Bab 60

1.6K 255 51
                                    

• Uchiha Sasuke •

Kulirik Sakura di kursinya. Dahiku berkerut melihat posisi lehernya yang miring. Dia meringkuk sambil terus memasang sabuk pengaman, kepalanya terkulai di bahu. Tidurnya gelisah, bibirnya cemberut, dan sering kali dia bergerak dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Sakura tampak putus asa, ekspresi lembut penuh kepuasan yang biasa terpampang di wajahnya ketika dia tidur sudah tidak ada lagi. Namun, kulitnya yang bersinar dan rambutnya yang berkilau di bawah sinar bulan yang masuk melalui jendela membuatnya tampak seperti malaikat. Dia sangat cantik, hanya dengan melihatnya saja, jantungku rasanya membengkak dua kali lipat dan detaknya berulah karena cinta yang kurasa, tapi aku terus mengerutkan kening meskipun dia bersinar. Sakura tampak seperti malaikat yang jatuh dari surga dan menemukan neraka di bumi, tersiksa dan menghadapi banyak masalah, dan aku punya firasat yang sangat buruk saat menatapnya.

Itu sangat konyol, tapi sungguh mengganggu pikiran selama seminggu terakhir. Aku tak yakin itu apa atau bahkan apa artinya, tapi firasat itu selalu ada membayangi. Bagai awan hitam yang siap meluapkan hujan, tapi masalahnya kau tidak tahu kapan, di mana, atau bahkan bagaimana hujannya akan turun. Bisa jadi hanya gerimis menyebalkan di mana payung bahkan tidak diperlukan, atau bisa jadi banjir bandang di mana kau butuh perahu untuk mengarunginya. Rasanya tak ada persiapan untuk menghadapi badai yang akan datang, karena tak ada yang memprediksi apa yang akan terjadi ketika badai itu terjadi ... yang kau tahu hanyalah awan hitam itu ada di sana, mengejekmu.

Ya ... aku punya firasat buruk.

Hal itu telah kurasakan sejak Minggu ketika kami berpisah dengan saudaraku. Perpisahan itu ternyata jauh lebih sulit daripada yang kubayangkan, tapi aku menahan diri, karena aku yakin akan bertemu lagi dengan mereka. Itachi akan sering pulang karena Izumi masih di Konohagakure, dan Naruto akan pulang selama liburan. Tapi tetap saja sulit melihat mereka pergi, mereka takkan ada lagi di rumah setiap hari untuk membuatku kesal. Sakura juga menerimanya dengan susah payah, sulit untuk melihat orang-orang yang dia pedulikan menjauh darinya.

Jelas saudaraku telah menyayangi Sakura seperti saudara sendiri, dan itu sungguh berarti bagiku daripada yang bisa kujelaskan. Tahu bahwa mereka peduli pada gadis yang kucintai dan akan melakukan apa pun untuk melindunginya, seperti yang akan kulakukan, adalah perasaan yang sangat menyenangkan. Mau tidak mau aku jadi bertanya-tanya sendiri bagaimana perasaan Ibu jika melihat gadis yang sangat ingin dia selamatkan sudah jadi anggota keluarga kami. Menurutku Ibu akan bangga dengan kami semua, termasuk aku, walaupun aku telah melakukan banyak hal buruk selama bertahun-tahun untuk mengecewakannya.

Sebelum pergi, Itachi bilang jika aku membutuhkannya, dua akan ada di sisiku dalam sekejap, dia bilang aku harus selalu mengutamakan keselamatan Sakura. Aku mengangguk, memang berencana untuk melakukan hal itu. Aku akan selalu menjaganya, apa pun yang terjadi.

Aku berusaha mendorong firasat buruk itu jauh-jauh ketika mereka pergi, kukira aku hanya terbawa suasana saja saat itu, tapi ternyata firasat itu masih ada di Hari Senin ketika kami menjelajahi hutan, dan makin kuat di Hari Selasa ketika aku mengantar Sakura ujian SKP. Bahkan, saking parahnya, aku tetap duduk di parkiran lembaga pendidikan selama berjam-jam, takut meninggalkan tempat itu jika terjadi sesuatu. Itu konyol, memangnya apa yang dapat terjadi pada Sakura di kelas? Apa dia akan membenturkan kakinya di sudut meja, secara tidak sengaja menusuk tubuhnya sendiri dengan pensil atau luka tergores ujung kertas? Sepertinya aku bertindak tidak masuk akal, tapi aku tak bisa menahannya. Firasat buruk itu tetap tidak hilang.

Suasana hati Sakura setelah selesai ujian juga tidak membantu menenangkan perasaanku. Dia jelas gundah, kembali bertingkah seperti budak yang kubenci. Dia jawab pendek-pendek pertanyaanku, sebagai basa-basi saja, seolah-olah dia tidak dengar sepatah kata pun yang kuucapkan dan refleks merespons. Aku tetap tenang dan menunggu dia berhenti bertingkah, dugaanku sebentar lagi dia akan memanggilku “Tuan” dengan takut-takut, tapi setelah beberapa saat aku tidak tahan lagi. Aku menegurnya dan Sakura mengaku bahwa dia gundah akan ibunya. Aku terkejut, karena itu adalah hal terakhir yang kukira akan terlontar dari mulutnya. Kupikir Sakura panik saat ujian hingga tak bisa menjawab soal satu pun dan dia takut untuk memberitahuku. Aku bahkan tidak menyangka perilakukanya ini karena hal serius. Aku merasa seperti orang brengsek karena tidak sabaran menghadapi suasana hatinya, tapi aku tak mengerti kenapa Sakura tidak memberitahuku sejak awal.

One Warm WinterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora