Luka ke-Tujuh belas

1.5K 337 131
                                    

"Separah itu?"

Jefra kembali bertanya entah untuk yang ke berapa kali semenjak mobil lawas Pakde—yang baru selesai diperbaiki kemarin sore—itu meninggalkan pekarangan rumah. Cowok itu memanfaatkan jarak tempuh yang membentang selama ia mengantar Natra ke sekolah untuk membuka sesi wawancara. Mengingat anak itu hanya akan memulai jam operasionalnya untuk Jefra dari jam enam pagi, dan sekarang sudah setengah tujuh lebih.

Dari depan rumah tadi Jefra sudah membuka topik tentang bagaimana seseorang dengan Familial Dysautonomia menjalani hari-hari di masa kanak-kanaknya, dan Natra hanya menjawab bahwa masa kecil yang ia miliki habis untuk mengikuti berbagai terapi serta perawatan medis lainnya. Bahwa ia tidak pernah punya kesempatan bermain seperti anak-anak lain seusianya.

Ketika anak-anak lain berlari mengejar bola di lapangan dekat balai desa tempat dulu Pakde bekerja, Natra hanya bisa melihat dari kejauhan, di atas kursi roda. Ketika mereka beramai-ramai diantar orang tua masing-masing untuk pergi ke sekolah, Natra hanya duduk diam di teras rumah, menunggu guru privatnya datang untuk mengajar. Lalu setelah dari sana Natra akhirnya menceritakan tentang kondisi tubuhnya dulu, yang mengakibatkan sebagain besar dari masa kecilnya terenggut.

"Sebenernya belum terlalu parah, karena dari masih balita, kan, bisa dibilang aku udah dalam pemantauan medis. Jadinya skoliosisku juga terdeteksi lebih dini. Lebih tepatnya, mereka udah memperkirakan kemungkinan terjadinya hal itu jauh sebelum bener-bener terjadi. Awalnya cuma masih ditangani secara konservatif aja, lewat stretching, fisioterapi, sama pemakaian brace. Tapi ternyata setelah semua hal itu dilakuin, derajat kemiringan tulangku tetep enggak membaik juga. Malah makin parah. Dan hal itu ngefek ke kemampuanku buat jalan. Yang awalnya udah nggak seimbang, makin nggak seimbang. Sampai akhirnya pas umur 12 tahun, dokter nyaranin buat operasi."

Jefra tidak bisa diam selama Natra menjelaskan. Cowok itu berkali-kali membagi fokus untuk menatap Natra dan juga jalanan di depan, silih bergantian. Diam-diam cowok itu merekam segalanya di kepala, mencatat bagian-bagian penting yang akan ia butuhkan selama nanti ia mengerjakan naskahnya.

Sepanjang cerita yang ia dengarkan, cowok itu tidak banyak menemukan emosi di dalam suara Natra. Anak itu hanya menatap lurus ke jalanan, sesekali membuang pandangan ke samping untuk merekam trotoar, atau sekadar mengintip kaca spion untuk melihat barisan kendaraan di belakang. Tatapan anak itu masih sama seperti biasa, tidak baik-baik saja, tetapi juga tidak terluka. Padahal, di sini Jefra tersiksa oleh ceritanya. Tidak bisa membayangkan bagaimana di usia sekecil itu Natra harus menjalani segalanya.

"Terus, itu proses penyembuhannya berapa lama? Gue pernah denger dari Pakde, katanya setelah operasi itu lo justru enggak bisa lepas dari kursi roda. Sampai-sampai bangun dari ranjang juga kudu dibantu."

Kali ini Jefra memacu mobilnya di kecepatan 50 km/jam dan membiarkan kendaraan-kendaraan lain menyalip melalui sebelah kanan yang cukup terbuka. Ia kembali melirik Natra, menunggu sampai anak itu kembali membuka suara.

"Aku agak lupa berapa lamanya. Kayaknya, sih, sekitar 6 mingguan. Tiga-empat hari pasca operasi, tuh, emang mau ngapa-ngapain masih susah. Tapi pas udah lewat satu minggu itu udah lumayan. Jadwal buat fisioterapi juga waktu itu ditambah, deh, seingatku. Yang awalnya cuma dua kali seminggu, ditambah jadi empat kali. Baru setelah satu bulan lebih, jadwalnya dikurangin lagi, balik jadi dua kali seminggu. Makin ke sini aku ngerasa makin enak aja buat gerak. Jalanku juga udah lumayan, walaupun masih enggak bisa nempuh jarak terlalu jauh.

Sampai waktu itu Pakde bawa aku ketemu lagi sama dokter rehabilitasi medis, untuk yang ketiga kalinya dalam tiga bulan terakhir, dan setelah dilakuin evaluasi terus ternyata hasilnya bagus, jadwal terapinya dikurangin lagi. Cuma satu kali seminggu, dan ini masih berlangsung sampai sekarang."

Dear, LukaWhere stories live. Discover now