Bab 17

4.7K 703 53
                                    

• Haruno Sakura •

Suara isak-tangisku terhalang oleh lakban setelah Dokter Fugaku menutup pintu. Dia masuk ke sini pukul tiga sore dan bilang akan melepaskan aku besok sebelum pergi bekerja, kuperkirakan aku akan terus begini sampai pukul enam pagi. Berarti sekitar lima belas jam lagi. Aku disuruh duduk dengan posisi seperti ini selama lima belas jam, padahal baru beberapa menit saja Dokter Fugaku keluar kedua kakiku sudah sakit. Entah bagaimana caranya aku dapat bertahan tanpa mengalami kehancuran, tapi kurasa itulah intinya. Dia ingin aku hancur. Aku terlalu puas, sombong, sampai-sampai lupa siapa aku sebenarnya.

Waktu berjalan dengan lambat. Aku tidak bisa lihat jam alarm dari tempatku, namun tiap detik terasa abadi. Matahari mulai terbenam, ruangan makin gelap. Otot di tubuhku terasa kaku dan nyeri, aku berusaha mengubah posisi sedikit, tapi sama sekali tidak membantu. Ruang gerakku begitu terbatas, memang inilah inti dari hidupku. Kedua lutut berdenyut, pergelangan tangan dan kaki ini rasanya terbakar. Jemariku kram dan kakiku kesemutan berkepanjangan. Kugeser lagi tubuhku, namun borgol makin mengiris pergelangan tangan. Punggungku tegang dan berdenyut-denyut.

Aku sudah pernah dipukul sampai wajahku tak bisa dikenali lagi sebelumnya, berlumuran darah dan memar, tapi penyiksaan dengan menyuruhku mempertahankan posisi seperti ini, sendirian dan sekarang sudah gelap, adalah hal terburuk yang pernah kualami. Aku tidak mau percaya bahwa Dokter Fugaku dengan sengaja berbuat kejam seperti ini. Dokter Fugaku yang kukenal tidaklah terlalu berbahaya. Pasti ada sesuatu yang memicunya. Aku yakin tidak satu pun perbuatanku pantas menerima hukuman ini. Aku tidak berniat meremehkan atau melecehkannya, tapi apa ini maksud Dokter Fugaku hari itu - bahwa terkadang kita menghina orang lain tanpa sadar? Apa itu yang sudah kulakukan? Aku hanya pegang pistol itu agar bisa memindahkannya dan menyelesaikan pekerjaanku, aku sungguh tidak bermaksud membangkang.

Kudengar langkah kaki menaiki tangga. Seseorang berhenti di luar pintu kamar dan aku kembali ketakukan, karena tidak tahu itu siapa. Aku cemas jika Dokter Fugaku kembali dan memutuskan bahwa ini belum cukup. Dia sama sekali tidak melayangkan satu jari pun padaku, sama sekali tidak memukulku. Aku takut dia akan kembali untuk menghajarku demi menunjukkan kekuatannya, karena itulah yang selalu dilakukan Tuan Kizashi. Aku pernah dengar Tuan Kizashi bicara dengan seseorang di telepon bahwa tak ada yang dapat membuat budak sadar di mana posisi mereka sebenarnya, selain hantaman keras di muka. Tapi setelah beberapa saat, langkah-langkah kaki itu terus berlanjut dan kudengar pintu kamar Sasuke terbuka dan ditutup.

Rasa sakit ini makin menjadi-jadi, sengatan dan sensasi terbakar di tubuhku kian meningkat. Aku mulai menangis lagi, aku benar-benar lelah, tapi terlalu sakit untuk tidur. Rasanya seperti seseorang menusuk-nusuk lututku dengan pisau. Kaki bagian bawah sudah mati rasa, betisku nyeri minta ampun. Akhirnya kelelahan menang dan aku tertidur juga.

Sesuatu membuatku terbangun dan aku memekik, rasa sakit di tubuh ini rasanya meledak saat aku buka mata. Aku mengerti sekarang kenapa Dokter Fugaku memplaster mulutku, jika tidak, suara pekikanku ini pasti akan membangunkan Sasuke dan mungkin yang lainnya juga. Entah pukul berapa sekarang, tapi yang jelas sudah gelap gulita. Kudengar suara di seberang ruangan setelah beberapa saat kemudian. Aku mendongak, mataku melebar panik ketika menyadari aku tidak sendirian. Aku sedikit menyipitkan mata, berusaha mengadaptasikan mata dengan kegelapan ini dan membersihkan penglihatan dari air mata. Aku tidak bisa menyekanya, jadi bola mata ini juga ikut terbakar dan berkabut. Tak lama kemudian, samar-samar kulihat bayangan berdiri di seberang kamar. Dia maju beberapa langkah dan aku berusaha mundur penuh ketakutan, sayangnya aku terjebak di sini. Dia ragu-ragu sejenak, mungkin sadar aku panik. Penglihatanku akhirnya mulai jelas, dahiku berkerut ketika melihat rambut berantakan dan sepasang mata yang menatapku dengan sedih.

Aku balas memandanginya sejenak. Kami berdua sepertinya linglung. Dia kembali berjalan ke arahku dan berjongkok di depanku. Dia ulurkan tangannya, aku langsung tersentak dan berteriak. Biasanya aku tidak takut pada Sasuke, dia memang galak, tapi itu jika sedang kaget. Sepertinya Sasuke tidak akan memukulku, namun setelah perubahan drastis sikap Dokter Fugaku, aku tidak yakin lagi dengan mereka semua. Sekali pun aku berusaha menjauh dari Sasuke saat ini, dia tidak berhenti. Dia usap pipiku, menghapus air mata. Tangannya membelai wajahku selama beberapa saat, menyentuh dahi dan pipiku dengan lembut, bahkan menggerakkan ujung jarinya di hidungku. Aku kaget melihat Sasuke, sentuhannya begitu lembut, nyaris penuh kasih sayang, dan ekspresi di wajah Sasuke hampir sama dengan belaiannya. Ujung jempol Sasuke akhirnya perlahan mengusap bibirku yang diplaster.

One Warm WinterWhere stories live. Discover now