Chapter 5

269 38 9
                                    

Tidak mudah menaklukan Meisarah. Itulah yang kudengar dari orang-orang. Namun, aku tak percaya. Dia hanyalah manusia biasa. Dia punya hati. Jangankan Meisarah, batu yang keras saja jika terkena tetesan air terus-terus akan berlubang, bukan? Apalagi keras hatinya Meisarah. Semua ini hanya butuh waktu dan usaha yang lebih. Meski hatiku sedikit kecewa menerima kenyataan jika Meisarah tak mau menerima apapun pemberianku, namun mengetahui bukan hanya aku, tapi semua lelaki yang pernah melakukannya juga bernasib sama.

Meisarah memang gadis langka. Dia tak mau menerima pemberian dari cowok mana pun, dan apapun itu.

Aku menghelas napas memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendekati Meisarah? Bersikap keren di depannya, sudah. Mengirimi berbagai macam hadiah, sudah. Son dan Waode juga sudah berulang kali mengirimkan suratku kepadanya. Surat yang kutulis dengan penuh cinta. Sebuah puisi dengan kata-kata yang romantis. Berminggu-minggu kupikirkan, tak mudah membuat puisi romantic, karena aku tak pandai membuat puisi. Setelah kukirim padanya, jangankan dibaca, dibuka saja amplopnya tidak.

"Lapor, Kapt! Meisarah mengangkut pasir."

"Apaaa?!" Aku tercekat. Lagi, dia berulah. Apa lagi yang dilakukan Meisarah?

"Untuk apa?"

"Tidak tahu, Kapt. Mungkin untuk membangun rumah?"

Aku pergi ke rumah Meisarah. Dari kejauhan, kulihat dia mengangkut pasir dengan gerobak sorong dari pelabuhan ke rumahnya dengan jarak satu kilometer dibantu Bima.

Aku hanya dapat menghela napas. Mengapa Meisarah melakukan itu? Kenapa dia repot-repot membangun rumah, mengapa dia tak meminta orang lain melakukannya?

Oh, Meisarah, bintang hatiku. Bagaimana caranya aku bisa membantumu? Akankah kau mau menerima bantuanku? Katakanlah, "Ya," Meisarah. Maka jangankan rumah, akan kubangunkan istana untukmu.

***

Membayangkan Meisarah mengangkut pasir membuatku tak karuan. Makan, tidur, bekerja, semua kacau.

Sudah dua hari, Waode dan Son belum mendapat informasi apapun tentang rencananya itu. Apakah setelah batu koral dan pasir terkumpul, yang membuat pondasi dia juga? Oh, tidak, aku tidak mau bintang hatiku disulap jadi pekerja bangunan.

"Waodeeee!"

"Siap, Kapt!" Waode berlari dengan cepat dari belakang.

"Apa kau belum dapat informasi apapun?"

"Belum Kapt, tap Son baru saja menelponku, katanya dia sudah mendapat informasi dari Sania. Dan sedang dalam arah kembali."

"Lakukanlah sesuatu, Waode!"

"Apa yang harus kita lakukan, Kapt?"

"Aku juga tidak tahu, Waode. Meisarah tidak mau dibantu. Sebagai laki-laki yang mencintainya, aku merasa tidak berguna."

Seharian penuh, kucoba terus berpikir, bagaimana caranya bisa membantu Meisarah? Sebenarnya, membuat rumah adalah hal mudah bagiku. Cukup kukerahkan dua puluh tukang profesional, dalam sehari selesai. Namun, Meisarah adalah gadis yang tak menerima apapun dari orang lain.

"Lapor, Kapt!" ujar Son yang baru saja datang.

"Meisarah tidak membuat rumah."

"Lalu apa?"

"Kata Sania, dia membuat makam."

Makam? Untuk siapa? Atau jangan-jangan untuk menguburku. Astaga, pikiran apa ini?

"Apa ada keluarganya yang meninggal?"

"Saya sudah tanyakan itu kepada Sania tapi tidak ada keluarganya yang meninggal."

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang