Luka ke-Lima

2K 404 309
                                    

"Jadi, kapan kamu mau berangkat?"

Suara Dara dari balik panggilan telepon itu masih belum sirna. Perempuan itu tadi langsung menghubungi Jefra setelah ia menceritakan segalanya. Mulai dari usahanya mencari Natra hingga akhirnya ia berhasil menggenggam alamat tempat anak itu berada. Tidak begitu lengkap, tetapi setidaknya sudah cukup untuk Jefra sebab di sana telah tertulis nama desa juga kepala keluarga tempat Natra tinggal. Maka ia mengatakan kepada Dara bahwa perjalanannya akan segera dimulai.

"Lusa, mungkin," jawabnya singkat. Cowok itu kemudian berjalan ke rak di mana deretan mie instan berjajar.

Yang menyebalkan dari ini semua adalah fakta bahwa Dara menghubunginya tanpa tahu tempat. Ada waktu dua jam lebih semenjak Jefra mengirim pesan panjang lebar kepadanya, tetapi baru sekarang perempuan itu menghubungi balik, ketika Jefra bahkan sedang berada di mini market.

"Tapi kamu udah coba kontak sama yang bersangkutan, kan?"

"Gimana mau ngekontak kalau dianya aja nggak bisa dihubungi sama sekali coba, Kak? Waktu aku minta nomor dia ke informan yang aku hubungi di Instagram, dia emang udah kasih tau kalau anaknya bakal susah banget dikontak. Dan ternyata bener. Aku udah coba kirim pesan berkali-kali tapi enggak ada satu pun yang dibaca."

Kali ini fokus cowok itu tertuju pada dua varian rasa mie di depannya, mempertimbangkan harus memilih yang mana. Pasalnya, setelah ini ia mungkin akan pergi lama dan menyimpan makanan instan di rumah tentu tidak akan berguna. Papa tidak pernah suka.

"Loh, terus gimana? Masa mau datengin rumah narasumber nggak ada permisinya? Nggak sopan, dong, Jef. Sebagai pihak yang butuh, kamu kudu datang pakai etika."

Tetapi kalimat Dara kali ini berhasil mengalihkan perhatian Jefra sepenuhnya. Kesal, cowok itu berhenti mempertimbangkan dan menatap ke depan. Lama-lama Dara juga jadi menyebalkan.

"Jadi Kakak maunya gimana? Aku batalin aja, ya, risetnya. Nggak usah jauh-jauh ke Jogja. Diem aja aku di rumah sambil belajar tentang etika."

"Loh, loh, kok gitu?"

"Ya terus gimana? Maaf kalau omonganku kurang ajar, tapi tolong, deh, Kakak jangan buat semua makin ribet dengan kudu ini kudu itu. Kalau mau yang gampang, yang gak perlu pakai etika-etikaan, cari tema yang wajar makanya! Aku juga susah risetnya kalau gini, Kak."

Di detik itu Jefra baru sadar kalau suaranya tak lagi pelan. Beberapa orang di sekitar seketika ikut memperhatikan dan ia harus menunduk untuk meminta maaf karena telah mengganggu kenyamanan. Sampai akhirnya suara helaan napas Dara terdengar diikuti gumaman pelan.

"Ya udah, oke. Saya percaya kamu bisa handle urusan itu nanti. Tapi kalau kamu ada kesulitan di sana, jangan ragu kasih tau saya, ya."

"Iya."

"Ya udah, saya telepon cuma buat mastiin aja. Sekarang saya masih ada kerjaan, kamu juga pasti ada yang mau dikerjain. Udah dulu, ya. Good luck, Jef. Kabari saya kalau ada apa-apa."

Kemudian panggilan dimatikan begitu saja. Suara Dara pun menghilang bersamaan dengan hela napas panjang yang Jefra buang. Harus sabar. Semua ini ia lakukan juga demi kebaikan semua orang. Pertama untuk Papa, dan kedua tentu untuk dirinya. Cowok itu kemudian menyimpan kembali ponselnya ke saku lalu mengambil 4 bungkus mie secara asal. Namun, saat ia hendak melangkah ke rak lain, suara familier membuat niatnya tertahan.

"Hai, Jef! Kebetulan sekali kita ketemu di sini, ya."

Saat itu rasanya Jefra ingin mengutuk takdir atas kebetulannya sialan yang ia gariskan. Dari sekian banyak orang, kenapa harus perempuan jalang itu yang muncul di hadapannya Sekarang?

Dear, LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang