Chapter 13

193 35 10
                                    

Seharian aku tidur tanpa tahu apa yang terjadi semalam. Entah berapa kali Sabina menelponku. Gawai kumatikan dan kukunci kamar. Aku butuh sendirian.

Meski sudah menyendiri dan mencoba tidur sendirian, pikiran ini tetap selalu tertuju kepada Meisarah. Aku juga kepikiran dengan pesan Waode kalau Meisarah telah dijodohkan. Kenapa dadaku tiba-tiba sesak saat itu? Seperti ada yang mencekik leherku.

Beberapa kali kuhela napas. Mencoba berdamai dengan diri sendiri. Ah, ya, sudahlah, lagi pula apa hubungannya denganku? Pacar bukan, tunang bukan. Terserah dia mau dijodohkan, atau bahkan menikah, itu bukan urusanku.

Kucoba untuk tak memikirkannya. Tetapi ... ah, sial. Kenapa pesan dari Waode selalu terbayang di kepalaku?

Kemarin malam, Sabina yang belum saja keluar dari toilet, entah apa yang dia lakukan? Sementara aku sudah merasa semakin pusing mendengar lagu yang mengalun cepat, kadang mengalun lamban. Kendati demikian, kutinggalkan Sabina di bar itu. Kukirim pesan padanya kalau aku sedang tidak enak badan dan harus pulang.

"Noah?" Itu suara ibuku. Aku bangun dengan amat terpaksa. Ini masih sangat pagi.

"Iya, ratuku," ujarku seraya membuka pintu. Ibu sudah dengan senyum termanisnya.

"Kapan kau ada untuk Ibu?"

"Sekarang, kan, Noah di rumah?"

"Iya, maksud Ibu, kamu bangun pagi, lalu kita melakukan banyak hal misalnya jogging bersama, sarapan bersama, dan menghabiskan waktu bersama. Kapan?" ujar Ibu seraya membuka tirai sheer kamarku.

"Kemarin bolehlah kau masih cuek karena sehari kepulanganmu, sekarang sudah hari kedua, apa yang akan kau rencanakan?"

"Noah terserah Ibu saja, apapun itu."

"Hmmm ... baiklah. Gimana kalau kita liburan?"

"Ke mana?"

"Amsterdam."

Aku melongo. Kenapa liburannya mesti ke luar negeri, sih? Memangnya negeri ini kekurangan tempat liburan?

"Ibu sudah lama tidak ke sana, Ibu kangen tantemu. Sekalian ajak Sabina, ya!"

Aku hanya tersenyum kelu.

"Cepat mandi dan sarapan bersama!"

***

Mood tiba-tiba saja buruk memikirkan pergi ke Belanda. Bukan apa-apa, aku sangat malas ikut liburan apalagi sama Ibu dan Sabina. Tahu sendiri, kan, sifat wanita? Mereka suka sekali berbelanja, tak jarang aku harus meneteng semua belanjaannya. Kemudian, mereka jalan-jalan ke tempat ramai, foto-foto, dan banyak hal yang dilakukan wanita. Begitu ribet.

Membayangkan saja kepalaku sudah pening. Lebih baik kubayangkan saja satu daratan yang dipisahkan lautan luas. Adalah Desa Periangan. Sedang apakah Meisarah? Ah, tidak. Dia akan menikah. Untuk apa memikirkannya?

"Permisi, Aden. Nyonya besar memanggil ke bawah."

Aku pun turun ke bawah. Kulihat Ayah dan Ibu sudah menunggu di meja makan

"Kenapa kau lama sekali?" tanya Ayah.

"Maaf, Ayah, tadi aku...."

"Sudah-sudah, ayo kita sarapan," sela Ibu.

"Ini tehnya, Den." Salah satu pekerja rumah meletakkan gelas teh di depaku. Aku tercekat. Sebentar, jadi, ini teh? Aku termangu. Kenapa teh membuat kepalaku jadi teringat Meisarah lagi?

"Bi?" panggilku pada bibi rumah yang memberiku teh itu.

"Iya, Den."

"Tolong buatkan aku teh dengan garam." Sontak Ayah dan Ibu melongo dan bingung.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang