Luka ke-Empat

2.2K 428 355
                                    

Nama Dewanatra yang akhirnya Jefra temukan di sebuah artikel berita ternyata masih belum menyelesaikan semua beban hidupnya. Cowok itu masih harus mencari keberadaan Natra yang nyatanya tidak semudah yang ia kira.

Dua artikel yang memuat informasi tentang anak itu pun masih belum membantu banyak. Mereka hanya menuliskan nama lengkap beserta nama Sekolah Menengah Atas tempat anak itu menempuh pendidikan. Tidak ada alamat tempat tinggal Natra, atau setidaknya kontak yang dapat ia hubungi secara pribadi. Menjadikan Jefra harus berjuang mencaritahu segalanya sendiri.

Berbekalkan nama lengkap Natra, cowok itu mulai menjelajah di hampir seluruh media sosial yang ada. Namun, nama itu tidak muncul di mana-mana. Luka Dewanatra adalah nama yang langka dan tidak pernah satu kali pun ia temukan di sepanjang penelusurannya. Saking kesalnya, Jefra sempat heran, anak itu hidup di zaman apa sampai media sosial pun tidak punya?

Namun, cowok itu tidak berhenti sampai di sana. Natra adalah satu-satunya narasumber yang ia punya, maka sebisa mungkin ia harus menemukan di mana anak itu berada. Sekalipun tidak bisa bertatap muka, setidaknya mereka harus bisa berbicara. Maka dengan tekad yang kembali bulat, Jefra melanjutkan lagi pencarian yang sempat tertunda semalam karena cowok itu sudah lebih dulu frustrasi sampai nyaris gila.

Kali ini nama sekolah Natra yang menjadi tujuannya. Pertama, ia memasukkan kata kunci di Google untuk memeriksa alamatnya. Ada beberapa artikel yang memuat informasi tentang sekolah tersebut, tetapi tidak ada tambahan info apa-apa tentang Natra.

"Susah banget, sih, dicari infonya doang," keluhnya pada layar laptop yang masih menyala. Bahkan jika papan ketik di depannya bisa berbicara, Jefra yakin akan mendengar benda itu menjerit sakit karena sejak semalam ia tekan terlalu brutal, nyaris tidak pakai perasaan.

"Udah, istirahat dulu. Nanti lanjut lagi. Kelamaan di depan laptop bisa juling mata lo."

Di detik itu suara Roger terdengar bersamaan dengan lemparan bantal di punggungnya. Sejenak Jefra beralih dan menghela napas panjang, sebelum akhirnya memungut kembali bantal dari lantai kemudian melempar balik benda itu kepada Roger yang dari tadi cuma rebahan di ranjang.

"Lo dari tadi pagi di sini sama sekali enggak ngebantu, tau nggak? Komen aja bisanya kayak netizen."

"Gue, kan, udah bantu lo ketemu sama Kak Reva. Itu juga masuk hitungan bantuan, lho. Ada imbalan harusnya."

Suasana hati Jefra sedang tidak mendukung untuk berdebat. Maka dari itu ia memilih diam dan kembali menghadap layar laptop di meja, tepat memunggungi Roger yang sekarang sibuk mencibir kesibukannya. Kehadiran cowok itu di sini ternyata benar-benar tidak berguna.

"Lo kalau di sini cuma numpang rebahan, pulang aja sana! Gue lagi sibuk, nggak ada waktu nemenin lo mabar." Jefra menegaskan. Kali ini pencariannya kembali membawa cowok itu ke halaman Instagram setelah di Facebook hanya mendapat harapan palsu tanpa kejelasan.

Ada satu akun yang ternyata sesuai dan tanpa pikir panjang cowok itu mengkliknya sampai muncul halaman di mana foto-foto kegiatan sekolah mereka dipajang. Ada sekitar 546 unggahan juga 4 cerita baru di Instagram Story yang segera Jefra periksa dengan saksama.

Sampai suara Roger kembali menyela di tengah-tengah fokusnya. Cowok itu kini sudah duduk di ranjang dan mencuri pandang ke arah layar laptop Jefra.

"Emangnya informasi dari Kakak gue aja belum cukup apa? Bukannya kalau nulis itu yang penting udah dapet intinya, masalah detail-detailnya ntar bisa dimodifikasi sendiri?"

Kedua mata Jefra masih fokus pada layar, meneliti satu per satu unggahan dan memeriksa kolom komentar. Barangkali ada nama Natra muncul di sana, atau setidaknya menjadi topik utama yang mereka bawa. Sebagai satu-satunya murid dengan penyakit langka yang bahkan populasinya hanya sepersekian persen di dunia, seharusnya nama anak itu akan ada di mana-mana.

Dear, LukaWhere stories live. Discover now