Chapter 9

193 33 10
                                    

Aku-Meisarah


Aku tidak mengerti jalan pikiran pelaut itu? Setelah menguntitku di perpustakaan desa, kini dia mengirimiku popcorn sekarung, mainan anak-anak, dan juga buku-buku. Apa tidak cukup dengan sikap masa bodoku untuk membuatnya mengerti kalau aku tidak suka dia. Sebelum Umak dan Abah mengetahui semua benda-benda ini, ada baiknya lekas kukembalikan. Kumasukkan semua pemberian pelaut itu ke dalam kantong plastik sampah. Dengan amat terpaksa aku pergi ke pelabuhan batang. Semoga saja tidak ada Jack Sparrow, nanti dia ke geeran.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, sesampai di pelabuhan, kutanyai salah satu awak kapal, sang Kapten belum kembali.

"Apa ini, Mbak?"

"Ini paket kejutan."

"Maaf, dari siapa untuk siapa?"

"Berikan saja untuk kapten Anda, dari hamba Allah." Setelah mengembalikan paket-paket itu, aku langsung pergi.

Jack Sparrow harus mengerti kalau aku bukanlah perempuan matre yang diberi ini, diberi itu, lalu luluh hati. Enak saja.

Sewaktu di perpustakaan dia menendang sandalku terpelanting jauh. Mungkin menurutnya sandalku tidak layak berdekatan dengan sepatu bagusnya.

Dari sikapnya itu, aku sekarang paham. Dia laki-laki yang tinggi gengsinya dan sangat sombong.

Sejujurnya, aku tak punya urusan apapun dengan pelaut itu. Aku hanya ingin dia berhenti mengangguku. Kalau mau mencari korban percintaanya, masih banyak gadis lain di desa ini.

Asal bukan aku. Bagiku, saat ini, fokus memikirkan pendidikan adik-adikku adalah yang utama. Mereka semua harus sekolah dan sukses. Aku tidak mau mereka sepertiku putus sekolah dan hanya lulus dengan paket C, karena SMA hanya ada di kota.

Maka dari itu, adik-adikku harus tetap sekolah. Tak peduli jarak sekolah yang jauh. Nisya yang masih kelas enam SD mungkin masih bisa menikmati jarak sekolah yang dekat. Tetapi, Bima yang sudah SMP, dia harus mengayuh perahu setiap hari.

Anak-anak di desa Periangan yang melanjutkan SMP harus menyeberangi sungai dengan perahu atau kalau mau lewat darat, bisa juga. Cuma, kalau lewat darat dengan berjalan kaki itu tidak mungkin dapat ditempuh sejam dua jam karena jauhnya puluhan kilometer. Setidaknya mereka harus mengayuh sepeda atau sepeda motor untuk bisa sampai di sekolah tanpa terlambat. Namun, kenyataan yang ada di desa kami, memiliki sepeda apalagi sepeda motor adalah hal yang perlu dipertimbangkan mengingat mata pencaharian hanya sekadar melaut dan bertani.

Jauhnya perjalanan lewat darat membuat anak-anak memilih lewat sungai dengan menggunakan perahu. Ada yang menggunakan perahu sendiri, ada yang meminta orang mengantarkannya. Tetapi, kadang-kadang musim berganti, air sungai meluap karena langsung datang dari laut, membuat anak-anak banyak mengeluh dan memilih tidak ingin sekolah.

Aku tak mengerti mengapa SMP dibangun di seberang sungai. Padahal, notebennya, penduduk desa Periangan lebih banyak dibanding penduduk di seberang sungai itu. Konon katanya, terjadi perdebatan panjang meletakkan bangunan sekolah di desa kami, sehingga tanah di seberang sungai adalah tempat yang adil.

Bagi orang tua di sini, daripada mengantar anak sekolah hanya akan buang waktu bekerja maka putusnya sekolah adalah pilihan.

Dua bulan yang lalu, saat musdes diadakan di desa, kupinta ketua RT dan Kepala Dusun untuk tak bosan-bosan mengajukan pembuatan jembatan penghubung antar Desa Periangan dan desa seberang. Jika tidak memungkinkan, mungkin pelampung gratis tersedia.

Jika kondisi tidak ditanggapi kepala desa maka anak-anak semakin banyak putus sekolah.

Aku tidak mengerti mengapa akses pendidikan masih sulit di desa ini, meski desa pelosok, jauh dari ibukota, tapi tidak kekurangan aset. Di mana perusahaan biji besi beroperasi di atas gunung, desa sebelah. Mereka hanya peduli dengan penduduk yang tinggal di gunung, di mana mereka sudah memiliki sekolah sendiri dalam naungan perusahaan. Jalan-jalan sudah beraspal. Tetapi tidak dengan penduduk Periangan yang tinggal di pesisir ini padahal jalan produksi melalui dermaga kami. Bukankah sudah selayaknya perusahaan itu dapat membantu pembuatan jembatan? Namun, ini sudah sepuluh tahun berjalan. Jangankan jembatan akses sekolah, jalan utama menuju pelabuhan batang tempat bongkar muat produksi saja berkubang lumpur. Perusahaan itu yang salah atau tata pemerintahan?

Seandainya di antara keduanya tahu, jika jembatan merupakan harapan anak-anak di desa ini. Setidaknya, mereka tak perlu menggantungkan mimpi di atas penderitaan.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang