▪︎ 20 - Devil's Flattery ▪︎

13 4 13
                                    

Kepulan asap dari hot chocolate milik Jericho yang baru saja diantar oleh pelayan masih mengepul di atas cangkirnya yang bewarna putih. Netra cokelat lelaki itu menatap kosong ke depan, dengan tangan terus mengaduk minuman miliknya. Desahan berat berhasil lolos dari bibir tipis Jericho, ia terlihat seolah sedang menanggung beban berat di pikiran.

Perlahan kedua kelopak mata Jericho memejam perlahan semakin erat. Namun, matanya langsung terbuka saat ...

Tap!

Seorang gadis mungil berkulit putih pucat menarik sofa kecil di depan Jericho. Gadis dengan sweater rajut bewarna oranye kecoklatan, khas musim gugur itu lalu mendaratkan bokong di atas sofa itu.

"Sorry, Jer. Aku tadi ketinggalan bus jadi aku harus naik bus yang berikutnya," jelas Bea seraya membuka syal hitam yang membalut lehernya.

Kedua sudut bibir Jericho sedikit naik, membentuk sebuah senyum tipis dengan mata yang terlihat enggan terbuka. "Gak papa, Be aku juga baru sampai. Kamu mau pesaan apa? Biar aku pesankan."

"Sorry, setelah ini aku ada janji lagi dengan teman asramaku. Jadi aku gak bisa lama-lama di sini. Um ... kamu mau cerita apa, Jer?" tanya Bea dengan manik mata yang menyorotkan ketertarikan.

Namun, sebaliknya Jericho justru berubah pikiran. Jika semalam ia yang meminta Bea bertemu untuk mencurahkan isi hati yang selama ini terpendam, tetapi saat mendengar penuturan Bea yang terdengar buru-buru, hal itu justru membuat lelaki itu merasa bimbang.

"Jer," panggil Bea pelan, "kamu mau cerita apa? Kenapa diam saja?"

Jericho menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin bertemu denganmu saja dan memberikan ini." Lelaki itu kemudian meletakkan sebuah paper bag-yang sebelumnya berada di lantai-ke atas meja.

"Apa ini?" tanya Bea seraya mengintip ke dalam isi paper bag itu.

"Oleh-oleh dari papa dan mama," jawab Jericho singkat sebab isi kepala masih menimbang-nimbang antara haruskah ia berbagi cerita pada Bea atau memendamnya sendiri.

"Oh orang tuamu sudah pulang?" tanya Bea.

Hening. Tidak ada jawaban atau pun respon dari lawan bicaranya.

"Jer?"

Masih sama. Lelaki yang duduk di depannya masih diam tak bersuara.

"Jericho!" Bea sedikit menaikkan nada suara dan berhasil menyadarkan Jericho dari dunia khayalannya. "Kamu kenapa? Kok malah diam saja."

"Ah itu ...." Jericho sengaja menggantungkan kalimatnya sejenak kemudian menghela napas berat. "Aku ingin cerita s—"

Nanananana~

Ponsel Bea tiba-tiba berdering dan memangkas kalimat Jericho. Gadis itu pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam tote bag putih yang tersampir di bahu dan mengangkat panggilan dari seseorang yang tak Jericho ketahui.

"Halo?"

"..."

"Sekarang?" tanya Bea dengan dahi mengerut.

"..."

"Okay, aku akan pergi sekarang ke sana," ucap Bea sebelum ia memutuskan sambungan telepon itu. Setelah memasukkan kembali ponsel ke dalam tote bag miliknya barulah gadis itu kembali menatap Jericho. "Maaf, tadi ada panggilan penting dan aku harus pergi."

Raut wajah Jericho seketika berubah murung, dari sorot netra yang bewarna cokelat itu Bea dapat melihat kekecewaan di dalam sana.

"Maaf, ini urusan yang sangat penting. Nanti kita bisa bertemu lagi dan aku janji aku akan dengarin semua cerita kamu. Okay?" tawar Bea sembari memasang ekspresi wajah memelas.

Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]Where stories live. Discover now