▪︎7-Julian and Bea's Mother▪︎

31 5 16
                                    

Sebuah gedung apartemen tua di pusat kota, tepatnya di lantai dua puluh nomor 202. Di sebelah asrama yang ditinggali Lucas dan anggota grupnya belasan tahun yang lalu. Derit suara daun pintu terbuka memecah lamunan Sally dan Mark.

Seorang lelaki bertubuh jangkung dengan surai bewarna cokelat terang langsung menyambut mereka dengan senyum miring khasnya. Ia adalah Julian, teman Lucas sekaligus mantan jamaat Anton di gereja setannya dulu.

"Welcome back to Amsterdam, Sally and Mark," sapa Julian hangat lalu memberi pelukan singkat pada Sally juga Mark.

"Hai, Julian. Sudah lama kali kita tidak bertemu," balas Sally tak kalah ramah.

"Terakhir kali kita bertemu kau dan Mark baru saja menikah dan-" Julian mendekatkan wajahnya pada Sally, "sekarang anakmu sudah besar saja."

"Bisa kita masuk? Ada yang ingin kami sampaikan padamu," tanya Mark tak ingin berbasa-basi lebih lama.

Mereka ke sini bukan sekedar bertamu, melainkan ingin mengorek informasi lebih dalam tentang Anton juga perihal keberadaan Jeffrey saat ini. Tak ada waktu untuk basa-basi dan bernostalgia tentang masa lalu yang kelam itu.

"Im so sorry, silakan masuk. Aku terlalu rindu pada istrimu, sampai lupa mempersilakan kalian masuk." Julian memiringkan tubuhnya agar Sally dan Mark bisa melangkah masuk ke dalam apartemennya.

Mark lalu merangkul tubuh Sally dan membawanya masuk ke dalam. Kedua netra cokelat itu menatap tajam netra Julian, tetapi sang empunya malah terkekeh geli.

"Silakan duduk! Mau minum apa?" tanya Julian.

"Gak perlu." Sally menggeleng. "Kami gak punya banyak waktu dan ada yang harus kami tanyakan padamu," tambahnya.

Julian mendaratkan bokong di atas sofa abu-abu di seberang Sally dan Mark. Lalu menyandarkan punggung ke sandaran sofa dan menyilangkan kedua kakinya.

"Apa yang ingin kalian tanyakan? Oh, sebentar! Biar kutebak." Julian tersenyum miring. "Tentang Anton, kan?"

"Iya, jadi langsung saja. Ada di mana dia?" tanya Mark to the point.

Julian mengedikkan bahu. "I dont know, aku bukan jamaatnya lagi dan for your information saat ini aku sudah menjadi jamaat gereja ... setan yang lain."

Sontak bola mata Sally membulat lebar, mulutnya menganga saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Julian.

"Just kidding! Jangan berlebihan, Sal. Aku memilih untuk tidak menyembah siapa-siapa," jelas Julian membuat Sally bernapas lega.

"Jadi kau benar-benar gak tau di mana keberadaan Anton?" Mark bertanya sekali lagi.

"Yup, terakhir dia ada di Bolsover dan sekarang aku gak tahu dia ada di mana," jawab Julian.

Air muka Mark dan Sally langsung berubah kecewa. Mereka saling bertatapan lalu menggelengkan kepala pelan, membuat Julian bingung melihatnya.

"Memangnya ada apa?" tanya Julian.

"Ayahku dibunuh, sepertinya ulah Anton," jawab Mark.

"Pendetan John?" tanya Julian dan dijawab anggukan kecil oleh Mark dan Sally. "Astaga! Artinya dia kembali lagi untuk mengacau hidupmu, Sally."

Mark langsung melayangkan tatapan tajam pada Julian yang berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan Sally.

"Apa? Kau mau marah?" Julian tertawa sinis. "Tapi itu faktanya, karena iblis tidak pernah tidak menepati janjinya. Jika ia ingin Sally sebatang kara maka sampai habis usia istrimu itu ia akan terus menerormu. Beruntung saja kau pindah ke Hongkong dan dia tidak bisa menemuimu."

Mark langsung bangkit dan meraih kerah kemeja Julian dan menariknya tinggi. Tangan kirinya mengepal kuat dan siap melayang ke wajah tampan pensiunan idola itu.

"Mark! Hentikan!" pekik Sally berusaha melepas tangan Mark dari Julian meski sia-sia.

Namun, Julian sama sekali tak menunjukkan ketakutan. Ia malah menunjukkan senyum miring. "Itulah faktanya, Mark. Salah keluarga Sally yang bermain-main dengan iblis. Omong-omong, sepertinya aku tahu kenapa ayahmu dibunuh."

"Katakan!"

"Untuk memancing kalian!"

***

Semilir angin sore yang sejuk menerpa wajah mungil Bea yang sedang duduk di teras lantai dua rumah Jericho. Sedangkan sang empunya rumah sedang keluar membeli sesuatu dan Jachy selalu pulang malam.

Saat sedang menikmati lemon tea buatannya, tiba-tiba ponsel miliknya berdering. Bertanda ada sebuah telepon masuk. Buru-buru ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie dan melihat nama 'Ibu' tertera di layar ponsel.

Bea menghela napas panjang sebelum menggeser tombol hijau ke atas.

"Halo, Bu," sapa Bea.

"Halo, kamu apa kabarnya di sana, Be?" balas Rina, ibu Bea dari seberang sana.

"Baik, Bu. Ibu gimana?"

Terdengar suara helaan napas berat. "Begitulah, akhir-akhir ini banyak orang memilih pindah dari jasa kita. Ibu bingung harus gimana lagi biar kita ramai lagi, Be. Ibu udah ngelakuin semua cara padahal," keluh Rina.

"Bea harus apa, Bu?"

"Ya kamu turutin permintaan ibu yang satu itu dong."

Bea memutar bola mata malas. "Gak mau, Bu! Kalau teman-teman Bea tahu, Bea bisa malu. Nanti mereka pasti gosipin Bea dan Bea bakal dipandang sebelah mata terus," tolaknya mentah-mentah.

"Kamu ini gimana, sih gak membantu banget jadi anak. Ingat, ya, Be kamu bisa ke Hongkong karena ibu jadi bantuin ibu juga dong. Ibu cuma pengen jadiin kamu testimoni ibu aja kok," kesal Rina.

"Bu, Be-"

"Dengar, ya, Be ibu udah numbalin dua nyawa untuk beasiswa kamu jadi kamu harus dengarin ibu. Ibu bakal tutup identitas kamu," paksa Rina.

Bea mengepal tangan kuat. Ibunya benar-benar keras kepala dan tidak bisa dibantah. Namun, Bea juga tak mau dijadikan testimoni oleh ibunya.

"Bea, kamu dengar ibu, kan?"

"Buu, Bea gak mau orang lain tahu kalau Bea anak dukun ilmu hitam. Mau ditaruh di mana muka Bea kalau orang tahu Bea dapat beasiswa karena ibu bikin perjanjian dengan setan. Pokonya Bea gak mau."

Setelah mengucapkan itu Bea langsung memutuskan panggilan telepon dan mematikan ponselnya. Ia lalu mengusap wajah frustasi.

-TBC-

Jan lupa vote biar dapat voucher makan malam bareng Julian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jan lupa vote biar dapat voucher makan malam bareng Julian

Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]Where stories live. Discover now