Chapter 15

187 35 3
                                    

Cukup sudah bekal petuahnya dari Ayah, Ibu, Maman, dan juga Bibi.

Aku mulai berangkat. Meminta restu kedua orang tua, dan juga bibi. Sementara Maman Dion stanbai menunggu di luar. Maman akan mengantaku ke bandara Soekarno Hatta.

"Hati-hati, anakku!" Pesan Maman saat di bandara.

"Siap, Maman." Kupeluk dia dalam perpisahan ini. Kemudian, aku menuju loket, masih ada waktu 30 menit keberangkatan.

Boarding pass, Seat 25H, kupesan nomor kursi dekat jendela. Untuk pertama kali aku naik pesawat kelas ekonomi. Ini saran dari ibu, ini namanya perjuangan.

Detik-detik take off pun mulai. Setelah lepas landas, aku mulai merangkai perjalananku.

Perjalanan pesawat ini membutuhkan 1 jam 45 menit seperti tertera di tiket untuk mendarat di Bandara Internasional Syamsudin Noor. Setelah itu, aku perlu istirahat sebentar nantinya memikirkan harus naik apa ke Periangan. Namun, aku tak tahu, berapa lama jika lewat darat ke sana. Atau aku bisa ... tiba-tiba ada suara cekikian di belakangku dan aku hafal suara itu.

Ketika menoleh ke belakang, aku tercekat.

"Hai, Kapt!" sapa mereka seolah serempak. Aku mengernyit tak percaya kenapa Son dan Waode juga ada di pesawat ini?

"Kalian mau ke mana?"

"Ya, ke Banjarmasin, mau ke mana lagi, Kapt?" sahut Son.

"Ngapain?"

"Ya, elah, mau liburanlah, mau ngapain lagi, ya, kan?" ujar Waode kepada Son.

Aku tak peduli dengan mereka. Terserah mereka mau ke mana, bodo amat.

Selama perjalanan, aku sempat tertidur dan terbangun kembali saat pramugari memberitahukan pesawat akan segera mendarat di bandara Internasional Syamsudin Noor.

Kuambil tasku di bagasi kabin. Lalu turun bersama barisan orang-orang yang menuruni tangga. Sebenarnya, ini pertama kali naik pesawat ke Kalimantan. Biasanya, kan, ke mana-mana karena tugas berlayar.

Aku langsung menuju pintu keluar soalnya tak ada barang yang mesti kutunggu.

Seseorang menghampiriku.

"Taxi, Mas?" Seorang laki-laki paru baya menawariku tumpangan. Aku mengangguk.

Kupinta supir taxi itu mengantarkanku ke sebuah hotel dekat bandara. Menurut penelusuran, sih, katanya itu hotel terbaik yang ada di dekat area bandara.

Setiba di hotel itu, aku langsung menuju resepsionis untuk memesan kamar.

"Berapa orang?" tanya resepsionisnya.

"Sat..."

"Tiga." Baru saja aku menganga menjawab, 'satu orang,' kenapa tiba-tiba ada yang menyanggahku.

"Kalian?" ternyata dua cecunguk.

"He ... iya, Kapt."

"Jadi berapa orang?" tanya resepsionis lagi.

"Sat..."

"Tiga Mbak. Kita satu kamar bertiga saja. Pesan yang suite."

"Baiklah."

Resepsionis itu memberitahukan harga kamarnya. Tanpa rasa hormat lagi, Son langusng menyomot kartu debit di tanganku dan menyerahkan kepada resepsionis sembari menyeringai.

"Ini kuncinya." Resepsionis menyerahkan cardlock kamar.

"Makasih Mbak." Baru saja tanganku ingin meraih cardlock itu, tangan Waode secepat kilat.

Dua cecunguk itu tanpa tahu malu langsung saja membuka pintu dan masuk kamar yang kupesan. Seperti mereka saja yang pesan, langsung merebahkan diri seenaknya. Kulempar mereka dengan tasku kuat-kuat.

"Dasar cecunguk kalian, ngapain masuk kamarku. Keluar!"

"Sabar dulu, Kapt. Nanti cepat tua lho! Kita berdua ini sama tujuannya."

"Maksud kalian?"

"Kita mau ke desa Periangan juga, Kapt."

"Iya, Kapt. Bukan cuma Capt yang kangen sama Meisarah, aku juga sama Inggrit," ujar Waode.

"Iya, saya juga kangen sama Sania," tambah Son.

"Bukan urusanku. Aku enggak mau kalian ada di sini. Keluar!"

"Tapi, Kapt...."

"Keluar!"

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang