Luka ke-Lima belas

1.6K 365 134
                                    

Jefra masih tidak bisa mencerna segalanya dengan sempurna. Bahkan setelah detik jarum jam berputar penuh hingga beberapa kali dan meninggalkan malam menuju dini hari, cowok itu masih berusaha untuk mengerti. Mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi juga apa yang mungkin telah ia lewatkan saat ia duduk di sisi Natra , sebelum anak itu tidak bisa ia bangunkan dan harus berakhir di tempat ini.  Di balik dinding-dinding mencekam unit perawatan intensif yang semakin sunyi.

Pakde sudah bicara dengan dokter dan setelah itu beliau juga memberitahu Jefra. Mengatakan agar ia tidak perlu merasa bersalah sebab semua ini sama sekali bukan kesalahannya. Kejadian ini bukan kali pertama dan dari sana Jefra akhirnya mendengar lebih banyak hal tentang bagaimana selama ini Natra hidup dengan sakitnya.

Anak itu memiliki kontrol pernapasan yang buruk hingga beberapa kali mengalami kesulitan dalam tidurnya. Terkadang ia terbangun tengah malam karena paru-parunya seperti kehilangan udara. Terkadang juga langsung tidak sadarkan diri karena henti napas yang terjadi tiba-tiba.

Sekarang, Jefra mulai mengingat detail-detail terkecil yang mungkin tadi ia lewatkan. Ketika ia bicara satu arah dan tenggelam dalam topik tentang keluarga yang ia bawa, cowok itu seolah mengabaikan segalanya. Termasuk bagaimana saat itu jendela kamar Natra masih dalam posisi menganga hingga udara malam dapat masuk ke sana, juga bagaimana anak itu mulai diam karena kesulitan meraup oksigen yang sebagian telah terbakar oleh karbondioksida.

Seandainya Jefra menyadarinya lebih awal. Seandainya ia langsung memeriksa keadaan Natra ketika samar-samar ia mendengar anak itu menghela napas berat dan kemudian diam.

"Istirahat, Le. Sudah larut banget ini. Biar Pakde aja yang begadang."

Pikiran Jefra buyar saat Pakde kembali melangkah ke lorong ruang tunggu ICU yang dingin juga temaram. Di sini, mereka tidak sendirian. Ada beberapa keluarga pasien yang juga sedang menunggu dengan terkantuk-kantuk tetapi tidak dapat sepenuhnya memejam. Jefra tidak tahu apa saja yang Pakde lakukan hingga lelaki itu menghabiskan waktu cukup lama semenjak tadi pamit untuk pergi buang air kecil ke belakang. Namun, satu perubahan besar yang ia temukan saat lelaki itu kembali adalah bagaimana wajahnya terlihat jauh lebih tenang. Lain dengan miliknya yang masih sangat berantakan.

"Gimana bisa istirahat, Pakde? Selain saya ini paling nggak bisa tidur dengan bau rumah sakit, saya juga nggak bisa tidur kalau pikiran nggak tenang," jawab Jefra kemudian. Ia biarkan Pakde mengambil posisi duduk di sebelahnya dan menghela napas panjang.

"Kata dokter, dia mungkin kecapekan. Pikirannya juga lagi nggak tenang. Entah apa yang anak itu pikirin akhir-akhir ini, tapi kemungkinan besar itu yang memicu memburuknya kondisi dia."

Kalimat Pakde terdengar begitu pelan, tetapi suasana lorong yang tenang membuat suaranya menjadi cukup lantang di telinga Jefra. Cowok itu seketika diam dan menyisir ingatannya ke belakang. Hal yang paling pertama muncul di kepala Jefra adalah kesepakatannya dengan Natra untuk pergi ke Jakarta. Untuk mencari orang tua Natra, terutama ibunya, yang entah saat ini berada di kota Jakarta belahan mana. Mungkinkah anak itu terlalu membebani pikirannya dengan itu semua?

Saat cowok itu kalut dengan pikirannya sendiri, sentuhan Pakde menenangkannya. Hangat sekali, sampai rasanya ia ingin terjebak lebih lama di sana. Menghabiskan detik hanya untuk meluapkan keluh juga segala yang selama ini mengganjal di dada. Sebab, sentuhan Pakde sama nyamannya seperti milik Papa, dulu sekali, jauh sebelum surga di rumahnya berganti menjadi neraka.

"Wis, nggak usah dipikirin. Insyaallah besok pagi dia sudah baik-baik aja," katanya, sembari menepuk-nepuk pundak Jefra. Tetapi kemudian lelaki itu diam dengan garis-garis senyuman yang perlahan memudar. Kerutan halus di sekitar matanya kini tampak begitu jelas di antara gurat lelah yang tak pernah terlisankan.

Dear, LukaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon