Chapter 11

197 30 6
                                    

Kapal telah bersandar di pelabuhan tanjung priok. Kuperintahkan kepada Son dan Waode untuk mengurus sisanya.

Aku turun dari kapal dan mulai bergabung di antara orang-orang yang berjejal memadati dermaga. Tak jauh dari dermaga, seorang laki-laki paruh baya yang tak asing bagiku tampak sudah menunggu. Meski lama tak bertemu tapi aku masih bisa mengenalinya. Sebaliknya, dia juga tampak tersenyum dan melambai tangan padaku.

Dia, Pak Dion, supir pribadiku tapi beliau sudah kuanggap sebagai pamanku sendiri. Aku sering memanggilnya, "Maman."

"Maman?" Aku berlari dan memeluknya.

"Bagaimana perjalanan singaku, lancar?"

"Tentu saja, Maman. Ayo kita pulang, Raja dan Ratu di rumah pasti sudah gelisah, kan?"

"Sepanjang malam mereka menganggu tidurku. Mereka terus memintaku stanbai menjemputmu."

Perjalanan Jakarta seperti biasa, macet. Setelah keluar dari pelabuhan, Pak Leon memilih bergabung menuju jalan tol demi mengurangi lama perjalanan.

Jika melewati jalan tol mungkin hanya sekitar sekitar 25 menit menuju kawasan Pantai Indah Kapuk.

Setelah jalan tol berakhir, kami mulai memasuki kawasan jalan pantai indah kapuk, melaju ke bundaran, lalu mengambil jalan keluar kedua, dan sekitar 950 meter lagi maka sampailah ke rumah.

Akhirnya setelah tiga tahun berlayar, pulang juga. Pak Dion menghentikan mobilnya di depan rumah, aku pun turun dari mobil.

"Noah, anakku!" Ibuku yang tampak menunggu di ruang tengah sontak berdiri. Aku berlari dan memeluknya dengan begitu erat.

"Sayang, kok, kamu kurusan?"

"Kau ini, anak bontotmu baru datang, jangan kau tanya ini itu dulu. Sebaiknya, suruh makan, istirahat, ya, kan?" kata Ayah.

Mereka sangat bahagia dengan kedatanganku.

Seperti yang kukatakan pada kalian, aku ini seorang pangeran. Lihatlah, para pekerja di rumah siap melayaniku.

Ada yang membukakan jasku, ada yang membukakan sepatu, ada yang memasangkan sandal, ada yang memijiti kakiku. Aku tinggal duduk santai di sofa. Semua makanan yang kusuka akan datang padaku. Tak perlu kusebutkan makanan apa saja, nanti kalian bilang aku pamer.

"Coba Ayah ceritakan, bagaimana Ibu yang selalu menangis memandangi fotoku?"

"Kau menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu."

"Dasar anak nakal. Apa kau kira mengemban rindu gampang? Setiap malam Ibu hanya bisa membayangkan kau ada di rumah ini."

"Beginilah, Bu, nasib anakmu jadi pelaut. Mau tidak mau berlayar."

"Kau dan kakakmu sama saja, setiap kali Ibu mengatakan rindu, selalu begitu, beginilah pelaut, begitulah pelaut. Ibu pikir, apa kau tidak mengajukan pensiun dini saja seperti kakakmu?"

"Apa?! Kak Jordan mengajukan pensiun dini?"

"Iya, dia belum cerita sama kamu?"

"Belum, Bu. Kemarin dia ada nelpon, sih, cuma nanya kabar doang. Dan dia bilang sedang tidak berlayar. Emangnya apa yang terjadi, sih, Bu, sampai Kak Jordan mengajukan pensiun dini. Bahkan disaat aku menggantikannya ke Periangan, dia tak mengatakan apapun alasanhnya, Ayah juga tak memberitahukan sebabnya, kan? Setahuku, Kak Jordan bukan tipe orang yang mangkir dari tugasnya."

"Apa lagi kalau bukan karena istrinya," jawab Ayah dengan wajah kecewa.

"Karena Kak Ellena?"

"Iya, kau tahu sendiri, kan, kakak iparmu itu. Maunya harus dituruti. Kurang apa kakakmu padanya, gaya hidup seperti artis, dituruti. Sekarang dia mau suaminya di darat saja karena termakan omongan teman-temannya yang mengatakan, 'apa pentingnya punya suami pelaut kalau hidup selalu terpisah dan ditinggalkan. Terus banyak simpanan sana-sini,' dasar omongan menyebalkan," terang Ibu.

"Terus Ayah setuju dengan pengajuan pensiun itu?"

"Tidak. Tapi untuk memenuhi keinginan Ellena, Ayah meminta kakakmu untuk bekerja di kantor saja."

"Oh, syukurlah. Mungkin besok atau lusa, Noah akan menemui Kak Jordan."

"Itu tidak perlu, Nak."

"Kenapa, Yah? Kak Jordan sibuk banget, ya?"

"Bukan begitu, Nak. Kakakmu sedang berada di Kalsel sekarang."

"Whaatt? Jadi maksud Ayah, kantor di Banjarmasin?"

"Iya."

"Kenapa ke sana? Apa bedanya kalau begitu dengan dia tetap berlayar? Toh, dia juga masih terpisah dengan Kak Ellena, kecuali Kak Ellena mau ikut ke sana, tapi apa itu mungkin?"

"Karena Ellena sudah pulang ke rumah orang tuanya."

"Hah, maksud Ibu?"

"Iya, Nak. Tak lama setelah kakakmu berhenti berlayar, Ellena menggugat cerai Jordan tanpa alasan yang jelas. Hingga saat ini Jordan tak menyetujui itu. Kakakmu Jordan sekarang seperti kehilangan semangat hidup saat Ellena memutuskan ingin bercerai. Dia syok. Itulah mengapa ayahmu mengirimnya ke Kalimantan agar dia bisa sambil menenangkan diri di sana."

"Tapi kenapa Kak Ellena menggugat cerai, apa salah Kak Jordan? Setahuku Kak Jordan bukan tipe orang yang aneh-aneh."

"Sebaik dan sesetia apapun suami, kalau istrinya tak percaya, bagaimana bisa untuk bertahan? Apalagi salah satunya ngeyel. Ellena terlanjur terbakar api amarah karena stigma pelaut."

Sejenak terdiam di balkon kamar yang menghadap langsung ke laut sembari memikirkan kata-kata ibu tadi. Benarkah stigma pelaut itu playboy begitu melekat di pikiran para wanita? Bahkan itu membuat Kak Ellena meninggalkan Kak Jordan. Aku teringat akan Meisarah, jangan-jangan, pikiran seperti itu juga ada di kepalanya.

Ah, sial. Kenapa bodoh banget sampai tidak kepikiran seperti itu. Setidaknya, kan, aku bisa memberitahukan padanya kalau stigma itu tidak benar.

Tiba-tiba saja perasaan rindu muncul. Baru sehari tak melihat Meisarah, rasanya ingin terbang saja ke Periangan.

"Noah?" seseorang memanggilku dari belakang. Ketika aku berbalik, betapa terkejutnya diriku, ternyata Sabina. Dari mana cewek berambut bob itu tahu kalau aku sudah pulang?

"Naoh, I Miss You, So Much!" Dia berlari dan memelukku.

"Sayang ... " Dia mulai bergelut manja dan meraba-raba wajahku. Kucoba menepis.

"Sayang? Aku kangeeen banget sama kamu." Sabina tanpa permisi menciumi pipiku.

"Sabina, please, aku baru datang. Aku ingin istirahat."

"Biasanya juga kamu langsung saja, bukankah lama tak bertemu justru butuh sesuatu yang menyenyakan tidurmu?" Sabina menarik lenganku dan mendorong tubuhku hingga terhempas ke kasur.

"Aku benar-benar capek."

"Kamu, kan, tinggal diam." Sabina melanjutkan aksinya. Dia mulai melepas kancing bajunya. Lalu berlagak sexy di depanku.

"Sayang, aku kangen." Dia mulai melakukan apapun yang dia inginkan dariku. Sabina bergelayut di atas tubuhku. Kubiarkan dia melucuti semua pakaianku. Aku hanya bisa pasarah. Lama tak bertemu, Sabina semakin liar saja. Saat bibir penuh Sabina hampir mendarat ke bibirku, tiba-tiba wajah Meisarah di benakku. Sontak kudorong Sabina.

"Sayang? Kamu kok gini, sih? Menyebalkan!" Sabina marah dan meninggalkanku.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang