Chapter 98 Rumah Tanggaku

124 5 1
                                    

"Mas ... bangun, Mas ... udah pagi ...," ucap seseorang dari arah samping kanan.

Secara spontan, aku pun terbangun dan membuka mata. "Astaga ... ternyata aku hanya mimpi ...," jawabku sangat halus dan lembut.

"Kamu mimpi apa, sih, Mas, sampai-sampai teriak-teriak gitu?" tanya Naya—istriku yang sudah bangun.

"Gak ada, aku hanya mimpi hantu aja tadi. Ka-kamu udah bangun, cepat sekali kamu bangun pagi ini," kataku seraya memalingkan tatapan.

"I-iya, Mas, aku udah bangun dari tadi. Nih, udah aku siapkan kopi hangat buat kamu. Sebagai tanda cinta aku, karena sudah di temani suami semalaman tidur walau pun dia hanya di atas kursi aja," pungkasnya.

"Maaf, tadi malam kamu pingsan sayang, jadi aku jagain kamu dengan tidur di samping aja. Oh, kamu gimana kabarnya sekarang? Udah baik-baik aja atau masih ada yang sakit? Gimana lubangnya, sini Mas lihat ada yang lecet gak?" Secara bertubi-tubi, aku bertanya.

"Ih ... Mas, apaan sih buka-buka segala. Malu tau ...," katanya sambil menolak.

"Hmm ... kamu kenapa harus malu, sih, lagian tadi malam udah di unboxing. Jangan malu, deh, aku udah tahu bentuknya gimana. Lagian ... udah di masukim juga, masih mau di tutup-tutupin ...," omelku lagi.

"Dasar buaya, bisanya buat aku pingsan aja. Yuk, kita ngopi dulu. Entar dingin loh kopinya, ini udah dibuat dari tadi. Mas minum, biar aku yang beres seprei dan lain-lain," jawabnya seraya berdiri tegap.

Dengan sangat cepat, aku pun membangkitkan badan seraya menatap wajahnya yang sangat sayup itu. Dari wajahnya tampak jelas, kalau kedua bola matanya sedang bersinar terang. Kali ini aku memeluk, awalnya lembut dan kemudian berubah menjadi sangat erat. Ada perasaan yang tumbuh dalam diriku, takut kehilangan dan rasa kasihan.

Bagaimana pun juga, Naya akan mengandung benih dariku. Walau pun tidak dengan cinta, dia sudah membuat aku khawatir akan itu. Anak yang selalu aku impinan semoga saja akan terwujud, menjadi benih yang berkembang nantinya dan mampu membuat bangga aku sebagai generasi baru Reza Aprilio Domani.

Sang istri membalas pelukan itu, tanpa mengenakan pakaian yang sangat tertutup. Dia memberikan sentuhan sangat alami padaku—suaminya. Dalam setiap hela napasnya, mengeluarkan aroma yang sangat membuat diri ini hangat. Apalagi ketika dia berkata, karena aroma ini tak pernah aku dapatkan dari siapa pun.

Seraya melepaskan pelukan itu, aku pun menatap dari jarak dekat istriku dengan penuh kesabaran menunggu.

"Kau adalah bidadari surga buat aku, bimbinglah aku menjadi lelaki yang mencintai sampai masanya telah tiba. Jhon ... ini adalah janji yang pernah aku utarakan sama kamu dahulu, kan." Dengan menyibak rambut sang istri ke samping telinga kanan.

Mendengar ucapan itu, dia malah mengernyitkan alis. "Mas ... kamu menyebut aku dengan nama Jho? Atau Jhon tadi? Siapa dia, Mas?" tanyanya secara spontan.

'Astaga ... aku keceplosan lagi. Hanya wajah Jhon aja yang ada dalam isi kepalaku. Mampus ... gimana ini, aku udah mengatakan hal itu lagi sama Naya,' kataku dalam hati sambil salah tingkah.

Seraya menjeda ucapan sejenak, aku pun merangkai kata-kata untuk alasan. "Ma-maksud aku nanti kalau anak kita laki-laki, aku mau buat namanya Jhon, biar keren. Nah, itu ma-maksud aku, karena kekinian. Kamu suka enggak nama itu?" tanyaku beralasan.

"Hmm ... tapi nama itu tidak familiar dalam muslim. Tapi kalau Mas suka yang gak masalah, aku ikut aja apa yang suami berikan pada anak-anaknya," pungkasnya.

"Ummm ... kamu nurut banget sama aku, sini Mas peluk lagi." Kami pun kembali berpelukan sejenak mengalihkan topik pembicaraan.

'Sampai segininya aku cinta sama kamu, Jhon. Di malam pertamaku, selalu kau yang membayangi. Apa kabar kamu di luar sana, udah makan apa belum? Aku kangen banget sama kamu, Jhon ...,' ungkapku dalam hati.

Beberapa menit setelahnya, aku pun bergegas meninggalkan ruangan dan langsung menuju balkon. Sambil membawa kopi hangat, dan aromanya sangat indah. Ini adalah kopi pahit yang paling enak di pinggir danau dengan destinasi paling indah. Siang ini aku akan kembali pulang, kemudian malamnya kembali pergi berdinas.

Dalam waktu yang singkat ini, di harapkan istriku mampu membereskan koper yang telah dia bawa. Pakaian tak ada yang di pakai selain hanya satu pasang aja, padahal di dalam koper ada beberapa pasang. Dia gak pernah nurut dengan apa yang aku katakan, selalu saja membawa barang-barang tak penting di sana.

Wanita adalah makhluk paling repot di dunia, tidak bisa simple saja dan langsung berangkat. Dalam hal hal ini, aku menatap ke pinggir danau menikmati indahnya perbatasan. Penuh warna-warni indahnya sang fajar, di balut dengan burung-burung yang terbang ke sana dan ke mari.

Sambil meneguk kopi hangat, aku pun menikmati indahnya pagi hari ini di dunia yabg berbeda. Pernah aku temui indahnya pemandangan seperti ini, ketika masih sendiri dan tak ada sang istri. Namun, sekarang aku telah melepas masa lajang dan otomatis merubah kehidupan ini seratus persen dari biasanya.

Tak berapa lama, Naya pun datang dengan membawa langkahnya yang sangat manja, dia memegang segelas kopi dan duduk di samping kanan. Aku menoleh, tersenyum manis dan membuat dia meletakkan kepala di pundak ini. Rasa tak percaya telah aku lalui, bisa menikahi wanita dan hidup normal meskipun batin menolak.

"Lagi apa suamiku?" tanyanya.

"Hmm ... lagi lihat pemandangan di bawah, sangat indah dan sejuk di pandang mata," jawabku.

"Iya, ini adalah tempat paling indah seumur hidup, apalagi di temani oleh suami sah, jadi terasa berbeda," katanya lagi.

"Ah, yang benar. Tapi ... kamu lagi gak mood tadi tiba-tiba aja wajahnya manyun," ketusku.

"Habisnya, suami aku selalu saja buat masalah. Tadi malam Mas kenapa seperti kerasukan gitu? Udah di suruh berhenti malah gak mau. Kan, aku gak tahan banget," omelnya lagi.

"Emangnya rasanya gimana, sih, Sayang? Kok, kamu bisa sampai pingsan gitu?" tanyaku serius.

"Sakit, Mas ... kamu pasti merasakan nikmat, ya, karena kamu hanya goyang. Tapi aku yang kamu tusuk, rasanya ngilu sampai jantung."

"Ah, masa seperti itu. Lagian ... punya Mas gak terlalu ukurannya, kok," kataku membela diri.

"Itu perasaan Mas, tapi namanya benda tumpul masuk ke dalam yang sakit, Mas. Tapi gak apa-apa, itu tandanya suami aku perkasa. Setelah di bayangkan, ternyata suami aku tangguh banget sampai-sampai bisa membuat aku tak berdaya tadi malam."

"Iya, tapi aku yang kalang kabur cari dokter ke sana dan ke mari, naik lift turun lift mendatangi karyawan di bawah, menemui dokter tengah malam. Hmm ... takut istriku kenapa-kenapa, kan, gak lucu kalau pingsan gara-gara si Joni."

"Terus, Mas, apa yang Mas katakan sama mereka?"

"Ya, aku jujur ajalah kalau kamu pingsan karena baru aja main sama Mas. Tanggapan mereka malah tertawa, biarin aja daripada bohong entar tambah dosa," ketusku.

"Astaga ... lucu banget suami aku, jujur banget. Kalau ngomongi itu empat mata aja kali, Mas, he-he-he ...."

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang