▪︎ 15-Officially▪︎

13 3 1
                                    

Tak pernah terbayang dalam hidup Bea akan melewati malam di gereja ini. Suasana hening menyelimuti malam, tak ada satu pun terdengar suara yang masuk ke indera pendengar miliknya. Bahkan dersik angin di musim dingin yang biasa sering membuat tidurnya terusik kini sama sekali tidak terdengar.

Manik mata Bea menilik ke bawah, menatap sepasang tungkai telanjang yang menapak ke lantai kayu di mana ada sebuah gambar pentagram yang tergambar di sana dan kini tubuhnya berdiri di tengah-tengah. Tiap sudut pentagram diletakkan masing-masing satu buah lilin putih yang menyala tegak.

Deg! Deg! Deg!

Suara degup jantung Bea berdetak kencang. Jika suasana sunyi seperti ini, ia yakin pasti Anton dan Jachy yang berdiri membelakanginya pasti bisa mendengar juga. Kedua tangan yang berada di balik jubah hitam yang kebesaran itu diregam kuat-kuat, berusaha menetralkan detak jantung.

"Kamu sudah siap?" tanya Anton tanpa melihat Bea.

Bea menganggukkan kepala pelan. "S-sudah."

"Tidak perlu takut," Anton terkekeh kecil, "semua akan baik-baik saja dan aku pastikan ini tidak akan sakit."

Tidak akan sakit? Dahi Bea seketika mengerut kala mendengarnya. Apa itu artinya ia akan dilukai sehingga Anton sampai berkata seperti itu?

Belum usai Bea bergulat dengan isi kepalanya, Anton dan Jachy membalikkan tubuh dan sekarang mereka saling berhadapan. Kedua lekaki itu juga memakai jubah yang sama dengan yang dikenakan Bea, tetapi milik Anton dan Jachy bewarna merah pekat, seperti warna darah.

Anton mengangkat sebelah tangan kanannya ke atas, sedangkan tangan sebelah kiri yang memegang sebuah gelas emas hanya di angkat setengah. Kedua mata terpejam dan bibir mengucapkan sesuatu yang tak Bea ketahui apa itu. Terdengar seperti bahasa Ibrani yang pernah ia dengar dari temannya.

Jachy yang berdiri di sebelah Anton juga melakukan hal yang sama, tetapi bibirnya terkatup bak seorang makmum yang hanya mengikuti gerakan sang imam.

Bersamaan dengan kata-kata yang keluar dari mulut Anton, hawa dingin tiba-tiba masuk dan membuat tubuh Bea bergedik. Bulu kuduknya seketika naik dan jantungnya kini berdetak dua kali lebih cepat.

"Kedatanganmu disambut dengan baik, Bea. Dia menyukaimu," lirih Anton dengan sebuah smirk terulas di bibir. Lelaki itu kemudian berjalan turun dari altar, melangkah mendekati Bea. "Ulurkan tanganmu!"

Seolah terhipnotis, tanpa bertanya apa pun Bea langsung mengulurkan tangannya dan detik itu juga Anton menggores telapak tangan Bea dan membiarkan darah mengucur darinya. Ia kemudian menampung darah itu dalam sebuah gelas emas yang sejak tadi dipegangnya.

"Aw!" Bea meringis sakit, tetapi anehnya rasa sakit itu langsung menghilang.

Hingga terisi setengah barulah darah itu berhenti mengucur. Jachy kemudian berjalan mendekat seraya membawa dua buah gelas emas yang berukuran lebih kecil. Kemudian Anton menuangkan sedikit darah Bea ke masing-masing gelas.

"Ambillah satu gelas itu!" perintah Anton.

Gadis itu lalu mengambilnya dari tangan Jachy.

"Wahai Sang Abadi, terimalah persembahan dari hambamu! Berilah kami selalu keberkahan di setiap jalan kami!" ucap Anton dengan mata terpejam kemudian ia mengangkat gelas di tangannya, diikuti oleh Jachy dan diakhiri Bea dengan ragu.

"Minumlah!" perintah Anton lagi.

Dahi Bea seketika mengernyit. Meminum darah? Darahnya sendiri? Ia melirik ke gelas yang berisi cairan merah pekat yang berasal dari dalam dirinya. Matanya menyorotkan rasa jijik saat aroma darah itu menyeruak masuk ke dalam indera pembau.

Klandestin [SEQUEL CINDERELLA'S WINTER]Where stories live. Discover now