Bab 18

5.3K 739 65
                                    

• Uchiha Sasuke •

Jika aku harus menentukan peringkat hari terburuk dalam hidup, kemarin pasti akan berada di peringkat lima besar. Sebenarnya, aku yakin kemarin akan menempati peringkat kedua. Satu-satunya hari yang lebih buruk dari kemarin adalah ketika ibuku, Mikoto, meninggal dunia, dan sepertinya takkan ada yang dapat menandingi hari kehancuran yang mengerikan itu. Sudah sembilan tahun sejak kematian Ibu, namun kami masih berduka tiap hari peringatannya, seolah kejadian itu baru saja terjadi. Aku belum bisa melanjutkan hidup, meski tak ada yang tahu. Tak ada yang tahu aku masih menangis atau aku tidak bisa tidur karenanya. Tak ada yang tahu aku mengalami mimpi buruk sepanjang waktu. Mereka tidak tahu aku duduk di piano dan menatap tutsnya ketika sendirian sambil berharap Ibu masih berada di sini untuk memainkannya bersamaku. Ibu begitu payah dalam bermain piano, ketika itu umurku baru delapan tahun dan aku jauh lebih baik darinya, tapi Ibu tetap semangat dan bangga ketika memainkan lagu 'Bintang Kecil' dengan terbata-bata. Tak ada yang tahu aku ingat hal itu atau memikirkannya, karena tak seorang pun kenal dengan Uchiha Sasuke yang punya perasaan. Semua orang mengira aku ini dingin dan kejam, dan mungkin memang benar begitu, tapi bukan berarti aku tidak punya perasaan. Aku cuma tidak menunjukkannya pada siapa pun, tak membiarkan orang lain melihatku seperti itu.

Ayah selalu bertindak di luar kendali saat hari peringatan. Dia sangat marah pada diri sendiri dan melampiaskan emosinya pada siapa pun yang ada di dekatnya. Sedikit saja melirik Ayah di hari itu, dia akan mendongkrakmu. Aku pernah hampir dihajar oleh Ayah di hari peringatan kematian Ibu yang keempat ketika aku berumur dua belas tahun. Setelah itu, aku selalu menghindari Ayah di tiap hari peringatan - kami semua menghindarinya. Ayah sadar dia lebih baik tidak pergi kerja, karena kemungkinan besar dia akan menusuk pasien yang tak bersalah dengan pisau bedah. Ayah memilih untuk selalu tinggal di rumah dan mengisolasi diri dari masyarakat untuk keamanan semua orang.

Namun masalahnya tahun ini adalah Ayah tinggal di rumah bersama seorang gadis berusia enam belas tahun yang hampir tidak mengenalnya, tidak memahami suasana hati dan pemicunya. Nenek mempelajari sikap Ayah di hari peringatan dengan cepat dan menyelesaikan semua pekerjaan sebelum Ayah beranjak dari tempat tidur lalu langsung bersembunyi, dan wanita kedua tidak bertahan cukup lama untuk melewati hari peringatan kematian. Tapi Sakura - dia masih muda dan naif. Ayah kesal pada seluruh dunia dan mencari seseorang untuk menyalurkan agresinya. Seseorang yang bisa disalahkan atas sesuatu, apa saja, agar Ayah dapat mengalihkan pikiran dari hal yang terjadi hari itu di Tsurui. Hari yang mana tak seorang pun dari kami pernah bicarakan. Itachi dan Naruto tentu saja sedih, karena mereka merindukan Ibu, tapi mereka tidak dihantui kekacauan yang sama dengan yang dirasakan aku dan Ayah. Ayah dibayangi rasa bersalah karena yakin dialah yang jadi penyebabnya, dan aku merasakan kepedihan karena telah jadi korban dalam hal itu dan menyaksikan peristiwanya secara langsung.

Aku, sama seperti Sakura, telah membayar kesalahan orang lain - yaitu, kesalahan ayahku. Aku punya bekas luka untuk membuktikannya, baik fisik maupun mental.

Seperti sebelumnya, aku kemarin putus asa, namun proporsi gelisah lebih besar dari biasanya karena aku khawatir. Khawatir apa yang akan terjadi di rumah ketika aku di sekolah. Apa yang akan membuat Ayah meledak, cemas Ayah akan lakukan sesuatu untuk menyakiti Sakura. Tak ada yang bisa kulakukan tentang hal itu, karena aku ada ulangan yang tak mungkin kulewatkan, sebab Ayah tidak mau menulis surat izin agar aku bisa ikut ujian susulan. Aku telah berusaha tetap di rumah, rela gagal pelajaran itu untuk memastikan Ayah tidak hilang kendali, tapi Ayah dengan keras mengusirku ke sekolah. Jadi aku pergi ke sekolah sambil berharap dan berdoa sepanjang hari agar Sakura mendengarkan peringatanku. Bahwa dia harus bersembunyi dan menjauh dari Ayah.

Saat kami masuk ke rumah sepulang sekolah, aku langsung tahu Sakura tidak mendengar peringatan yang telah kuberikan. Aku tahu Sakura pasti telah menemukan suatu alasan bagi Ayah untuk marah padanya. Ayah berdiri di ruang keluarga, menatap keluar jendela ke halaman belakang. Ayah berbalik ke arah kami dan kulihat tatapan kosong yang kejam di matanya, juga ada revolver Smith & Wesson di ikat pinggang Ayah. Jantungku berdesir ketakutan saat melihat pistol itu dan lututku hampir tertekuk karenanya. Tolong katakan padaku Ayah tidak membunuhnya, batinku berkata.

One Warm WinterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora