Chapter 24

160 24 0
                                    

"Lapor, Kapt, saya tahu siapa tunangan Meisarah itu? Dia anak camat yang baru saja lulus kuliah di kota. Lulusan S1 Kimia. Katanya, dia mulai mengabdi di kantor kecamatan."

Lucu. Bagaimana bisa lulusan sarjana kimia bekerja di pemerintahan? Tentu saja bisa, bapaknya, kan, camat. Oh, indahnya negeri ini.

"Dari kemarin kau selalu bilang begitu, Waode. Selalu sok tahu dan menggiring berita seolah benar adanya. Kau benar-benar ingin turun jabatan, hah?!"

"Tapi kali ini tidak Kapt. saya mendapatkan informasi itu dari saudara sepupu Inggrit yang bekerja di kantor kecamatan."

Aku tertawa mencibir.

"Informasi tidak vailed."

"Terserah Kapten saja, saya cuma menyampaikan. Kalau Kapten tidak percaya, silakan lihat sendiri!"

Apa benar Meisarah bertunangan? Bukankah selama ini dia sudah menolak ratusan pria? Lalu, pria seperti apa dia yang meluluhkan hati Meisarah itu?

Kali ini aku yang mencari tahu sendiri. Aku tak mau lagi ada kesalahan informasi. Bukannya mendapatkan Meisarah malam berujung kehilangannya.

Aku pergi ke tempat pemandaian besi. Kutemui Bagas. Kurasa, hanya Bagas yang dapat memberikanku informasi secara jelas.

"Hai, Bung. Masuklah!" Bagas yang melihat kedatanganku langsung menghentikan pekerjaannya.

"Apa kabar, Bang?"

"Wah, seorang Kapten memanggilku Abang?"

"Hehehe, Abang tidak menjawab pertanyaanku?"

"Oh, iya. Aku baik, Noah. Kau sendiri?"

"Ya, seperti yang Abang lihat!"

"Sepertinya kau sedang bahagia, ya?" Bagas menggodaku. Ya, kalau adikmu jadi milikku, tentu saja aku bahagia Bagas.

"Siapa yang datang, Bang?" Tiba-tiba seseorang datang dari dalam rumah Bagas. Dia seorang pemuda cukup rapi tapi tetap tidak selevel denganku.

"Oh, iya, Rajash perkenalkan ini Kapten Noah, teman Meisarah." Bagas memperkenalkanku dengan pemuda itu. Pemuda itu menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Apa maksudnya coba?

"Dan ini perkenalkan Rajash, tunangan Meisarah."

Whatttt?

"Hai, nice to meet you," ujarnya mengulurkan tangannya dengan seringai manis. Cih, sok bahasa inggris, sok manis.

"Nice to meet you too," ujarku seraya menyambut uluran tangannya dengan sangat kuat.

"Mari duduk, saatnya kita makan siang. Sebentar lagi Meisarah datang mengantarkan makanan."

"Oh, jadi Meisarah akan datang ke sini? Kenapa Abang tidak bilang, aku, kan bisa menjemputnya, Bang?" kata Rajash seraya melirik motor ninja 4 tak berwarna merah yang bertengger di halaman rumah pemandaian Bagas. Seketika itu juga, terbayang olehku Meisarah menempel di belakangnya dengan sangat elok. Tidak, tidak, enak saja. Mending Meisarah naik sepeda denganku, itu lebih baik. Lagi pula, Meisarah tidak mau naik motor begitu.

"Tidak perlu, Rajash. Jarak rumah kami dekat. Itu Meisarah sudah datang." Bagas menunjuk ke jalan setapak yang tak jauh dari halaman rumahnya.

Oh, Meisarahku, dia berjalan dengan sangat lembut dengan membawa totebag anyaman. Dia tersenyum kepada Bagas. Namun, ketika melihatku wajahnya jadi datar lagi. Kulirik Rajash tak berhenti tersenyum karena Meisarah mengangguk pelan padanya sembari tersenyum juga. Kurang ajar si Rajash.

"Kau membawakan bekal yang banyak, kan, adikku?" Meisarah tak menjawab, dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku mulai paham, kalau Meisarah ini mungkin orangnya memang sangat pendiam.

"Hei, kenapa kalian diam saja. Ayo duduk!" Bagas mempersilakan aku dan Rajash duduk di tempat duduk yang tersedia–empat buah kursi dan meja kayu dari ulin. Cukup jauh dari tungku pemandaian. Kemudian, Bagas mengulurkan pembatas area pemandaian dengan ruang istirahatnya sehingga percikan-percikan api tak mengenai kami lagi.

Meisarah meletakkan satu persatu bekal yang dia bawa. Kemudian, mengambil beberapa piring, gelas, dan juga teko berisi air minum dari dalam rumah Bagas. Sementara Bagas mulai membuka tutup bekal.

"Wah, ini makanan kesuakaanmu, Bang," ujar Rajash ketika melihat semur jengkol. Aku menelan ludah. Seumur hidup aku belum pernah makan semur jengkol.

"Kau benar, Rajash. Coba kita lihat ini isinya apa, ya?" Bagas kembali membuka bekal yang lain.

"Wah, mantap ini!" seru Bagas. Aku mendongak melihat isinya. Astaga, itu, kan, petai. Aku sangat musuh dengan makanan yang satu itu.

"Ini kesukaanku, Bang, oseng petai," seru Rajash.

"Jadi, Meisarah memasakkan makanan kesukaan Bang Bagas dan Rajash, ya?" goda Rajash. Meisarah tersenyum padanya. Dasar Rajash cunguk, pandai sekali dia drama. Di balik meja, aku menggenggam tanganku. Si Anak Camat itu sungguh mengesalkan.

"Coba kita buka yang satu ini, apa isinya, ya?" Bagas membuka kembali sisa satu rantang. Ternyata isinya ... entah apa itu?

"Kapten tahu ini apa?" tanya Bagas.

"Apa itu, Bang?"

"Hah, katanya pelaut, masa ini saja tidak tahu," cibir Rajash. Maksudnya apa ngomong begitu.

"Ini namanya kerang hijau, Kapten. Pernah kau makan?" Kenapa Rajash ini makin ke sini makin menyebalkan. Kulirik Meisarah yang sedang menyiapkan nasi hanya diam dengan wajah datar.

"Daripada mendebatkan makanan, lebih baik kita makan," ujar Bagas.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang