Chapter 28

153 22 0
                                    

Berdasarkan informasi dari Son dan Waode, Meisarah sedang mengajari ibu-ibu menjahit di gedung serba guna. Yang mengadakan pelatihan itu adalah kepala desa atas perintah camat. Kalau sudah berurusan dengan camat, siapa lagi dalangnya kalau bukan Rajash.

Anak kimia itu takbisa dianggap remeh rupanya. Dia cukup pintar mengambil kesempatan. Apalagi, wiliyah ini adalah kekuasaan ayahnya. Wah, gawat, nih. Apalah dayaku hanya seorang perantau di sini.

Aku menggaruk kepala. Ayo, dong, ide, pleaseee! Berpikirlah cerdas, wahai otak. Kita tidak boleh kalah strategi dengan anak camat itu.

"Son, Waode!"

"Siap, Kapt!"

"Bagaimana dengan pembangunan sekolah?"

"Siap. Sudah selesai, Kapt."

"Temuilah kepala sekolah, dan jalankan rencana itu!"

"Siap, Kapt!"

Sementara Son dan Waode ke sekolah. Aku sendiri pergi melihat situasi pelatihan menjahit itu.

Sesampai di gedung serba guna, sejumlah puluhan ibu-ibu sedang belajar menjahit. Aku mencoba masuk ke dalam gedung, dan baru saja melangkah masuk, para ibu-ibu histeris.

"Ya, ampun, Kapten Noah datang berkunjung." Mereka menghambur ke luar. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Kapten ngapain ke sini, mau belajar menjahit, ya?"

"Kalau boleh?"

"Tentu saja boleh, bukan begitu Meisarah?" Mereka menolehh kepada Meisarah, dia tampak mengangguk setuju.

"Ayo masuk, Kapt!" Para ibu itu mempersilakanku masuk.

"Sebentar!" Tiba-tiba Rajash datang. Apakah dia menghentikanku?

"Apa boleh seorang pria belajar menjahit, Meisarah?" Sudah kuduga, cecunguk ini akan melarangku. Aku menoleh kepada Meisarah. Dia tak menjawab.

"Tentu saja boleh, Pak Rajash. Menjahit bukan cuma perempuan, banyak laki-laki yang juga pandai menjahit," ujar salah satu ibu-ibu itu.

"Apa benar Meisarah?" Rajash menanyakan kembali. Beberapa saat Meisarah terlihat berpikir. Lalu, mengangguk. Yes, akhirnya, Rajash kalah.

"Oh, syukurlah. Itu artinya saya juga bisa belajar menjahit."

Whatttt? Dia juga mau belajar menjahit. Dasar tukang tiru.

Pendek kata, aku dan Rajash turut belajar menjahit. Yang paling menyebalkan dari anak camat itu, dia sangat pandai berakting. Salah memasukkan benanglah, salah menginjak mesin jahitnyalah, salah polalah, dan banyak lagi tingkah lakunya. Sampai-sampai Meisarah tidak punya waktu untukku. Yang ada, para ibu-ibu bergerumul di dekatku. Mereka sok pintar, sok tahu soal menjahit. Baru juga belajar tadi langsung mau jadi guru.

Aku menghela napas. Jujur saja, dikerumuni ibu-ibu ini membuatku sangat gerah. Mereka tak memberiku ruang bernapas. Kipas angin sangat tinggi dan tak terlalu berfungsi. Ruangan ini sangat panas. Melihat meisarah terus mengajari Rajash, aku merasa semakin gerah.

"Silakan ibu-ibu melanjutkan latihannya!" sontak para ibu itu pergi dariku. Untung saja salah satu guru lekas menyuruhnya. Tapi, melihat Meisarah masih saja di meja Rajash. Dia tidak peduli denganku. Berasa ingin kurobek-robek kain ini.

"Begini caranya." Tiba-tiba Meisarah di dekatku.

Kulihat Rajash merengut kepadaku. Baiklah, Bro, saatnya akulah yang mendapatkan perhatian dari Meisarah.

"Bu Sarah!!" Tiba-tiba suara anak-anak memanggil dari luar. Meisarah yang sedang mengajariku menjahit sontak berlari ke luar.

"Bu Sarah, sekolah akan diresmikan. Ayo kita ke sekolah!" Anak-anak menarik lengan Meisarah membawanya pergi.

Aku menoleh kepada Rajash yang menatapku tajam. Sepertinya, dia curiga padaku. Ngomong-ngomong terima kasih Son dan Waode. Tahun depan kalian pasti dapat promosi.

Di lapangan terbuka sudah berkumpul semua warga. Khususnya anak-anak Periangan. Di antara anak-anak itu ada bintang hatiku.

"Alhamdulillah, pembangunan sekolah ini telah selesai. Akhirnya, kita sudah punya sekolah yang bagus dengan ruang kelas yang bertambah." Demikian pengumuman dari kepala sekolah di lapangan sekolah. Tak jauh dariku, di pinggir lapangan itu, Meisarah berdiri dengan anak-anak. Wajahnya tak berhenti tersenyum.

Seorang anak membisikinya. Lalu Meisarah menoleh padaku. Dia mengangguk dan tersenyum padaku. Aku menegapkan tubuh. Oh, Meisarah, senyum itu. Aku mendapatkannya. Son dan Waode, kalian the best.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang