Luka ke-Tiga

2.5K 472 391
                                    

Tidak ada yang berubah dari udara di bawah langit kota Yogyakarta. Natra yakin semua masih sama dan tertata sebagaimana mestinya. Ia saja yang berbeda. Ketika semua orang menghela udara dengan bebas, akhir-akhir ini, ia justru sering merasa tercekik oleh napasnya sendiri. Seperti ... ada yang menyumbat paru-parunya di dalam sana. Ada yang menekan dadanya dengan sengaja. Lebih parah dari sebelumnya.

Perlahan, anak itu menyentuh dadanya sendiri dan mengurutnya, meski pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa karena sentuhannya pun tidak akan pernah terasa. Anak itu kemudian mengerjap dan berpaling begitu saja. Berusaha mengalihkan pikiran dengan menatap ke sekitar. Antrian di apotek rumah sakit masih panjang. Resep yang tadi ia berikan kepada apoteker pun masih belum selesai disiapkan. Mau tidak mau Natra harus bersabar, padahal ia ingin segera pulang. Di luar mendung, mungkin sebentar lagi hujan.

Sampai kemudian seseorang duduk di sisi Natra dan memanggil namanya.

"Mas Natra, ya?"

Seketika Natra menoleh, mendapati seorang wanita dengan hijab bunga-bunga tersenyum padanya. Wajah wanita itu familier, tetapi ingatan Natra yang buruk membuatnya harus berpikir cukup lama. Sampai wanita itu kembali membuka suara.

"Pangling, ya, Mas? Ini Bu Dian. Ibunya Mahesa. Dulu kita sering ketemu tiap ada jadwal terapi okupasi hari Senin sama Kamis. Kamu suka dianter Pakdemu, to?"

Detik itu Natra masih diam dan menggali ingatannya ke belakang, sampai akhirnya ia berhasil mengingat nama yang tadi wanita itu sebutkan. Mahesa. Bocah laki-laki berusia 12 tahun yang punya keterbelakangan mental. Buru-buru anak itu tersenyum dan mengangguk sopan.

"Oh, iya, Bu. Maaf, maaf. Ingatan saya sedikit buruk kalau urusan ngenalin orang."

Tidak ada kemarahan di mata Bu Dian. Wanita itu justru tersenyum lebih lebar sembari menepuk-nepuk pundak Natra, yang sayang sekali tidak bisa ia rasakan seperti apa hangatnya.

"Nggak apa-apa. Kamu sendirian ini? Pakdemu mana?"

"Saya sendiri aja, Bu. Itung-itung belajar mandiri dan nerapin apa yang udah dipelajari selama terapi. Biar enggak ketergantungan sama Pakde dan kursi roda terus. Ibu mau tebus obat juga? Buat siapa? Mahesa?"

"Oh, enggak. Bukan Hesa. Suami Ibu, asam lambungnya kumat. Itu Ibu suruh nunggu di mobil aja sambil rebahan. Kamu gimana kabarnya? Semenjak kamu beres terapi, Hesa jadi nggak ada temen. Kadang-kadang masih suka nanyain juga anaknya. Mungkin merasa kehilangan. Dulu, kan, sering banget ketemu, terus tiba-tiba nggak ketemu lagi sekarang."

Natra tida tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak biasa berinteraksi selain dengan Pakde dan orang-orang terdekatnya. Untuk itu ia hanya mengangguk dan kembali memaksakan senyuman. Berharap namanya segera dipanggil agar ia punya alasan untuk menyudahi obrolan lalu pulang.

Namun, Bu Dian justru kembali memperpanjang obrolan, alih-alih diam.

"Fisioterapi-nya udahan juga?"

"Kalau itu masih jalan, sih, Bu. Tiap hari Rabu."

"Luka Dewanatra."

Panggilan itu akhirnya menggema tepat saat Natra selesai dengan kalimatnya. Maka dengan gerakan hati-hati ia bangkit setelah sebelumnya membungkuk sopan kepada Bu Dian yang langsung wanita itu balas dengan senyuman. Anak itu melangkah perlahan untuk mengambil obatnya yang telah selesai disiapkan, mengucapkan terima kasih singkat, kemudian beranjak meninggalkan antrean yang memanjang.

"Saya duluan, ya, Bu. Salam buat Hesa. Semoga suami Ibu lekas sembuh."

Anak itu berhenti sebentar di depan Bu Dian dan setelah wanita itu menyalaminya balik, ia segera pergi dengan kantong obat yang ia bawa di tangan. Yang ternyata jauh lebih tebal. Seperti yang tadi dokter sampaikan, obatnya bertambah dan ia tidak bisa menentang.

Dear, LukaWhere stories live. Discover now