5. Di rumah Alvian 🌷

24.4K 2.2K 137
                                    

Intermezzo:
Akhir2 ini Tiv banyak makan bawang biar bisa jago bikin cerita sedihnya 👍😚

Tepuk tangan buat Tiv! ☺

🌷🌷🌷

"Kita adalah kita - quote terkeren di ALVIVA"

🌷🌷🌷

"Jangan berisik, bunda sama ayah gue lagi tidur."

'Bunda sama ayah gue', padahal itu juga bunda sama ayahnya Adiva. Alvian dan Adiva, kan, tunangan. Hm. Alvian selalu saja tidak menganggapnya. Gapapa. Adiva membubuhi senyuman paksa kemudian mengangguk kecil.

Adiva melepaskan sepatu sekolahnya sebelum masuk ke dalam. Berkat kejadian tadi, malam ini Adiva mendapat penginapan gratis.

Di rumah Alvian tentunya.

Sudah dua mingguan Adiva tidak ke rumah mewah ini. Seingatnya, terakhir kali ia datang ketika mereka rundingkan soal pertunangan itu.

Bagi bunda Alvian, Adiva sudah seperti pengganti Vivian karena nyawa Adiva diselamatkan Vivian. Maka itu, bundanya Alvian angkat Adiva jadi menantunya. Percuma Alvian bersikeras menentang,  hasilnya nihil. Dan, dua tahun setelah itu pasangan Alviva benaran tunangan.


"Tunggu sini bentar," ucap Alvian kembali di kala kaki mereka berpijak di meja makan. Adiva menurut.

Pandangan Adiva mulai menyapu ke sekitar. Isi rumah ini masih tidak berbeda. Di sudut ruangan terdapat sebuah lemari kaca transparan yang berisi piala-piala dan medali Alvian dari berbagai macam lomba. Lalu, di sebelah ada sebuah pot besar berisi bunga palsu kesukaan bunda Alvian.

Tengah ruangan juga terdapat sebuah sofa berbulu angsa dengan lampu hias besar bergantung di atasnya. Jangan lupa juga ada TV LED berlayar lebar sebagai pelengkap.

Juga, di dinding terpajang lukisan pemandangan gedung tinggi yang berhasil membuat Adiva meneguk ludah kasar. Gedung tinggi menjadi tempat singgah Vivian terakhir di muka bumi ini.

Adiva buru-buru mengedarkan pandangan. Tidak berani menatap lukisan itu lebih lama lagi. Semenjak Vivian bunuh diri di hadapannya, Adiva takut ketinggian.

"Sini tangan lo."

Adiva melihat Alvian kembali dengan kotak P3K di tangan. Adiva langsung menggeleng kecil. "Kamu dulu aja. Telapak tanganmu juga berdarah tadi gara-gara remas batu."

"Gue bilang sini tangan lo. Jangan selalu bikin gue ngulangin kata gue."

Tidak ingin membuat Alvian marah, Adiva menaruh tangannya di atas meja makan kemudian buru-buru menarik kembali sebelum Alvian menyentuhnya.

"Dih, napa lo?"

Tangan Adiva bergetar tiba-tiba.

"Gue udah gak ada niat buat mutusin jari lo. Sini tangan lo," ucap Alvian. Nada suaranya terdengar lembut. Jarang sekali Adiva mendengarnya. Adiva pun luluh dan menyerahkan tangan.

Alvian mulai mengoleskan obat merah di punggung jari manis Adiva dengan telaten. Seperti sudah terbiasa dengan hal semacam ini.

ALVIVA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang