Chapter 32 Jhon Sakit

206 9 0
                                    

"Jhon, kamu ngapain ada di sini?" tanya seseorang, seketika aku memutar badan.

Orang itu adalah Jendral, dia datang setelah aku membuka isi kotak berisikan ikat kepala yang sebelumnya aku punya. Namun, saking merasa takutnya sampai-sampai kotak ini berada di belakang badan dan tak tampak dari depan.

Beberapa kali aku menarik napas panjang, menelan ludah karena merasa sangat takut. Ini adalah kali pertama aku berani melangkahkan kedua kaki memasuki ruangan seseorang, apalagi dia adalah jendralku sendiri. Karena merasa sangat gemetar, aku pun diam sembari menoleh kanan serta kiri.

"Itu apa yang kau bawa di belakang, Jhon?" tanyanya.

"Eng-enggak ada, Dan, ini adalah kotak yang aku dapatkan dari atas sana," jawabku.

"Apakah kau sudah melihat dari isi kotak itu?" tanyanya lagi, membuat aku tak mampu berkata.

Dengan anggukan kepala beberapa kali, aku pun menyodorkan kotak tersebut pada Jendral yang sedari tadi menoleh ke arah belakang badan. Sebenarnya tadi aku tak mau menberikan, akan tetapi karena sudah tertangkap basah, mau tak mau akhirnya aku kembalikan.

Jendral yang kala itu berdiri tegap, kemudian mengambil kotak berbungkus sampul warna kuning itu dari tanganku. Namun, dia tak marah. Hanya saja, sebuah kejadian pun terlihat dari ambang pintu. Aku melihat seseorang telah datang dan membawa bayangan hitam.

Tiba-tiba,

Dor!

"Tidak ...!" teriakku sangat kencang, menggema seisi ruangan.

Tepat di jantung Jendral, orang itu menembaknya sampai membuat lelaki di hadapan tidak bisa bergerak sama sekali. Dia pun tumbang di atas lantai dan kotak tadi telah terjatuh begitu saja. Orang bertopeng hitam itu pergi, kemudian aku mendekat ke badan Jendral dan menangis histeris.

"Bangun ... Jendral ... bangun, kau kenapa!" teriakku beberapa kali.

Namun, dia tak mau membuka matanya dan hanya menutup saja, kali ini sangat mengerikan dan darah berserakan di atas lantai. Saking merasa takutnya, kemudian aku menoleh sejurus ke ambang pintu untuk meminta bantuan.

"Tolong ... tolong ... tolong ... siapa pun orangnya tolong aku ...," teriakku beberapa kali, dengan tangisan.

Akan tetapi, belem pun sempat mendapatkan pertolongan, seseorang telah menukul pipi kanan dan kiriku sangat keras sampai aku tak bisa apa-apa.

"Jhon ... kau kenapa, bangun. Hey ... kau kenapa?" tanya seseorang itu.

Lamat-lamat aku membuka kedua bola mata, ternyata yang memukul itu adalah Antonio. Dengan segenap hati dan rasa takut, kemudian aku memeluk tubuhnya sangat erat. Keringa yang keluar pun sangat deras melalui leher sampai ke dada.

Bahkan baju yang aku pakai saat ini telah basah karena keringat, rasa takut menyergap. Dengan memeluk Nio, perasaan ini menjadi lebih terasa nyaman dari semua ketakutan. Mimpi yang buruk itu aku alami, setelah dua hari di rumah Jendral.

"Kau kenapa, Jhon?" tanya Nio.

"Ak-aku ... aku ... aku takut, Nio," jawabku.

"Kau pasti lagi bermimpi buruk, kan? Makanya kalau mau tidur doa dulu, biar gak mimpi buruk gini," pungkasnya memberikan nasihat.

Dengan anggukan, kemudian aku pun menarik napas dan Nio mengambil air mineral di meja samping dipan. Berulah aku berani menatap wajah Nio setelah tahu kalau dia ada di sini. Kejadian yang barusan adalah mimpi, belum terntu terjadi.

Namun, semua tampak nyata sampai diri ini sangat takut mau berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya, aku yang sedang merasa takut pun seolah-olah mengatakan kalau diri ini akan mati bersama Jendral dalam mimpi tersebut.

"Ini sudah malam, sebaiknya kamu tidur lagi. Karena apa, besok kita akan pergi untuk menjalani tugas berikutnya dari Jendral," ucap Antonio.

"Ta-tapi ... tapi aku takut tidur sendirian, kamu temani aku ya," pintaku.

"Hmm ... tadi kamu gak mau tidur sama aku, tetapi sekarang malah minta temani. Kamu ini gimana, sih, kalau udah gak mau jangan maksa!" katanya.

Mendengar ucapan itu aku pun diam, tanpa mampu berkata sedikit pun. Beberapa menit setelahnya, barulah Nio memeluk aku lagi dan mencium kening ini. Sahabat rasa pacar, karena dia telah berapa kali mencium aku dalam satu hari.

Namun, perasaan ini tidak bisa berubah dan memilih Nio saja. Tangisan masih aku berikan malam ini, saking takutnya kalau kehilangan apa yang sudah aku dapatkan. Kebahagiaan, bahkan semuanya. Karena merasa sangat gemetar, Nio pun menggendong aku dan posisi sedang berada di dekapannya.

Dadanya yang bidang itu mampu menyangkup badaku. Mulai dari kepala sampai badan, telah di dekap habis olehnya. Sampai saat ini aku pun mengerti, kalau yang selama ini mencintai adalah Nio, bukan Komandan Reza.

"Sekarang tidur, besok selepas tugas dari Jendral aku akan ajak kamu makan di cafe kalau mau. Itu pun kalau kau mau, kalau gak ya terserah," ucapnya.

"Hmm ..." gumamku sembari menyembunyikan wajah di dadan Nio.

Kali ini aku dapat mencoba kembali untuk tidur, dengan diselus-elus seluruh badan, sampai rambut dan wajah, membuat rasa nyaman itu datang menyergap.

'Tuhan ... terima kasih karena Kau sudah memberikan aku seseorang yang bisa membuat nyaman. Ini adalah laki-laki terhebat dalam kehidupanku, mampu menenangkan di saat aku merasa sangat takut,' batinku.

***

Srek !!!

Kedua bola mata terbuka bersamaan, melihat gorden jendela telah terbuka lebar. Aku pun menatap Nio yang sudah memakai seragam loreng dan siap untuk kembali bekerja. Dengan posisi tidak bisa bangkit, badanku pun panas seketika. Ini tak pernah terjadi, karena semalaman aku merasa ketakutan.

Nio yang kala itu sedang berada di balkon pun berjalan ke arahku, menemui diri ini sampai berhadap wajah. Aku menatapnya, lalu dia membuang senyum.

"Kenapa belum mandi juga?" tanyanya.

"Aku pusing, Nio, badan aku sakit semua," jawabku spontan.

Dengan tangan kanan, Nio memegang keningku. "Astaga! Kamu demam, Jhon. Kamu di rumah aja, deh, biar aku aja yang kerja. Bentar-bentar, aku akan ambil kompres dulu."

Seraya berlari ke kamar mandi, Nio pun datang lagi sambil membawa kain berukuran kecil. Dia pun meletakkannya di keningku dengan sangat rapi, diri ini hanya bisa diam dan menatap Nio ke sana dan ke mari.

Tok-tok-tok!

"Nio ... Jhon ... apakah kalian sudah siap?" tanya Jendral.

"Sudah, Dan, silakan masuk," teriak Nio.

Orang tersebut masuk ke dalam kamar, dan dia menatap sejurus ke arah dipan. Mengetahui aku yang sedang tertidur pulas, dia pun sangat heran dan langsung datang menemui.

"Loh-loh, kamu kenapa, Jhon?" tanyanya sangat khawatir.

"Jhon demam, Dan, sepertinya dia gak bisa ikut kita ke acara Komandan Reza. Biarkan saja dia di sini aku mohon," ujar Nio.

Jendral pun mengangguk, kemudian dia menjawab, "ya, kamu di rumah aja jangan ke mana-mana. Kami akan pulang tepat waktu, nanti akan ada dokter yang ke sini. Kamu jaga diri, karena dokter itu sudah biasa merawat prajurit. Orang kepercayaanku, jangan khawatir."

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora