Bab 58

1.8K 228 38
                                    

• Uchiha Sasuke •

“Brengsek!”

Rasa sakit menjalar dari pergelangan tangan hingga lengan bawah di saat jemariku mati rasa seketika. Aku mulai mengibas-ngibaskannya, berusaha meredakan nyeri, tak lama kemudian ujung jariku mulai kesemutan.

“Lemaskan tanganmu, Uchiha!” teriak Pelatih Asuma. Aku mengerang kesal, melenturkan jari sambil memijat pergelangan tangan dan mengumpat pelan. Dia kira aku sedang apa?

Tak adil rasanya menyebut minggu ini sebagai minggu yang buruk, karena kenyataannya ini adalah minggu yang mengerikan. Aku tak ingin meninggalkan Sakura, tapi aku harus melakukannya jika ingin mempertahankan posisi di tim, jadi aku menyerah setelah mengeluh setengah hari, lalu berjalan keluar rumah. Kusemangati diri sendiri sepanjang perjalanan ke Sunagakure, kuyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Kamp akan berjalan dengan sangat mudah, saudaraku akan membuat Sakura sibuk dan terhibur, dan semuanya akan berakhir dengan cepat. Pada saat aku berhenti di tempat parkir Universitas Sunagakure, aku nyaris bersemangat, tapi semangatku seketika hilang setelah dengar kabar aku harus berbagi kamar dengan Inuzuka Kiba.

Inuzuka sialan. Para bajingan itu berharap aku tinggal di kamar berukuran 3x4 meter bersama keparat itu selama seminggu penuh. Astaga, sepertinya karma sedang mempermainkanku, mereka semestinya tahu bahwa tak ada gunanya menyatukan kami berdua.

Dan itu awal mula kekacauan minggu ini. Hari pertama di lapangan, Arashi cari gara-gara. Jelas dia kesal dengan lelucon yang kubuat dengan foto-foto tak senonoh Yugao. Entah setan apa yang merasukinya, dia tiba-tiba saja memutuskan jatuh cinta sungguhan dengan jalang itu. Arashi tidak peduli aku telah memberi peringatan pada Yugao untuk jangan macam-macam lagi atau akan kuekspos kegiatan ekstrakurikulernya jika dia tetap mengganggu, belum lagi Yugao mengambil foto-foto itu dengan suka rela. Sejujurnya itu adalah ide Yugao sendiri; mereka memberiku kejutan. Tidak, Arashi tidak peduli pacarnya adalah seorang yujo yang dengan senang hati melepaskan celana dalamnya untuk membuatku senang dan masih tetap akan melakukannya lagi jika aku mau. Arashi tak peduli satu pun hal itu — yang dia pedulikan hanyalah aku telah ‘mempermalukan’ Yugao.

Yugao tidak tampak malu ketika berhubungan seks dengan Karin – itu sudah pasti. Aku bahkan tidak yakin apakah ada sesuatu yang benar-benar akan mempermalukan orang seperti Yugao yang tidak memiliki martabat atau harga diri itu. Gadis jalang itu tidak tahu malu. Dia hanya kesal karena dapat masalah di sekolah karena foto itu, dan orang tuanya memberi hukuman selama musim panas dan mengirimnya untuk konseling di gereja. Astaga, menurutku itu jalan terbaik. Aku bukan orang yang religius, tapi aku pun sadar Yugao butuh campur tangan malaikat. Pasti ada iblis yang bersarang di diri gadis jalang itu, dia pelacur yang licik.

Namun, Arashi terlalu bebal untuk melihat logikaku, dia pilih untuk menyerangku alih-alih melihat lebih dekat gadis yang dia cintai itu. Arashi terus-menerus menekanku dan aku tetap diam selama mungkin, tapi setelah berjam-jam, kesabaranku akhirnya hilang. Aku membentaknya, kubilang dia cemburu karena Yugao tidak mau melahap vagina untuknya, dan dia menerjangku. Sikunya mengenai wajahku selama perkelahian hingga meninggalkan memar, tapi itu tak seberapa dibandingkan dengan mata lebam dan hidung patah Arashi.

Sayangnya, saat berkelahi dengan Arashi, aku menyakiti pergelangan tanganku. Pergelangan tanganku tidak terluka, tapi masih lemah setelah patah beberapa bulan yang lalu, hingga minggu ini jadi jauh lebih sulit. Aku tidak bugar, pergelangan tangan sakit, dan setengah dari anggota tim marah padaku karena satu dan lain hal. Yang ingin kulakukan hanyalah bermain football dan pulang ke rumah, ke tempat gadisku berada, tapi nasib berkata itu terlalu mudah.

Sepertinya karma sudah datang.

Kucoba tetap tenang dan melakukan apa yang jadi tujuanku di sini, tapi tiap sindiran dan komentar sinis hanya memicu amarah dan membuatku murka. Aku telah meledak pada orang-orang itu sepanjang minggu dan pelatih muak dengan hal itu, dia mengancam akan menukar posisiku jika aku tidak tenang. Mereka tampaknya tidak paham bahwa aku sedang berusaha untuk tenang ... para bajingan itu tidak mau membiarkanku begitu saja.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang