Chapter 35

138 11 1
                                    

Sudut pandang Meisarah

***

Jauh di dasar lubuk hatiku, aku sangat menginginkannya. Namun, apalah daya. Tangan tak sampai. Begitulah pepatah mengatakan. Noah adalah kehidupan baruku, warna baruku tapi pintu jalan terjalku. Bila aku menginginkannya, kehancuran di depan mata.

Jauh dari tepian desa Periangan, bak peri bagiku kini jauh di mata, dekat di hati. Umak dan Abah sangat melarangku sejak awal memijak kaki di sana. Andaikan hari paling burukku waktu tidak terjadi. Ah, membayangkan saja aku masih takut. Terngiang-ngiang di telingaku. Betapa bejatnya lelaki itu.

"Jangan terima siapapun, Nak. Cukup hatimu saja, asal ragamu tetap terjaga."

Aku tidak mengerti. Itu saja. Mengapa aku dilarang menjalin hubungan tapi diizinkan jatuh cinta? Di mana pun dan kapan pun.

"Biar saja wajahmu seperti itu ya, Nak! Biar pemuda di sini tidak ada yang tertarik denganmu." Umak datang meleburkan lamunanku. Sampai kapan aku harus berpura-pura dengan wajah ini? Bagaimana bisa kedua orang tua melarang anaknya menikah? Sementara di luar sana, aku yakin banyak orang tua menginginkan putrinya segera menikah.

"Lupakan apa yang terjadi di Periangan. Sekarang kita di sini kembali memulai kehidupan baru. Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja," ucap Umak.

Aku mendecap.

"Ai, mulai mengeluh kau. Siapa suruh kau berbuat!" ujar Umak ketika mendengar bunyi decapku.

"Sudah, sudah, apa kau ini Mur, tidak mudah bagi Meisarah."

"Kau selalu saja membelanya."

Prang, prang bunyi piring dan gelas berdentuman karena dicuci kasar oleh Umak. Aku menghela napas. Kuambil lanjung dan kataman lalu pergi ke sawah.

***

Dulu, aku adalah seorang gadis yang punya banyak impian. Aku berkeinginan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi bidang pendidikan, agar kiranya aku bisa mengajar di sekolah. Beberapa formulir pendaftaran jalur beasiswa sudah kutempuh. Tetapi, semua itu pupus begitu saja, setelah kedatangan orang-orang kaya itu.

Rauf Prada Wijaya. Pemilik perusahaan tambang terkenal di Kalimantan. Ia melamarku untuk keponakannya bernama Sani Duryan.

Kedua orang tuaku begitu bahagia. Terutama ayahku. Ayahku seorang tetua kampung yang ditakuti. Ia beringas dan kejam kepada siapa saja, termasuk kepada putrinya sendiri.

Aku mencoba menolak lamaran itu. Tapi baru saja menganga, pedang sudah di leherku.

"Kalau kau tak menuruti keinginan ayahmu ini, pedang ini tak segan-segan mematahkan lehermu sampai kau tak bisa bernapas!" Surut matanya tajam menatapku. Aku baru tahu jika di dunia ini ada ayah seperti itu?

Usut punya usut, ia bukan ayah kandungku. Ia adalah suami ibuku yang kedua. Yang pertama, ayah kandungku, entah pergi ke mana?

Sampailah pada suatu hari yang ditunggu-tunggu ayahku, keluarga kaya itu datang memberikan lamaran yang begitu mewah.

Rombongan dengan sejumlah mobil-mobil mahal dan pengawalan ketat, keluarga sang saudagar itu datang.

Uang dan hantaran yang bukan main. Membuat pupil ayahku semakin membesar. Pancaran matanya tertuju pada untaian-untaian perhiasan emas di dalam kotak-kotak bening berpita.

Ayahku menoleh pada ibuku. Ibuku meski seorang ibu kandung yang harusnya memahami perasaanku, kini sedikit berkaca-kaca bahagia. Tampaknya ia sudah tidak ragu lagi. Menurutnya, ini pilihan terbaik untukku.

Menikah dengan pria kaya tidaklah salah. Tapi menikah dengan pria yang hidupnya numpang kekayaan dengan keluarganya adalah kesalahan. Aku tak mau punya suami yang hidupnya cuma numpang enak.

"Sani Duryan ini memang tidak bekerja," ujar seorang ibu dengan tubuh gempal, pakaiannya glamor. Ia memperkenalkan dirinya sebagai ibu asuh Sani.

Sani sendiri sebatang kara, tapi ia sangat disayangi pamannya, Rauf Prada Wijaya.

"Tapi, bukan dia tidak ingin bekerja, cuma pamannya tidak membolehkannya bekerja," tambah wanita itu.

Ayah dan ibuku hanya mangguk-mangguk tersenyum. Padahal mereka bisa bertanya apapun tentang Sani itu. Mengapa tidak bekerja? Mengapa tidak buka usaha? Namun, sepertinya mereka tidak akan bicara karena merasa segan kepada orang-orang kaya itu.

Aku sendiri juga diam. Mana mungkin kutaruhkan nyawaku. Masih terasa dinginnya pedang ayahku tadi di leher ini.

"Jika putri kalian menikah dengan anak kami Sani, percayalah, kami tidak akan membiarkan sedikitpun dia mengeluh tentang ekonomi. Insya Allah, kami menjamin kehidupan mereka tujuh turunan."

"Iya, Bu, kami percaya itu. Bagaimana kalau kita langsung lakukan pertukaran cincinya saja, Bu," kata ayah. Aku membeliak mendengar itu. Meski posisiku berada di belakangnya tapi aku bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka.

"Ah, Pak Herman ini sepertinya sudah tidak sabar." Ibu asuh Sani tertawa kecil menggoda ayah. Begitu pun yang lain juga ikut tertawa. Kulihat ibu mencubit paha ayahku secara diam-diam membuat ayah sedikit bereaksi kesakitan.

Setelah perbicangan yang cukup singkat, pertukaran cincin pun dimulai. Aku yang berada di belakang kedua orang tuaku dibimbing baju ke tengah-tengah keberadaan orang.

"Ayo, Sani, mendekatlah, Nak!" ujar ibu asuhnya. Aku melihat laki-laki itu duduk mendekat padaku tepat di depanku. Aku masih menunduk malu.

Ibuku mendampingiku dan menarik tangan kananku. Kulihat ibu asuh Sani membuka kotak cincin dan memberikan cincin bermata putih, entah itu berlian atau palsu. Tangan Sani meraih cincin itu lalu memasangkannya ke jari manisku.

"Sekarang, Meisarah yang memasangkan cincin untuk Sani!" kata ibu asuh Sani. Aku meraih cincin putih polos itu dan memasangkannya kepada jari lembut Sani. Jari manisnya hampir seperti kelingkingku besarnya.

Setelah pertukaran cincin dilakukan.Tepuk tangan bergemuruh bersamaan dengan kilatan kamera di mana-mana.

"Saling menatap!" kata seorang pria. Aku melirik pria itu. Tampaknya ia seorang fotografer.

Meski malu-malu, aku mengangkat kepalaku dan mencoba menatap calon suamiku. Saat tatapan kami beradu pandang, seolah dunia runtuh seketika. Aku seperti baru saja ditembak petir dan ingin mati seketika itu juga.

Bersambung....

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang