Chapter 80 Masalah Besar

96 7 0
                                    

Selesai makan bersama dengan Komandan di dalam ruangan ini, aku pun membangkitkan badan seraya berjalan menelusuri ruangan. Namun, lelaki yang sekarang berhadapan dengan aku langsung ke luar dari dalam ruang kecil di depan sana. Seraya memasang wajah sangat bodoh, aku pun ingin berpamitan padanya karena hendak melakukan aktivitas malam lainnya di luar.

Dia datang dan memberikan air mineral padaku, dua botol dan sangat membuat diri ini mengambilnya dengan sangat cepat. Tak terasa arloji sudah menunjukkan malam hari, sementara aku masih bersama dengan lelaki yang baru saja di kenali. Kalau perawakan yabg di tunjukkan olehnya sangat berkarisma, dia merupakan suku yang ada di Bandung.

Dari gaya ucapannya sangat lembut dan dapat terarah, sekali melihat wajah sayupnya membuat jantung ini merasa sangat terpana. Namun, aku tidak lantas begitu suka padanya dan hanya sekadar mengagumi saja. Selama berada di sini, aku sudah mendapatkan perlakuan yang sangat menarik dari beberapa pihak. Pertemuan pertama di awal dinas merupakan hal baik di sisi pertemanan.

"Apakah kamu mau kembali?" tanya Komandan.

"I-iya, Dan, aku mau ke luar karena masih ada yang harus aku lakukan," jawabku sangat merasa aneh.

"Hmm ... terima kasih sudah menemani saya makan malam di sini. Senang bertemu dengan kamu, kalau nanti kapan-kapan aku ajak makan kamu mau kan?" tanyanya lagi.

Tanpa menjawab, aku pun hanya sekadar menganggukkan kepala saja. Tak menunggu waktu lama lagi, sekarang aku berjalan ke luar dari ruangan ini. Tibalah aku di ruang selanjutnya, di sana sedang ada seorang komandan Hansen sedang main ponsel. Lalu, setelah berdirinya diri ini di sampingnya, membuat lelaki berjam tangan warna putih itu bangkit.

Lamat-lamat, dia langsung menoleh ke arah pintu komandan yang tadinya makan malam dengan aku. Seraya menatap, dia pun terseyum semringah. Aku tidak tahu ada apa ini semua, karena keduanya sama-sama gagah dan memiliki hal aneh yang tersembunyi. Namun, kakau di bandingkan dengan Komandan, Hansen adalah lelaki paling tampan di sini.

Perawakannya sangat sederhana, akan tetapi susah berbicara sama seperti Komandan Reza ketika pertama kali kenal. Lalu, dia pun tersenyum semringah sembari menatap ke arahku.

"Apakah kamu sudah makan, Jhon?" tanyanya padaku sangat serius.

"Sudah, Dan, baru aja makan sama Komandan di dalam. Oh, ya, aku mau balik lagi ke kamar karena mau ambil sesuatu buat jaga malam ini," kataku untuk mengakhiri pertemuan malam ini.

Tiba-tiba, Komandan Hansen pun memberikan kembali sebuah benda padaku. Terlihat sangat aneh, dan itu adalau ikat kepala yang biasa aku letak di tas atau kantong celana.

"Nih, apakah benda ini milik kamu?" tanyanya seraya memberikan ikat kepala dengan motiv loreng itu.

"I-iya, Dan, ini adalah milik saya. Kalau boleh tahu, kenapa bisa sama Komandan, ya?" tanyaku balik, dengan wajah yang sangat kepo.

"Tadi aku temukan di lapangan, mungkin ketika kamu baris tadi terjatuh dia. Oh, ya, kalau itu segera kamu ke kamar, ya, ambil peralatan lainnya agar bisa kembali bertugas malam ini," ujarnya kemudian dia mengelus pundakku sebelah kanan.

'Ini laki-laki kenapa pada baik, ya, sama aku. Apakah mereka sama seperti aku, memiliki kepribadian ganda yang tidak di miliki oleh orang lain? Kalau pun iya, gak mungkin juga mereka gay,' kataku dalam hati.

Karena merasa terlalu lama di dalam ruangan ini, aku pun langsung berlari menuju ke luar. Pasalnya, di luar sudah sunyi dan prajurit juga sudah menjalankan aktivitas malam mereka. Ada yang sedang di portal, dan ada juga yang simpamg siur di bagian pusat bantuan.

Aku berlari menuju kamar, sambil memegang ikat kepala bermotiv loreng ini di tangan kanan. Saking merasa keponya, sampai sedari tadi yang terbayang adalah perlakuan komandan yang biasa di panggil Gio itu. Sebagaimana pun juga, dia sudah baik sekali padaku malam ini.

Mau mengajak makan malam, bahkan memberikan suapan layaknya pacaran. Dari situ aku mulai menumbuhkan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi, tentang sikap orang-orang di sini sangat aneh. Tibalah aku di ambang pintu kamar, di sana sudah ada Radit, Kurniawan dan Raka Lesmana.

Melihat kehadiranku, mereka bertiga bangkit dari posisi duduk dan langsung tertegun. "Udah lama kami menunggu, ternyata baru muncul oknumnya," ucap Raka sembari membuang wajah kesal.

"Kamu ngapain ada di sini, Raka? Kan, aku tadi udah bilang kalau lagi ada urusan sama Komandan di dalam. Oh, ya, kalian kenapa pada pegang pipi gitu? Seperti orang yang lagi sakit gigi aja?" tanyaku seraya memasukkan ikat kepala di dalam tas.

"Ka-kami, kamu sedang ada masalah sedikit, Jhon. Emangnya kamu gak tahu apa yang terjadi barusan?"

Tiba-tiba, Radit menutup mulut Raka yang mengerocos tanpa henti. Karena Raka sudah sering begitu, aku pun tidak ambil pusing dengan mereka. Apalagi kalau hanya jatuh terpeleset, sudah makanan sehari-hari buat Raka. Kali ini aku pun siap untuk jaga malam, dan sang sahabat mendekat.

Namun, ada hal ganjil yang terlihat saat ini. Bagaimana tidak, Raka memegang pipi kanannya yang terlihat sangat masuk ke dalam mulut. Seperti ada hal terjadi pada mereka, akan tetapi aku tak tahu apa.

"Yuk, kita jaga pos, udah malam dan telat sepuluh menit pula," ucapku mengajak Raka.

Tanpa menjawab dia hanya mengangguk ringan. Kami berjalan ke luar dari dalam kamar dan menelusuri koridor. Banyak senior di sini sedang menatap kami berjalan, akan tetapi Raka tak mau mengeluarkan suaranya sama sekali. Perbedaan itu tertangkap bedan jauh dari tadi siang.

Setibanya di pos penjagaan, aku pun masuk dan langsung mengisi buku di depan sebagai absen. Namun, di sini banyak senior yang simpang siur tanpa henti. Seraya menulis apa-apa saja yang kami perlukan, Raka pun main ponsel sambil meringis beberapa kali.

"Kamu kenapa seperti itu, Sob? Kok, sepertinya lagi galau banget dengan melihat ponsel aja?" tanyaku bertubi-tubi.

"Ah, eng-enggak, aku hanya biasa saja," jawabnya.

"Lagi ada masalah sama Bambang, ya. Udahlah ... cinta itu gak usah di pikirin, lagian kalau dia macam-macam masih ada aku yang akan bantuin kamu," jelasku memberikan tawaran.

"Bukan itu masalahnya, Jhon. Ak-aku ... aku lagi ada masalah di sini, tadi selepas makan malam."

"Masalah apa, sih, kalian bertiga seperti main kucing-kucingan aja dari tadi. Ada masalah tapi gak mau mengatakan padaku, gimana aku bisa tahu kalau kalian ada masalah," omelku sangat kesal, lalu aku mengambil air mineral.

"Tapi ... kamu hanya cukup tahu aja, ya, Jhon. Jangan di perpanjang lagi masalah ini, karena aku gak mau ada masalah ke depannya," ujar Raka.

Seraya menoleh, aku mengelus keningnya. "Kamu sakit, Raka?"

"Enggak, Jhon. Aku hanya merasa takut aja tadi," katanya.

"Takut kenapa, sih?" tanyaku spontan, sedikit membentak.

"Ak-aku ... aku ... aku di pukul sama Senior, Jhon."

Uhuk!

Secara spontan, aku tersedak minum air di dalam botol. Bagaimana tidak, baru satu hari ada di Kodim ini, senior sudah berani cari masalah dangan kami.

"Siapa oranganya! Beritahu aku, dan siapa namanya!"

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang