Chapter 59 Jadi Aku Sebentar Saja

155 13 2
                                    

POINT OF VIEW
(Jhonson Ericson Macen Cullen)

'Antonio kenapa diam aja, ya, dari tadi. Apakah sepatu yang ada di depan kamar tadi punya dia. Kalau itu adalah milik dia, pasti Nio udah melihat aku sedang main sama Komandan tadi pagi. Bodoh banget, sih, bisa sampai membuat orang lain tahu,' kataku dalam hati.

Sebuah sentuhan lembut mendarat di tanganku, seketika lamunan itu buyar dan yang melakukannya adalah Komandan Reza. Tepat di daun telingaku, dia berbisik.

"Jhon ... kamu lagi mikirin apa, kenapa hanya diam?" tanyanya.

"Eng-enggak, aku gak mikirin apa pun. Kenapa emangnya, apa yang aku pikirin?" Aku malah belik bertanya padanya, sampai Jendral ikut menoleh melihat kami berdua.

"Ada apa, Za?" tanya Jendral dari bangku paling ujung.

Dengan gaya gerogi, aku dan Reza pun mengakhiri bisik-bisik. "Ah, eng-enggak ada apa-apa, kok, Dan. Kami hanya ada masalah sedikit aja. Oh, ya, gimana dengan pembahasan kita tadi? Apakah bisa dilanjutkan?"

Komandan Reza mengalihkan ucapan, kemudian mereka berbincang satu sama lain. Aku meneguk susu hangat yang ada di depan mata. Ini adalah percakapan yang tidak memerlukan antara komunucator dan komunican. Namun, sampai saat ini rasa penasaran itu datang karena Antonio tidak kunjung kembali.

Biasanya kalau sedang makan, dia tidak pernah pergi lebih awal. Yang aku tahu adalah demikian, dia tidaklah seperti itu ketika sedang berada dalam ruang lingkup pembicaraan. Namun, sekarang perbedaan sudah di tunjukkan padaku lewat gaya bahasa dan lainnya.

Dapat di tebak nyata olehku, kalau Nio menyembunyikan sesuatu. Ketika Jendral dan Komandan pergi, mereka pun bergerak menuju lantai atas sebagai tempat rahasia mereka. Walau pun aku tidak pernah masuk ke sana, biarlah itu menjadi urusan mereka.

Di sisi lain, aku sedang merasa kesal pada Jendral yang ternyata telah menyembunyikan rahasia besar bahwa aku adalah anaknya. Meskipun ini belum di yakini, karena tidak ada yang mendasari terlalu dalam. Ada dua bukti di sana. Yang pertama adalah, dengan banyaknya kesamaan masa lalu.

Kedua, dangan adanya sebuah foto yang jelas-jelas memerlihatkan kalau mamaku sedang berfoto pada Jendral di masa lalu. Walau sudah kuat, aku tetap tidak dapat menerima kenyataan itu. Sebagai seorang anak yang telah di tinggalkan selama dua puluh tahun, menerima hal demikian bukanlah wilayahku.

Pasalnya kami akan melakukan satu tes lagi yang akan membawa kepercayaanku bertambah lebih tinggi. Yaitu cek hormon, menyakanan golongan darah dan itu sempat di katakan oleh beberapa pendapat. Namun, aku tidak mau karena akan terus berujung lama. Sampai saat ini, tidak ada yang namanya kembalinya masa lalu.

Biarlah masa lalu tetap di masa lalu, tidak akan pernah hadir di masa sekarang. Aku sudah lelah, dan tidak mau mendengar semua masalah baru. Namun, hari ini Reza datang di waktu yang tepat. Dia telah memberikan kenikmatan lewat gayanya ketika memanjakan aku di atas ranjang.

Tidak ada yang berbeda, dan itu sangat membuat aku candu. Walau pun sampai sekarang terasa nyeri, apalagi ketika berjalan sangat sakit. Mungkin karena efek terlalu lama durasinya, sampai ke ulu jantung. Tapi aku senang, karena dari situ masih tampak rasa sayangnya padaku.

Walau pun sudah hancur di buat olehnya, aku akan menghancurkan lebih dalam siapa diriku sendiri. Setelah membangkitkan badan, jendral dan komnadan tidak terlihat lagi. Ini adalah kesempatan aku untuk menemui Antonio di luar.

Mungkin dengan begitu, mereka tidak akan tahu kalau aku sedang bertemu dengan Nio. Hati ini sudah merasa bersalah kalau dia benar-benar hadir ketika kami sedang melalukan hubungan tersebut. Dengan menarik napas panjang, aku membangkitkan badan dari tempat duduk dan segera ke luar.

Langkah kaki membawa diri berjalan laju menuju ke depan teras. Namun, tidak ada Antonio sama sekali. Aku celingukan ke sana dan ke mari melihat dia, ini adalah kali pertama dalam sejarah kalau aku mencari manusia itu. Dia adalah orang yang paling cepat ketika datang, dan menghilang.

Tingkahnya yang begitu sulit di tebak, sampai membuat aku kewalahan bagai baby sitter. Setelah berada di samping taman, suara seseorang pun terdengar lembut. Aku berhenti dan langsung tertegun menoleh. Ternyata di ayunan ada orang, kemungkinan dia adalah Nio.

Dengan sangat lambat, aku berjalan. 'Iya, itu adalah Nio. Dia sedang berada di bangku itu. Tapi ... dia gak pernah duduk sendirian di sana malam-malam, kecuali berdua dengan aku,' batin ini berkata.

Setibanya di belakang Nio, aku tidak langsung menegur. Karena aku ingin mendengar apa yang di bicarakan oleh mereka lewat HP itu, terdengar sangat asyik. Nada suara Antonio seperti bahagia, dia pun tertawa-tawa dan hal selama ini aku tidak pernah melihat senyumnya lagi.

[Kamu kenapa malah mau nabrak aku di depan kafe tadi, pasti sengajakan?]

[Eh, enak aja, enggak, Bang. Aku tadi mau lewat, tapi kamu menghalangi jalan aku. Pula, hanya menatap ponsel aja, jadi orang lain gak kelihatan ada di depan mata. Tapi jujur, tadi itu aku memperhatikan abang, sih.]

[Kenapa di perhatikan, apa yang salah sama abang coba. Kan, pakai baju rapi itu adalah khas abdi negara.]

[Justru karena rapi banget, Bang. Tapi jujur, pandangan aku itu malah lari ke bagian tengah badan abang, kelihatan gede gitu makanya aku pun sempat berhenti berjalan.]

[Ha-ha-ha ... apanya, sih, yang gede. Kamu bisa aja, mana ada. Biasa kok ukurannya, kecil malah. Kamu pasti bisa dapatkan yang lebih gede dari itu, tapi rata-rata uke.]

[Bener-bener, biasanya yang itunya besar cuma punya uke. Kalau seme, jarang yang gede, Bang. Oh, ya, kalau boleh tahu abang dinas ke mana, sih, gak di jawab dari tadi.]

[Abang pindah dinas loh, Dek Polisi yang imut ... abang mau terbang ke Nabire.]

[Papua, Bang? Yah ... jauh banget kalau gitu. Tapi, aku sanggup kok kalau seandainya kita LDR. Karena kan, kita memang sama-sama abdi negara.]

Begitulah ucapan Nio di dalam ponsel bersama orang tersebut, membuat aku hanya diam dan mendengar saja. Ternyata dugaan selama ini benar, kalau Nio sudah punya pacar baru sehingga mendasarinya untuk berubah. Aku tidak mau mengganggu, biarlah dia bahagia.

Orang sebaik Nio layak bahagia, itu juga bagian dari semua perjuangan darinya yang memperlakukan aku. Siapa pun orangnya, aku akan menyetujui walau pun baru hari ini rasa sakit itu datang ketika dia mesrah mengatakan ucapan demikian. Sangat lembut, sampai membuatnya girang.

Semangat dalam dirinya telah kembali, pada awalnya dia hanya diam saja beberapa hari ini. Perihal ungkapan pindah dinas ke Papua, dia sudah tidak mau lagi berdinas dengan aku di satu yonif. Padahal dari awal kami lulus sampai detik ini, tidak ada yang bisa memisahkan waktu.

Secara keberulan, kami selalu berada di lokasi yang sama tanpa di pisahkan. Air mata menetes, dan mungkin Nio sudah tahu kalau aku sedang melakukan making love di kamar bersama dengan Komandan Reza tadi. Nasi sudah berubah jadi bubur, padahal aku sudah sempat katakan janji akan selalu setia pada Nio.

Berusaha menerima, dan membuang orang yang berkehianat jauh-jauh. Kini penyesalan pun tidak ada guna, kalau sekarang kami akan fokus ke jalan masing-masing. Tidak ada lagi persahabatan berubah jadi cinta, itu hanya semu di mata dunia yang fana.

Tak berapa lama, aku membalikkan tatapan, memutar badan dan ingin pergi dari taman.

"J-Jhon ... Dek, bentar lagi abang telepon ada sesuatu yang harus abang lakukan, bentar-bentar. Iya, selamat malam!" kata Nio di dalam telepon, kemudian, "Jhon ... ka-kamu ngapain ada di situ? J-Jhon ...," panggilnya.

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang