Chapter 20 Manusia Bodoh

258 13 0
                                    

Karena keceplosan, aku langsung menutup mulut dan tidak dapat mengatakan apa pun selain diam. Ini adalah cara terbaik agar Nio tidak terlalu percaya diri dalam menunjukkan siapa dirinya. Aku yang sejak awal sudah akan terpancing, secara liar mengatakan hal tersebut hingga berbuntut panjang.

'Kenapa, sih, mulutku enggak bisa diajak kompromi. Pakai acara keceplosan lagi, pasti dalam hati Nio akan merasa berbunga-bungi. Oke-oke, aku akan biasa aja agar dia juga gak mengungkit apa yang ada di pikiran dia,' kataku dalam hati.

Beberapa menit setelahnya, datang pelayan yang tadinya sudah mendapatkan sebuah pesanan dari kami. Namun, orangnya berbeda dan dia langsung meletakkan makanan tanpa berkata sedikit pun. Berbeda jauh dengan yang pertama, menggoda Nio bagai baru pertama kali melihat cowok ganteng.

Kalau di perhatikan secara saksama, sekarang Nio lebih ganteng dan bersih. Awalnya dia terlihat lumayan membuat kesal karena tingkah, seiring berjalannya waktu dia berubah begitu pesat sampai aku pun tidak dapat berkata lain. Kami menyantap menu makan malam yang telah di pesan.

Ikan bakar yang terlihat sangat enak dan besar ini adalah sebuah menu terbaik di tempat tersebut. Lokasi yang berdempet dengan kafe kopi ini mampu menyedot banyak pengunjung. Kami saja sudah duduk di sini bermenit-menit untuk mendapatkan satu menu saja.

Aku pun mengunyah makanan khas di Medan ini, dan Nio tidak berkata apa pun kalau sedang makan. Dia hanya bersuara kalau lapar dan lain sebagainya, untuk urusan makan kami selalu menjunjung etika untuk tidak membahas apa pun.

Sedangkan di asrama tentara, mau makan seperti ini harus melewati berbagai rintangan dari senior dan orang-orang yang mungkin sengaja memberikan refleksi mental pada kami. Sehingga, mereka lebih memegang yang namanya kekuasaan dalam area itu. Namun, tidak berlaku padaku yang selalu melawan siapa pun orangnya.

Kopi hangat sudah aku seduh beberapa kali, asap panasnya pun ke luar dari dalam gelas menyapa hidung. Sangat wangi aromanya dan aku meneguk beberapa kali, rasanya juga sangat enak. Ini adalah menu makanan yang paling enak yang pernah aku makan.

Biasanya bersama almarhumah mama, kami tidak memakan menu ini karena memikirkan untuk besok. Sampai saat ini aku belum pernah membawa mama makan enak, atau ke tempat yang bagus. Tetapi apa daya, saat aku sudah mendapatkan cita-cita semuanya hilang. Ini adalah siklus kehidupan, dan tak ada satu pun manusia dapat mencegahnya.

Seraya mengunyah nasi, aku berpikir dan berandai-andai kalau saja mama masih hidup saat ini. Akibat kanker yang dia alami itu, membuatnya tak mampu hidup lebih lama. Menahan sakit sejak aku berusia masih muda, tanpa mau diajak berobat dan hanya minum obat yang murah saja.

Seketika aku meneteskan air mata, jatuh di atas meja dan membuat Nio menoleh sejenak sebelum akhirnya berhenti makan. Aku membuang tatapan dan menyibak air mata itu, karena tak mau dia tahu apa yang saat ini aku pikirkan.

"Kau kenapa, Jhon?" tanyanya mulai kepo.

"Ak-aku gak kenapa-kenapa. Aku baik-baik aja, kok," titahku menjawab, lalu tersenyum kala melihat Nio.

"Gak mungkin, kau tidak baik-baik saja. Katakan sama aku, kau kenapa bersedih sampai menangis kala makan. Aku gak pernah melihat kamu makan sambil menangis seperti ini," paparnya lagi.

"Ak-aku ... aku hanya rindu pada almarhumah mama aku aja, belum sempat makan enak seperti ini malah meninggal dunia. Aku menyesal gak pernah ajak dia untuk makan di luar, karena keterbatasan ekonomi."

Mendengar ucapan itu, Nio langsung menyentuh punggung tanganku. Kali ini aku menatap dia sangat pasih, tertegun sejenak dan dia seperti meminjamkan sebuah pundak. Namun, di sini masih ramai dan aku tidaj langsung meraih pundak itu. Sekarang yang ada dalam diri ini untuk tetap tegar, apa pun risikonya.

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora