Chapter 7

208 39 6
                                    

Waktuku mengejar Meisarah selesai dan tak berhasil. Ini akan menjadi sejarah dalam hidupku. Biasanya paling lama seminggu, bahkan hanya beberapa jam saja, menaklukan wanita hal yang mudah bagiku. Namun, Meisarah tidak. Selama tiga bulan seminggu, aku bahkan belum mendengar suaranya langsung bicara denganku. Aku belum pernah mendapatkan senyumnya.

"Capt, surat izin berlayar sudah beres." Waode memberitahukan bahwa surat administari berlayar telah dia selesaikan di syahbandar.

Aku memijit kepala. Mengapa keberangkatan ini terasa akan meninggalkan jiwaku di desa ini?

Oh, Meisarah. Aku tak tahu, apakah aku harus menyerah saja atau tidak.

"Apakah Kapten mau berpamitan dulu?"

"Iya. Sore nanti saya akan berpamitan dengan kepala desa dan sekalian mengucapkan terima kasih karena sudah meminjami kita mobilnya."

"Kalau Meisarah?"

Mendengar nama itu, aku kembali seperti bermimpi.

Tiga bulan yang lalu, ketika datang dengan amat terpaksa ke desa ini. Lantaran kakakku tak jadi berangkat, akulah yang menganggantikannya.

Di saat aku merasa gengsi harus berlayar ke desa terpencil untuk mengambil muatan yang tak seberapa, namun pagi pertama di sini, ketika menghirup udara segar, aku harus melihat Meisarah lewat di depanku membawa embernya.

Entah mengapa, saat pertama kali melihatnya, jantungku berdegup kencang. Awalnya, aku merasa hanya mengaguminya saja tapi lama-lama hatiku tak dapat menimbang rasa.

Rasa telah menjadi utuh, seolah ada yang menarikku untuk terus melihatnya meski dari kejauhan.

Meisarah. Nama itu. Aku hanya tahu dari Sania dan Inggrit. Dua sahabatnya. Yang juga meruapakan gebetan Son dan Waode. Son dengan Sania. Waode dengan Inggrit.

Selama mendekatinya, aku belum bahkan berkenalan dengannya.

"Apakah Kapten benar-benar ingin meninggalkan tempat ini?"

"Entahlah, Waode."

Ya, entahlah. Apakah aku benar-benar ingin meninggalkan tempat ini?

"Bagaimana dengan Meisarah, Kapt?"

"Mari kita hentikan saja, Son!"

***

Aku sudah berpamitan dengan kepala desa dan beberapa tokoh-tokoh kampung. Pajak sudah kulunasi, sedikit sumbangan untuk pembangunan juga sudah kuberikan.

Untuk hari terakhir di sini, kupinta Son dan Waode untuk tidak mengikutiku. Aku hendak sendiri melihat-lihat dan menikmati suasana di kampung persinggahanku ini sebelum meninggalkannya.

Beberapa tempat seperti gunung, sungai, laut, dan para nelayan di pelabuhan, sudah kuabadikan dengan kamera. Semoga menjadi kenang-kenangan untukku nanti di Jakarta. Aku mungkin tidak akan datang lagi ke sini.

"Praaakk!" Suara orang jatuh. Aku berlari menghampiri suara itu. Tampak buah jambu berserakan di tanah dan seseorang mengumpulkannya ke dalam keranjang.

Meisarah, itu dia. Aku berlari dan membantunya mengumpulkan buah-buah jambu itu. Sebagian kotor, kulepas jaket bomberku untuk membersihkan debu yang menempel di buah jambu itu.

Kami berdua hanya diam. Tak ada yang bicara sepatah kata pun. Aku hanya ingin membantunya untuk terakhir kali dan berpamitan sekalian.

Setelah semua buah jambu itu terkumpul dalam keranjang, Meisarah beranjak melangkah pergi.

Meisarah, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik, Meisarah. Meski aku tak dapat memilikimu tapi kau tetap menjadi bintang di hatiku. Kata-kata itu hanya dapat terucap di hatiku. Kubiarkan dia membalik badannya dan pergi. Aku tahu, apapun yang kukatakan, dia akan tetap diam.

Aku menghela napas dan juga akan pergi. Kami berpisah.

"Terima kasih." Tiba-tiba suara itu.

Aku menghentikan langkahku. Apakah itu suara Meisarah? Terdengar lirih dan lembut. Seluruh tubuhku bergetar mendengarnya. Dan ketika aku berbalik, dia menatapku sekilas lalu menunduk.

Mataku berkaca-kaca melihat itu. Oh, Meisarah, bintang hatiku.

Terima kasih, Tuhan. Engkau mengabulkan permohonanku. Akhirnya Meisarah mau bicara denganku. Walau itu hanya satu kalimat. Ini belum tamat, Kawan.

***

Dengan sangat berat hati, kutinggalkan Desa Periangan, kutinggal Meisarah, bintang hatiku.

Lambaian orang-orang dengan wajah sedih seolah mengucapkan selamat jalan kepadaku.

Sania dan Inggrit tampak menangis melepas kepergian Son dan Waode. Begitu pun sebaliknya. Mereka penuh drama seperti film india yang melepas genggaman tangan sedikit demi sedikit. Ah, lebai sekali.

Sepanjang pelabuhan batang, tak kulihat keberadaan Meisarah. Mengapa dia tak mengantarku?

Aku mengedarkan pandanganku satu persatu. Tak kutemukan Meisarah selain kepala desa yang mondar-mandir melambaikan tangan dan meneriakiku.

"Selamat jalan Kapten, hati-hati di jalan! Datanglah lagi ke sini!" Aku tersenyum kelu.

Aku kesal di pelabuhan itu tidak ada bintang hatiku. Di saat detik-detik kepergianku, dia tak datang.

Kubalikkan badan. Tiba-tiba ada berteriak memanggilku.

"Kakak, Kapten!" Itu teriakan Nisya. Kulihat gadis 12 tahun itu tersenyum melambaikan tangan. Dan di belakangnya, ada Meisarah.

"Oh, Meisarah, bintang hatiku." Aku berlari ke haluan melambaikan tangan padanya. Meisarah menekur diam. Dia tak mau melihatku.

Bahkan disaat aku pergi. Hatiku pilu. Baiklah Meisarah, mungkin kita tidak berjodoh.

Kapal semakin melaju meninggalkan muara, orang-orang di pelabuhan itu semakin jauh.

"Meisarahhhh! Aku mencintaimuuuuuu!!!" Setidaknya aku mengungkap perasaan ini lewat angin. Dan biarlah dia yang sampaikan kepada Meisarah nanti malam atau ditelan ombak lautan.

Selamat tinggal Meisarah! Aku akan melupakanmu. Lihat saja nanti kalau sudah sampai di Jakarta. Banyak wanita cantik sepertimu.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang