Manusia selalu punya kesempatan buat nyoba. Gagal di kesempatan pertama, bukan berarti kamu bakal gagal juga di kesempatan berikutnya. Kamu baru ditolak satu kali, Jef. Masih ada banyak kesempatan buat bicara lagi sama dia. Dan itu tugasmu sekarang. Yakinkan narasumbermu, sama seperti kamu selalu meyakinkan pembacamu."

Detik itu Jefra menelan kembali seluruh kalimat yang tadi sudah tertahan di lidahnya. Kalimat Dara seperti alarm peringatan yang menyadarkan Jefra tentang siapa dirinya. Seorang penulis yang tidak pernah benar-benar mencintai pekerjaannya.

"Tapi Kakak tahu aku nggak pernah benar-benar pengen jadi penulis." Cowok itu bergumam, tidak cukup pelan sampai Data masih bisa mendengar. Perempuan itu menghela napas sebentar sebelum kembali melanjutkan.

"Seenggaknya saat kamu mutusin buat ambil proyek ini, kamu pasti punya alasan. Jadi kalau kamu nggak bisa lakuin ini atas dasar cinta kepada pekerjaanmu, bertahanlah karena alasan yang kamu pegang sejak awal. Ketika kamu punya alasan, punya tujuan, kamu mungkin akan menyesal seandainya kamu gagal, Jefra. Jadi saya harap kamu nggak egois sama dirimu sendiri."

Dear, LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang