Chapter 78 New System

136 6 0
                                    

Pertemanan kali ini sangat terjalin di antara kami. Walau pun hanya beberapa menit saja kenal, aku sudah dapat menebak kalau hati Radit dan Kurniawan sangat tulus: dari segi ucapan bahkan dari tutur sapa sudah mencerminkan lelaki yang baik-baik. Hanya saja, keduanya seperti orang kaya dari lahir. Sehingga, sedikit berbeda di kala mereka sedang memerlihatkan apa yang di bawa.

Dalam pertemanan ini aku tidak mau mengambil sisi buruk orang lain, karena semua sama saja di mana pemimpin di Kesatuan. Apalagi kami tidak mendapatkan sebuah fasilitas tinggi yang nantinya akan menberikan sebuah tontonan siapa paling kaya dari segi materi, semua hanyalah sebagai benda penghias saja untuk kami.

Yang di ajarkan oleh petinggi adalah agar dapat hidup sewajarnya dan sederhana. Tidak merendahkan orang lain, serta dapat menghargai pekerjaan dari orangtua. Itu adalah kunci sukses yang sebenarnya, akan tetapi aku tidak tahu dengan takdir yang sangat berbeda. Setelah masuk di Kesatuan ini, rasanya aku tak punya tembat baru untuk berteduh.

Saking nyamannya, aku tak mau pulang lagi ke kampung halaman untuk sekadar melihat para saudara yang dulu pernah merendahkan keluarga kami. Mereka mengatakan kalau aku adalah anak haram, itu jelas masih terngiang di telinga ini. Tak berapa lama, sebuah serunai pun berbunyi yang menandakan para prajurit harus siap siaga pergi ke lapangan.

Kemungkinan akan dilaksanakan apel sore, dan kami berlari menuju ke luar untuk segera berkumpul. Namun, aku melihat kalau para senior berlari dengan mengenakan seragam loreng lengkap dengan topi. Namun, aku hanya memakai celana pendek saja. Karena merasa tak nyaman, akhirnya aku putar balik dan mengambil seragam yang tadi ada di dalam ember.

Belum pun di cuci, karena asyik dengan teman-teman yang ada di sini. Setelah memakai seragam, aku pun kembali berlari ke luar. Radit dan Kurniawan tidak memakai seragam, karena sebagian besar dari kami tidak tahu peraturan di sini seperti apa. Selang beberapa menit tiba di depan lapangan, aku pun mendapatkan barisan paling belakang.

Para senior dari berbagai kesatuan pun hadir, mereka memakai topi warna hijau khas Infantri, ada juga yang memakai baret merah, khas dengan kopassus. Setelah mereka naik, semuanya mengernyikan alis bersamaan. Aku pun tidak tahu apa masksudnya, karena di antara mereka memekik dan berjalan turun dari fodium.

"Seluruhnya, komando diambil alih. Istirahat di tempat ... grak! Pandangan sejurus ke arah kiri pusat bantuan, jangan bergerak sampai kalian benar-benar mendapatkan hadiah dari para petinggi," ucap komandan di fodium dengan menggunakan mic.

Kami mengikuti apa yang dia katakan, kemudian beberapa senior terjun ke lapangan dan masuk ke tiap barisan seraya melayangkan tendangan di bagian belakang prajurit yang baru saja tiba dini hari.

"Kamu, maju ke depan buat barisan baru. Kamu, kamu juga maju!" Teriakan itu terdebgar di telingaku.

Entah apa yang salah dalam posisi ini, aku hanya berharap kalau tidak mendapatkan perlakuan yang tidak enak. Karena akan membuat malu Batalyon 3 yang terkenal sangat disiplin. Orang-orang di sampingku pun hilang menuju ke depan, ada juga di belakang masih terdengar teriakan.

"Kamu, maju ke depan!" teriaknya.

Setelah itu, datang seorang komandan mengenakan baret merah berdiri di sampingku, dia menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala. Memang, hari ini aku tak membawa senapan sebagai alat yang biasa di gunakan oleh prajurit kala berlatih. Namun, dia sedikit mencairkan pandangan. Senyuman sinis itu membuat aku curiga, ada yang berbeda darinya.

"Kenapa kamu lihat-lihat?!" tanyanya sedikit memekik.

"Siap, tidak ada, Dan!" teriakku.

"Kamu, maju ke depan. Kamu kenapa gak bawa senapan, barisan paling depan sana," ujarnya.

Kemudian aku berlari menuju depan, dan berada di barisan paling depan. Kali ini sendirian, karena hanya aku yang tak membawa senapan. Padahal, yang lainnya tidak pakai seragam ada di barisan paling banyak. Beberapa menit setelahnya, datang lagi seorang komandan dengan nama Hansen di bed seragamnya.

Aku melihat seraya menundukkan kepala, lalu dia berdiri di samping seperti menemani. Lalu, napas pun berubah menjadi sangat ngos-ngosan setelah itu, dia menaikkan daguku untuk menatap sejurus ke depan. Barulah komandan naik lagi ke fodium dan langsung memegang mic.

"Kalian tahu kenapa barisan ini di beda-bedakan?" tanyanya.

"Siap, tidak!" teriak seluruh prajurit.

"Dari sekian banyak yang hadir di lapangan, hanya satu orang yang hadir pakai seragam lengkap. Mau jadi apa kalian! Ingat praturan yang ada di gerbang utama, seragam hanya bisa di lepas ketika mandi dan tidur saja. Selebihnya kalian pakai!" teriaknya.

"Siap, salah!" teriak para prajurit lagi.

"Kamu!" Seorang komandan bernama Hansen menunjuk ke arahku.

Karena sudah di panggil, aku pun naik ke fodium. Dalam hati sudah berkata kalau dia akan mempermalukan aku karena tak bawa senapan, itu sudah pasti. Apalagi saat ini aku tak gemar pakai senapan, dan lebih lihat pakai pistol bagai lulusan Bintara Kepolisian. Namun, sekarang aku tidak mau melawan apa pun yang dia katakan.

"Siapa nama kamu?" tanyanya sangat serius.

"Nama saya, Jhonson Ericson Macen Cullen, Dan!"

"Kenapa matamu kuning?" tanyanya lagi. "Apakah kau sakit anemia?" lanjutnya.

"Tidak, Dan! Saya adalah blasteran, mama saya warga Portugis yang menetap di Medan!"

"Benarkah?"

"Siap, benar!" kataku lagi.

"Ternyata, ada mantan—"

"Mantan penjajah, Dan?" lanjutku tanpa rasa takut, dia pun terdiam dan menoleh ke bawah. Tepat di antara petinggi lainnya, semua terdiam dengan hentakan yang aku berikan.

"Dari mana asal kesatuanmu?" tanya Komandan Hansen.

"Siap, dari Batalyon 3 didikan dari Komandan Reza dan Jendral Domani," jawabku.

Lalu dia mengangguk, dan memegang seragam yang aku pakai. Tepatnya di lencana Bintang Jasa Utama kala itu masih terpasang di sana, lalu dia tersenyum sangat semringah.

"Kamu adalah lulusan terbaik di Batalyon 3, ya. Saya pernah dengar itu, ini lencana kau dapatkan dari kegiatan apa?"

"Siap, ini lencana ketika saya memimpin di perang sipil perbatasan kilometer 0 Marauke, Dan. Ketika itu, mereka memberikan penghargaan karena saya adalah prajurit terpilih dan termuda," jawabku.

Kemudian meraka tepuk tangan. Tak berapa lama seorang komandan pun naik dan membawa aku ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari fodium, di saat yang bersamaan Komandan Hansen sedang bincang-bincang pada prajurit lain dan memberikan hukuman. Tepat di ruangan yang sangat sedikit orang, aku masuk dari pintu utama seraya tertegun melihat banyaknya penghargaan di lemari.

Masih dalam posisi berdiri tegap, kali ini aku berjalan memutari globe dan beberapa peta di atas meja dan dinding. Para petinggi senior dan para jendral terpampang di sana. Ada satu gambar yang membuat aku tercengang, dia adalah Jendral Domani.

Ya, ternyata dia ada di kantor ini dan entah dari mana datangnya. Kemungkinan kalau dia pernah menjabat di sini sampai-sampai ada fotonya lengkap dengan semua lencana di seragamnya itu. Aku yang menarik napas, kemudian berkata dalam hati.

'Lelaki ini ada di mana-mana, siapa dia sebenarnya?' tanyaku.

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz