Luka ke-Sembilan belas

1.3K 338 135
                                    

Suasana di depan gerbang sekolah Natra sedang ramai. Jalanan di depan juga penuh oleh siswa-siswi yang sedang menunggu jemputan. Cowok itu menyipit sebentar, berusaha menatap ke dalam untuk menemukan Natra. Tetapi sepertinya anak itu masih belum terlihat di mana-mana. Untuk itu ia kembali bersandar di badan mobil sembari memperhatikan lagi sekitarnya.

Beberapa murid perempuan yang melintas sepertinya ada yang mengenalinya. Terbukti dari bagaimana mereka berhenti cukup lama untuk mengamati sembari diam-diam mengambil gambar lewat kamera ponselnya.  Lalu saat Jefra balas menyapa, mereka akan kebingungan sendiri dan dari sini Jefra hanya bisa mentertawakan bagaimana pipi gadis-gadis itu berganti warna menjadi merah muda.

"Minggir, dong! Jangan ngalangin jalan!"

Sampai kemudian perhatian Jefra beralih pada segerombol siswa yang baru keluar pintu gerbang dan langsung membuat gadis-gadis tadi bubar. Pakaian seragam yang mereka kenakan mencuat keluar dengan bagian lengan digulung hingga dua lipatan. Benar-benar berantakan. Satu di antara mereka berhenti untuk kemudian melirik Jefra, tetapi tidak lama. Kontak mata keduanya putus saat anak itu mengakhirinya dan Jefra hanya membiarkan saja.

"Cih, belagu banget. Nggak tau aja pas jaman sekolah dulu gue lebih parah dari dia," gumam Jefra saat punggung-punggung angkuh itu menjauh dari sana.

Tetapi sepertinya memang benar. Berada di tempat ini rasanya seperti meniti ingatan ke masa lalu. Pada hari ketika ia masih berseragam putih abu-abu. Saat ia juga masih sering membuat keributan selayaknya anak-anak pada umumnya dan berakhir dimarahi Mama. Saat ia beberapa kali berkelahi dengan murid lain perkara perempuan yang ia suka. Cowok itu tersenyum masam mengingat semuanya. Hari-hari sekolahnya dulu terasa normal dan baik-baik saja.

Namun, semenjak kepergian Mama, semua berantakan. Sampai sekarang.

Pikiran Jefra buyar saat ia akhirnya melihat Nata dari kejauhan. Melangkah pelan-pelan dengan kepala tertunduk dalam. Entah sedang memperhatikan langkah kakinya sendiri atau justru menghindari yang lainnya.

Dengan segera Jefra maju ke depan pintu gerbang, bermaksud membantu anak itu menyelesaikan sisa langkahnya menuju mobil yang ia parkir di pinggir jalan. Tetapi saat anak itu mendongak, kedua mata Jefra justru melebar.

Ada lebam kebiruan di sekitar keningnya, mencolok sekali sampai Jefra tidak bisa beralih dari sana. Belum selesai cowok itu memahami semua, saat pandangannya turun, ia kembali dikejutkan dengan luka memerah di lengan kiri Natra. Menyerupai goresan yang didapat ketika seseorang jatuh menyentuh permukaan yang kasar.

"Ini kenapa bisa begini?" Dengan cepat Jefra meraih tangan Natra dan mengamati dengan saksama. Tetapi anak itu lebih cepat menariknya kembali dan menatap Jefra.

"Jatuh," jawabnya, tidak sepenuhnya berdusta. Ia memang jatuh sesaat setelah berakhirnya jam pelajaran olahraga.

"Jatuh di mana? Kok bisa?"

"Di toilet."

Tatapan Jefra menyelidik dan untuk pertama kali Natra menghindar. Kecurigaan cowok itu semakin besar ketika anak itu justru melewatinya begitu saja dan masuk ke mobil tanpa mengatakan apa-apa.

Ada yang tidak beres, Jefra bisa melihatnya. Untuk itu ia buru-buru menyusul, duduk tepat di sebelah Natra dan menatap anak itu lebih tegas dari sebelumnya.

"Siapa orangnya?" tanya Jefra kemudian. Dari cara Natra sengaja menghindari pembicaraan, ia tahu ada yang anak itu sembunyikan. Ia tahu luka-luka yang Natra terima bukan karena tidak disengaja.

"Nat!" panggil Jefra saat anak itu tidak juga menjawab pertanyaan yang ia berikan.

"Apa, sih?!"

Dear, LukaWhere stories live. Discover now