Chapter 76 Sang Peramal

95 5 0
                                    

"Cie ... ada yang senyum-senyum sendiri, pasti lagi bayangi kalau Nio ada di sini dan tembus menuju mata batin." Tiba-tiba, Raka berceletuk.

"Apaan, sih, jadi orang sok tahu. Kepo banget. Siapa juga yang ngebayangin Nio. Lagian, ya, aku itu udah gak mau lagi berurusan sama anak itu. Dia udah memilih untuk menjauh, sekaranga aja dia ada di daerah yang sangat terpencil sama Bambang," balasku dengan suara di lebay-lebaykan.

"Halah ... aku udah berteman satu tahun sama kamu, Jhon. Pastinya tahulah, sahabat aku ini lagi bohong atau lagi jujur. Tapi kalau dipikir-pikir, kalian itu serasi banget, loh. Kenapa aku bilang begitu, udah lama sebenarnya kami observasi tentang kedekatan kalian yang tak wajar, ternyata nemu juga, kalau kalian memiliki jiwa berbeda."

"Ma-maksudnya kalian observasi gimana? Mau buat karya ilmiah atau apa, sih, aku gak ngerti. Berarti, selama ini kalian mengintai pergerakan aku dan Antonio, dong?" tanyaku lagi, kali ini sangat penasaran.

Kemudian, Raka menganggukkan kepala. "Hu'um, aku sama Bambang udah mencari tahu kenapa Antonio ketika menatap kamu agak berbeda. Ternyata kami udah tahu jawabannya lewat beberapa kertas yang di tulis oleh Nio sendiri di atas kertas, kalau dia suka sama kamu."

"Lantas, kenapa malah kalian jadian pula berdua. Aku makin pusing lihat tingkah kalian, yang kadang-kadang buat aneh tau enggak!" pekikku.

"Kami saling suka itu pas satu kamar, dinas bareng semuanya serba berdua. Ya, sama seperti kamu, ke mana-mana berdua. Tapi di balik itu semua aku tak mau terlalu terlihat bersama, padahal kami saling mempunyai perasaan. Waktu itu, Bambang yang bilang ke aku kalau dia punya perasaan sama aku. Terkejut, dong, tapi mulai saat itu aku benar-benar sayang sama dia," jelas Raka Lesmana.

"Hmm ... tapi kalian gak mendapatkan rintangan yang berliku seperti jalan hidup aku, kan. Aku jadi mikir setelah paham dunia pelangi di batalyon. Apakah, semua prajurit punya jiwa yang sama seperti kita, ya, Rak?" Kutoleh lagi sahabat.

Lalu, Raka menaikkan kedua pundaknya. "Gak tahu, karena mereka juga punya sahabat dekat masih-masing. Minimal dua orang, dan selalu bersama apa pun yang terjadi. Nah, coba kau lihat saja yang satu kamar denganmu, mereka juga terlihat mencurigakan, kan?" tambah Raka lagi.

"I-iya, sih, dari awal masuk ke kamar sampai nyuci sepatu bareng mereka barengan. Tapi gak mungkinlah, karena mereka itu macho banget, dan gagah banget malah." Lalu, aku menoleh sekilas.

Raka menarik napas panjang, kemudian dia menjawab, "sama halnya dengan kita. Apakah kita melambay? Enggak, kan. Kita macho, bro, kita gagah. Dan apa orang lain sadar kalau ternyata kita penyuka sesama?"

Mendengar pertanyaan secara bertubi-tubi itu aku diam, tidak ada yang bisa aku katakan lagi sekarang. Yang ada hanyalah sebuah fakta menarik di dunia militer. Karena dalam kesatuan, sangat terbatas seorang wanita berinteraksi pada kami. Saat pelatihan sampai sekarang, aku tak pernah berteman dengan seorang wanita.

Padahal di sini ada TNI wanita yang lulus juga, tetapi mereka tidak mau berkata apa pun pada kami. Dari sini dapat aku pecahkan sebuah misteri, kenapa jiwa kami mulai goyah dalam menanggapi sebuah kejadian. Perasaan internal terjadi begitu saja tanpa di sangka, karena aku pun tidak tahu ada jiwa gay di dalam diriku.

Tanpa berpikir apa pun lagi, sekarang aku hanya mengingat Antonio yang wajahnya selalu ada dalam bayangan. Benar kata lirik lagu, kalau sudah tidak ada barulah terasa. Bahwa kehadirannya sungguh berharga, kali ini aku sangat menyesal sudah membuat Antonio jauh.

Namun, di sini aku akan mencoba selalu memberikan hati pada Antonio. Di balik tawanya lewat chat, dia pun sangat berharap untuk aku menjaga hati dan perasaan walau jauh darinya. Seketika kedua bola mataku berkaca-kaca, membayangkan apa yang sudah kami lalui selama ini.

Akhirnya waktu bergerak sangat cepat, aku belum melakukan apa pun hari ini. Bahkan mereka yang sudah mondar-mandir mencuci sepatu, tak ada yang bisa aku cuci sekarang. Raka yang sedari tadi main ponsel, kemudian menyentuh pundak ini sangat lembut. Lalu, dia pun tersenyum.

"Bro, aku mau kembali ke kamar. Ada yang harus aku lakukan di sana," ucap Raka Lesmana.

"Iya, aku juga mau mencuci sepatu, tapi takut enggak kering. Mungkin aku akan cuci sarung ajalah," jawabku sangat malas.

"Ya, udah, mumpung panas buruan gih di cuci. Entar bau banget, lagian sekarang kamu harus rajin. Antonio gak ada di sini, dia gak memerhatikan lagi sekarang," ujar Raka meledek.

Tak berapa lama, Raka pun melompat dari bangku dan dia berdiri tegap dengan badan di gagah-gagahkan.

"Oh, ya, entar malam kita ada jadwal dinas jaga pos di depan. Sepertinya kau sama aku, deh. Jangan sampai tepat, aku akan sampai sana setelah habis isya, kita apel dulu sebelum makan malam," kata Raka.

"Siap! Aku pun mau kembali ke dalam kamar, kau hati-hati, ya, jaga mata dari hati juga," balasku seraya tersenyum.

Melihat aku yang sangat berbeda, serta dengan kedua bola mata berkaca-kaca, Raka kembali memutar badan dan datang menemui. Kemudian dia menyentuh pundakku sebelah kanan.

"Aku tahu apa yang kau rasakan sekarang, kau pasti kangen sama Nio, kan. Walau pun ucapannu berbohong, tapi hatimu aku paham banget. Percaya sama aku, kalau Nio adalah orang yang setia. Dia itu anak yang baik, gak mungkin selingkuh dari kamu," kata Raka memperkuat semangat ini.

"Ya, aku juga percaya sama dia. Apalagi di sana dia di jaga oleh Bambang, udah pasti akan menjaga sikap. Ta-tapi ... tapi aku kangen sama dia."

Tiba-tiba, Raka memeluk aku dengan sangat erat. Tanpa mampu menolak, aku hanya bisa pasrah. Ini adalah kali pertama sahabatku memeluk dengan konteks yang berbeda. Ada perasaan sengaja kami utarakan sekarang, lewat kata-kata yang justru semakin membuat aku sangat lemah.

Akan tetapi, semua itu sudah ada yang memilih. Untuk tetap bersama atau sekarang malah berpisah. Kali ini, pilihan ada di tangan masing-masing tanpa harus bertahan dangan ketidak mampuan. Aku memeluk Raka, membalas cengkeraman tangannya yang penuh meluluhkan tubuh ini.

"Kau pasti bisa melewati ini semua, aku tahu kalau adalah anak yang kuat. Orang baik, dan akan selamanya akan menjadi orang pilihan," bisik Raka seraya berdesis seperti sangat sedih.

"I-iya, sob, kau juga orang yang baik. Walau hampir satu semester kita gak jumpa waktu itu, tetapi sekarang kita bersama sebagai sahabat. Terima kasih, ya, udah menguatkan aku lagi," jawabku.

Lalu, Raka melepas pelukannya dan langsung berlari meninggalkan aku di samping bangku dekat dengan kolam ikan. Kebetulan di belakang sini tidak ada orang sama sekali, sehingga dapat di pastikan kalau percakapan kami tak terdengar oleh siapa pun.

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang