Chapter 25

156 25 0
                                    

"Uwwaaakkk."

"Ada apa, Kapt?" Son dan Waode kalang kabut melihatku beberapa kali keluar masuk toilet karena muntah.

"Carikan dokter!"

"Tidak ada dokter di sini, Kapt. Memangnya Kapten habis makan apa?"

"Tadi waktu di rumah Bagas, aku makanan yang dibawakan Meisarah."

"Apa itu?"

"Katanya semur jengkol, oseng petai, dan oseng kerang hijau."

"Hah, Kapten makan-makanan itu?"

"Tidak semua, hanya mencoba kerang hijau."

"Jangan-jangan Kapten keracunan. Kalau tidak cocok makan kerang hijau itu bisa keracunan. Seperti sepupu saya di kampung, dia juga tidak bisa makan kerang hijau, kalau dia makan seperti captain ini, muntah-muntah" papar Waode.

"Terus gimana dong?" tanya Son.

"Aduuhhh!" Aku berguling-guling. Son dan Waode panik.

"Sepertinya hanya Meisarah yang bisa mengobatinya," pungkas Waode. Tepat Waode, kau benar. Ayo, kalian jemput Meisarah untukku.

"Uwaaakk!" Aku muntah lagi.

Ketika aku keluar toilet, Son dan Waode sudah tidak ada lagi di kamarku. Mungkin mereka pergi ke rumah Meisarah.

Aku berebah di kasur dengan perasaan lemas karena banyak kehilangan cairan.

"Tok...tok...tok..." pintu kamar diketuk.

"Kapten, apa aku boleh masuk!"

Itu suara Waode dan Son. Pasti mereka sudah membawa Meisarah untukku. Aku masuk ke dalam selimut dan bergulung-gulung di kasur dan mulai berteriak.

"Masuklah! Aduh...."

"Kapten, apa yang terjadi? Kenapa Kapten berkelumbun seperti itu?"

"Karena aku kesakitan Waode, ini sungguh sakit. Tolong aku!"

"Demi anak camat sialan itu, cepat tolonglah kapten kami!"

"Baiklah." Kudengar suara perempuan. Ia seperti mendekat.

"Bagian mana yang sakit?" tanyanya lembut.

"Aku tidak tahu, Meisarah. Yang jelas, perutku rahasanya seperti diobok-obok. Tenggorokanku seperti ada yang menggerogoti, air liur seperti habis terkena minyak. Lendir tidak habis-habisnya. Tolong sembuhkan aku Meisarah!"

"Kapten, singkirkan selimut itu!"

Aku bangun dan keluar dari selimut.

"Ibu?"

"Iya, saya, bukan Meisarah. Tadi kedua temanmu datang ke rumah meminta bantuan kepada Meisarah, tapi dia sedang berhalangan mengantar adiknya sekolah. Jadi, saya yang ke sini."

"Aduh, jadi merepotkan Ibu. Maaf banget Bu, ya?" Rasanya malu sampai ke ubub-ubun.

"Kalian gimana sih, kalau Ibu lebih baik tidak usah."

Son dan Waode terbelalak.

"Hmm maksud saya, jadinya merepotkan Ibu."

"Tidak apa-apa, anak muda. Sekarang minumlah ramuan ini."

"Ramuan?"

"Iya, tadi Meisarah yang membuatkannya."

Oh, meisarahku. Jadi kau yang membuatkan ramuan untukku. Terima kasih meisarah.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang