Chapter 1 : Harapan

35 15 6
                                    

1 JUNI 2002
18 Tahun sebelum serangan zombie

Kita percaya bahwa manusia mempunyai takdirnya masing masing, kehidupan sampai kematian. Tetapi, apakah kita bisa mencurangi takdir? Dengan cara menyelamatkan mereka tepat sebelum kematian itu datang menghampiri mereka?
Itulah yang dipikirkan Zanzibar sudah 12 tahun dia mencoba membuat sebuah alat untuk mengembalikan keluarganya dari kematian. Padahal sang istri sedang mengandung dan akan melahirkan sebentar lagi. Tetapi, dia masih saja terjebak luka di masa lalu.

Krek krek krek…

Suara mur yang berdecit menggema bagai irama tak beraturan memecah keheningan pagi sebelum terbitnya sang fajar. Diiringi detik jam yang menandakan waktu terus maju sedikit demi sedikit.

“Lu yakin gak pengen pulang? jenguk istrilu? Bentar lagi dia ngelahirin loh.” Robert memecah kebisuan. Dia menatap tajam mata Zanzibar

“Gua gak akan pergi kemana pun sebelum nyelesaiin alat ini, biar terjadi kiamat pun gua bakal tetap disini.” balas Zanzibar. Sinis. Tangannya tidak berhenti menyentuh alat itu. Bentuknya kotak, dilapisi lapisan kulit, menjadikannya terlihat seperti tas.

“Udah lah Bar, lu harus bisa move on. Lu punya istri, lagi hamil pula. Relain mereka, gua juga udah ngerelain Ibu gua kok. Walaupun berat kalo diinget inget.” Robert ngotot.

Dia khawatir dengan sahabatnya itu. Sudah beberapa bulan tidak pulang kerumah, sibuk mengurusi mesin waktu yang tidak meyakinkan ini.

Zanzibar tiba tiba bangun dari kursinya, dia menengok ke Robert dan menatapnya dengan fokus.

“Hah, Relain? Banyak orang mati pas kecelakaan itu, keluarga lu, keluarga gua. Tapi, karena pelakunya polisi kasusnya lenyap gitu aja. Bener bener udah gak ada keadilan di negeri ini.” omel  Zanzibar. Dengan raut wajahnya sangat menyeramkan, kilauan sinar lampu terpantul tepat dikacamatanya.  

Tiba tiba suasana menjadi hening.

Zanzibar kembali duduk, dia melanjutkan pekerjaannya. Sebuah kabel dimasukan ke lubang yang berada diujung benda itu, kali ini ia berniat mengalirkan listrik kedalamnya sebagai sumber energi. Zanzibar menancapkan konektornya sampai terdengar bunyi “krek”

Tiba tiba Zanzibar terisak. Mencoba menahan tangis. Dia menoleh ke kanan, memandangi  figura berisi foto keluarga nya. Ayahnya seorang pekerja keras. Mama nya yang selalu menyayangi nya, dan adik kecil yang menggemaskan. Siapapun tau itu

Zanzibar mulai berbicara sendiri, membayangkan keluarganya ada dihadapannya

“Tenanglah ayah, ibu, dan adikku yang mungil. Tunggu Ibar, Ibar bakal nyelamatin kalian dari penderitaan ini.” Zanzibar menaruh alat itu dipangkuannya.

“Inilah harapan satu satunya yang kita punya.” tambah Zanzibar

Robert yang melihat kelakuan sahabatnya itu menjadi merasa kasihan. Ia mendatanginya. menepuk pundak Zanzibar pelan. Dia berkata. “Oke percobaan yang ke 9 kali, semoga yang kali ini bisa keliatan hasilnya. Tapi inget, abis ini lu harus pulang gua gak mau tau”

Robert pun menjulurkan tangannya, memberikannya pertolongan.
Mendengar perkataan Robert, Zanzibar bangkit dari duduknya, seraya menggendong tas nya itu. Mereka berjalan menuju ke tempat eksperimen.

Tas tadi diletakkan di atas sebuah meja besi. Robert mengambil kabel yang sudah dipasang oleh Zanzibar pada lubang mesinnya. Dan ia menghubungkan kabel itu ke generator yang berada tidak jauh dari mejanya.

“OKE SIAP BAR?” teriak Robert, jarinya sudah menempel tombol, tinggal menunggu ditekan saja.

Zanzibar belum menjawab, ia masih sibuk mensetting alatnya. Ia menekan sebuah tombol merah yang berada ditengah tengah mesinnya. Sampai kemudian dia berteriak.

“TEKEN BERT!”

Robert menekan tombolnya, aliran listrik mengalir ke alat itu. Seketika lampu di dalam lab mati nyala. Listrik yang dialirkan sangat besar, hingga terlihat kilatan kilatan listrik disekitar mesinnya. Zanzibar segera menjauh. Dilain sisi Robert mulai panik.

“MATIIN GAK NIH?” teriak Robert, di antara kerasnya suara listrik konslet dimana mana.

Zanzibar mendengar suara itu samar samar sambil masih menatap mesinnya, dia membalas sambil berteriak,

“TUNGGU! BENTAR!”

Robert menjadi panik, dia meresa hal buruk akan terjadi. Dia menoleh ke Voltase. Jarumnya menunjukan angka yang terus naik dengan drastis. Dengan jantung berdebar kencang Robert menunggu beberapa detik tapi, angka tersebut terus naik. Dengan pikiran bimbang akhirya dia menarik tuas yang ada disamping generator.

Benda itu langsung berhenti mengalirkan listrik. Lampu kembali menyala normal. Konsleting tidak terjadi, namun Zanzibar malah marah besar, dia mengomel sambil menatap tajam ke arah Robert,

“NGAPAIN LU MATIIN? GUA LIAT ITU HAMPIR BERHASIL.”

Robert yang terpancing emosi membalas omelan Zanzibar, dia dengan ngotot berteriak

“LU MAU MATI? GUA LIAT ANGKANYA TINGGI BANGET.”

Dengan muka yang mengencang Zanzibar berdiam sejenak, dia mengalihkan pandangannya ke lantai.

TINUNING TINUNING..

Ditengah tengah perdebatan hebat tiba tiba handphone Robert berdiring keras. Nokia 3310  dengan goresan dibelakangnya. Dia menggengamnya dan menjawab telfonnya.

“Halo Yah, kamu dimana?” suara perempuan terdengar lemas.

“Iya, Halo mah ini aku lagi di lab, badan kamu belom enakan juga?” Balas Robert. Suasana makin menjadi aneh. Robert mulai panik. Apakah istrinya baik baik saja.

“Belom Yah, kamu cepat pulang ya.  Oh iya, aku nitip beliin bubur yah.” Suaranya terdengar semakin pelan seperti menahan rasa sakit.

“Iya mah ini ayah pulang, aku beliin obat kamu juga ya.”
Robert pun mematikan telfon.

Genggaman tangannya semakin keras. Robert melirik Zanzibar yang tertunduk lesu.

“lu benar benar pria menyedihkan.” ujar Robert. Kesal dan panik bercampur. Perasaan Robert benar benar tidak jelas pada saat itu.

Robert segera berjalan cepat untuk keluar dari lab, sambil berjalan dia mengambil jaketnya yang sedang dgantung disamping pintu keluar.
Robert membanting pintu, dia keluar dengan tergesa gesa.

Rasa kecewa Zanzibar sungguh amat tidak bisa dibendung. Amarahnya menjadi jadi, emosinya sudah diujung kepala.

Dia membanting lemarinya, dia membanting benda apapun yang dilihatnya. Tumpukan kertas dimejanya dilempar begitu saja. Semuanya bertebaran dilantai. Kaki Zanzibar lemas, sampai sampai ia tidak kuat berdiri, dia melutut, badannya membungkuk sebagai bentuk kekecewaannya. Tangisnya pecah, Zanzibar mulai bermonolog lagi, dia berkata

“Maafin Ibar, ayah, ibu, Ibar gagal. Ibar gak berguna.”

Disaat kepalanya membungkuk dia melihat selembar kertas dilantainya. Bergambarkan sebuah botol berisi cairan, di deskripsinya tertulis

“BAHAN BAKAR TIME MACHINE UJI COBA 2.”

Zanzibar sadar itu adalah sebuah uji coba pembuatan bahan bakar yang dilakukannya di tahun 1993. Tertulis nama cairan itu ialah, “ZOMBRADOX

Zanzibar mengambilnya, membaca lembaran itu dengan fokus. Hingga pada akhirnya raut wajahnya berubah. Dan harapan itu pun kembali muncul dalam hati kecilnya.

ZombradoxWhere stories live. Discover now