▪︎ 18-He is Gone ▪︎

17 2 0
                                    

Sebelum benar-benar pergi dari kota tempat di mana Sally menghabiskan masa remajanya bersama dengan kakak dan ayahnya, ia dan sang suami berencana untuk bertemu dengan Lucas untuk berpamitan sembari mengembalikan mobil sewa yang mereka gunakan selama ini.

Di balik selembar kaca tebal yang memisahkan tahanan dengan pengunjung, Sally merasa miris saat melihat rupa Lucas yang berbeda jauh saat ia masih berada di atas panggung dulu. Wajahnya yang segar, tampan dengan tubuh atletis kini tinggal tulang, wajahnya pucat dengan kantung mata hitam.

Tak bisa dipungkiri jika hati Sally teriris saat melihat sosok Lucas yang semakin hari kian memburuk. Namun, ia tidak mau memperlihatkan hal itu pada Lucas, wanita itu menarik paksa kedua sudut bibir ke atas, membentuk sebuah senyum tipis.

"Hai," sapa Sally berusaha ceria.

Lucas hanya tersenyum tipis. Matanya yang sayu tampak berat untuk dibuka.

"Kamu udah makan? Atau semalam begadang? Kamu kok hari ini kelihatan lemas banget, Lucas?" tanya Sally beruntun. Tidak mampu memendam rasa khawatir yang menggerogoti diri.

"I am okay, Sally," sahut Lucas lemas.

"Kamu sakit? Aku akan panggilkan petugas untuk bawa kamu ke rumah sakit," tawar Mark yang duduk di sebelah sang istri dengan raut wajah tak kalah khawatir.

Lucas terkekeh kecil. "Gak papa, aku gak sakit. Kalian ... mau apa ke sini?"

"Kamu beneran gak papa?" tanya Sally lagi guna memastikan dan Lucas menjawabnya dengan anggukkan pelan. "Aku sama Mark mau berpamitan sama kamu, kami ... harus kembali ke Hongkong karena Jericho membutuhkan aku di sana."

"Ah, begitu," respon Lucas singkat.

"Maaf aku dan Mark belum bisa mengeluarkanmu dari sini, tapi kami gak menyerah. Kami pasti akan membawamu keluar dari bui ini," ujar Sally penuh semangat, berharap jika hal itu dapat mengkobarkan semangat jua pada diri Lucas.

Lucas tersenyum tipis. "Tidak perlu, aku sudah menerima hukuman ini. Mungkin ini cara Tuhan menghukumku atas semua dosa-dosa yang dulu pernah aku perbuat. Terima kasih kamu dan Mark sudah selalu setia membantuku, aku sangat menghargai itu, tapi aku sudah menerima ini dan siap untuk hidup dalam kurungan ini hingga aku mati nanti."

"Jangan bicara begitu! Aku pasti mengeluarkanmu dari sini," tegas Sally.

"Kamu sama seperti Jackson gege, selalu ingin membantu orang lain terutama orang-orang di dekatmu. Ini salah satu mengapa aku menyukaimu dulu Sally, dan buatku sulit untuk membuka hati untuk orang lain," Lucas lalu terkekeh kecil, "tenang saja, Mark! Aku gak mungkin rebut Sally. Dia sudah mengikat janji suci di depan Tuhan untuk menjadi milikmu."

"Dan kau, Mark," Lucas terdiam sesaat kemudian mengulas senyum tipis, "maaf karena aku pernah membuat Sally bertahun-tahun lamanya memendam rasa benci pada dirimu. Aku titip Sally, dan tolong jaga dia sampai akhir. Aku akan menjaganya dari atas."

Suasana hening menyelimuti mereka bertiga untuk beberapa saat. Lucas menundukkan kepala, menyembunyikan matanya yang mulai memerah. Sally meneguk ludah kasar dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak sebodoh itu untuk tak memahami maksud dari perkataan Lucas.

"Jangan ngomong aneh! Kamu gak akan ke mana-mana, kalau pun kamu pergi, itu kamu akan pergi ke Hongkong bukan ... bukan ..." Sally menjatuhkan kepala ke atas meja saat tangisnya pecah, "aku gak mau kamu pergi, aku gak mau lagi kehilangan orang yang aku sayang."

Suara lirih yang keluar dari mulut Sally berhasil membuat tangis Lucas pecah. Ia juga tidak ingin hal ini terjadi. Terkadang ia menyalahkan Tuhan mengapa menempatkan dirinya dalam skenario buruk seperti ini. Di mana bukti jika skenario Tuhan itu adalah skenario terbaik? Lucas sama sekali tak merasakan hal baik datang pada dirinya selama ini.

***

Seluruh koper sudah diletakkan di dekat pintu keluar. Sally menyisir seluruh kamar, memastikan jika tak ada lagi barang-barang yang tertinggal. Mark sendiri sudah menanti sang istri sembari mengirim pesan pada sang anak jika ia dan Sally akan segera berangkat kembali ke Hongkong.

"Ayo, aku udah siap!" ucap Sally seraya menutup daun pintu kamarnya.

Mark beranjak bangun kemudian membawa satu koper berukuran besar dan dua buah koper kecil berisi buah tangan untuk Jericho, Bea dan teman-temannya.

"Kamu udah pesan taksinya?" tanya Sally memastikan.

"Sudah, harusnya sudah sampai di depan," jawab Mark.

Guna memastikan perjalanan berjalan dengan lancar, Mark sengaja memesan taksi untuk mengantar mereka ke bandara nanti. Sebab apartemen yang mereka sewa selama tinggal di Amsterdam ini jarang dilewati oleh taksi dan Mark tidak mau membuat Sally berjalan jauh untuk mencari taksi.

Sebuah taksi bewarna putih tulang terparkir rapi di depan apartemen mereka. Supir taksi itu segera membantu Mark memasukkan koper ke dalam bagasi, sedangkan Sally langsung masuk ke kursi penumpang di bagian belakang.

Kedua manik matanya menatap ke jendela yang menampilkan pandangan jalanan kecil dengan bangunan tua yang berdiri di sana. Ia kemudian menghela napas gusar, perasaannya saat ini sedang kacau balau. Di satu sisi merasa bahagia sebab akan bertemu dengan putera tunggalnya, tapi di satu sisi lagi merasa sedih harus meninggalkan kota masa kecil dan Lucas yang masih terkurung dalam jeruji besi.

Belum lagi melihat penampilan Lucas yang semakin hari kian memburuk. Lucas yang sekarang dilihat di depan mata jauh berbeda dengan Lucas yang dulu ia kenal, Lucas yang selalu tampil energik di atas panggung.

"Are you okay?" tanya Mark yang baru masuk.

Sally mengangkat dua sudut bibir secara paksa ke atas. "Aku gak sabar mau jumpa Jericho, dia pasti rindu sekali dengan masakanku."

"Tentu saja. Masakanmu itu juara sekali," puji Mark seraya memberi kecupan hangat pada kening Sally sebelum sang supir juga ikut masuk ke dalam dan duduk di kursi pengemudi.

Setelah dipastikan seat belt telah terpasang sempurna, barulah taksi itu berjalan menyusuri jalanan kota Amsterdam yang tak terlalu ramai. Sebab orang-orang di sini lebih suka berjalan kaki daripada naik alat transportasi.

"Kita nanti harus beli roti khas Belanda juga untuk Jericho, ya," pinta Sally.

"Iya, nan—" Kalimat Mark terpotong karena ponselnya berbunyi. Dahinya mengerut kala melihat yang menelepon adalah pihak kepolisian Belanda. Dengan kebingungan yang menyelimuti diri, ia segera mengangkat telepon itu.

"Halo."

"..."

Bola mata Mark membulat lebar kala mendengar kalimat yang entah apa diucapkan oleh pihak di seberang sana. Sally sama sekali tak tahu apa-apa, kecuali firasatnya yang berkata jika hal itu bukanlah hal yang baik.

"Baik, kami akan segera ke sana."

"Siapa?" tanya Sally setelah Mark menutup teleponnya.
Bukannya menjawab pertanyaan Sally, Mark menepuk bahu sang supir dan berkata, "putar balik ke penjara sekarang tolong!"

"Mark!" Sally menarik tangan Mark dan menatap mata lelaki itu dengan tubuh mulai bergetar. Ia tahu itu bukan hal yang baik, tapi apa. "Kenapa? Lucas kenapa? Kenapa kita ke penjara lagi?"

Mark membawa Sally ke dalam pelukan dan mengelus punggungnya pelan. "Lucas ... sudah pergi."

-To Be Continued-

Holaaa!! Ingat ges mereka tuh jago banget ngegombal buat dapatin newmem dan aku punya kabar gembira buat yang pengen jadi tim gercep boleh banget intip ke karyakarsa aku, username : bileikha dan ayo mutualan di sinii

Holaaa!! Ingat ges mereka tuh jago banget ngegombal buat dapatin newmem dan aku punya kabar gembira buat yang pengen jadi tim gercep boleh banget intip ke karyakarsa aku, username : bileikha dan ayo mutualan di sinii

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]Where stories live. Discover now