Luka ke-Delapan belas

1.4K 342 206
                                    

Harus diakui, semakin hari, kehadiran Jefra memang membawa dampak yang cukup besar untuk Natra. Sejak kecil, ia tidak pernah memiliki teman. Kondisinya yang berbeda dengan anak-anak lain membuat ia harus puas dengan menjadi si malang yang kesepian. Ia tidak pernah benar-benar tahu rasanya bermain dan memiliki seseorang yang ia andalkan. Sampai kemudian Jefra datang sebagai asing yang pelan-pelan berhasil memberinya nyaman.

Ada sesuatu dalam diri Jefra yang membuatnya berbeda. Entah dari caranya mengambil satu tempat di hati Natra, atau bagaimana pemuda itu menjelma layaknya seorang teman sekaligus kakak untuknya. Jefra ... tidak pernah seburuk yang ia kira.

Sekarang, Natra benar-benar tidak lagi peduli jika ia tidak memiliki teman. Ketika murid-murid di sekolah ini memandang ia sebagai sampah tidak berguna yang hanya harus dikucilkan, ia juga tidak akan lagi mempermasalahkan. Toh, mereka memang sudah seperti itu dari awal. Otak kriminal mereka hanya tahu caranya merundung seseorang yang memiliki keterbatasan, tetapi nol besar masalah pelajaran.

Sejenak, Natra menghela napas panjang. Baru saja dibicarakan, anak-anak itu datang. Tiga orang murid yang diketuai oleh manusia pemegang takhta ranking terakhir di kelas ber-name tag Prayudha Lingga Jati itu mendekat ke tempat di mana Natra dipisahkan dari yang lainnya selama pelajaran olahraga. Masih orang-orang yang sama, yang tadi pagi dengan sengaja mendorong tubuhnya ketika memasuki kelas hingga terantuk meja.

"Enak, ya, jadi lo. Yang lain kepanasan, lo enak-enakan ngadem sambil ngelihatin doang."

Sejenak Natra mengangkat pandangannya, melirik sekilas ke tempat di mana guru olahraga yang mengajar pagi ini sedang mengajari para siswi melakukan teknik dribbling, passing, dan shooting bola basket untuk nanti diambil nilainya. Natra sendiri memang sengaja dipisah setiap pelajaran olahraga dan hanya akan mengikuti pengambilan nilai yang memang mampu ia lakukan tanpa menimbulkan risiko apa-apa. Kali ini, ia sudah diberitahu hanya akan mengambil nilai untuk passing dan shooting saja. Sementara sebagai ganti nilai praktik dribling yang kosong, ia harus mengerjakan tugas dari guru olahraga mereka. Merangkum materi hari ini untuk kemudian diserahkan secepatnya.

Anak itu kemudian kembali pada buku tulisnya yang terbuka. Mencoba tidak peduli pada tiga orang di depan dan melanjutkan tugasnya. Namun, seharusnya ia tidak lupa bahwa datangnya mereka tentu bukan tanpa maksud apa-apa. Saat Natra kembali menyibak halaman di buku paket tebalnya, salah satu dari mereka maju untuk kemudian menutup bukunya begitu saja. Bolpoin yang tadi ia genggam pun jatuh tepat di ujung kaki Yudha, sebelum anak itu dengan sengaja menginjaknya.

"Kalau ada orang ngomong, tuh, diliatin, didengerin. Belagu banget jadi orang."

Natra masih tidak ingin peduli. Tanpa mengatakan apa-apa, anak itu membungkuk untuk mengambil bolpoin di bawah sepatu Yudha. Namun, sebelum sempat mencapai bawah, kaki anak laki-laki itu lebih dulu berulah. Ia menyepak benda itu ke belakang, menjauhkannya dari jangkauan Natra, kemudian tertawa disusul dua orang lain di belakangnya.

"Sorry. Kamu tau, kan, aku sengaja?"

Tawa mereka kali ini berhasil mengusik Natra. Di detik itu juga ia akhirnya kembali duduk dengan tegak dan mendongak, mempertemukan iris tajamnya dengan milik Yudha yang tampak berbinar sekali di sana. Sekilas matanya mengamati ke sekitar, ke tempat di mana murid-murid lain sibuk berkegiatan dan menunggu giliran untuk penilaian. Kemudian, pandangannya kembali kepada Yudha dan teman-temannya yang sepertinya kurang kerjaan.

"Kalau aku jadi kalian, aku mending ikut pemanasan sama latihan kayak yang lain, habis itu fokus ke penilaian. Pengambilan nilai praktik olahraga itu lumayan berguna buat bantu nutup nilai-nilai kalian yang selama ini nggak pernah keluar dari angka enam. Jangan sia-siain kesempatan cuma buat ngurusin hidup orang," ucap Natra tenang. Tatapan anak itu masih datar. Tidak ada emosi yang terpancar ketika ia menatap tiga orang di depannya bergantian.

Dear, LukaWhere stories live. Discover now