Chapter 84 Sang Penakhluk

110 6 1
                                    

[Maaf, Dan, ini aku—Raka.]

[Loh, kenapa HP Jhon ada sama kamu, Rak? Kan, kemarin katanya dia dinas sudah boleh pegang ponsel tanpa ada larangan kecuali kalau berhadapan dengan komandan.]

[Hmm ... i-iya, sih, Dan. Ta-tapi ... tapi. Gimana ini, Jhon, Komandan Reza nanya-nanya sama aku?]

Terdengar samar kalau Raka sedang berbicara pada Jhon, aku pun mencoba untuk mendengarkan lebih jelas. Ini adalah pertama kali setelah beberapa bulan aku menelepon, akan tetapi sepertinya Jhon tidak mau berbicara padaku. Sadar diri dan tahu diri, kalau dia sudah berkata tidak akan berkata lagi padaku.

Sebenarnya rasa rindu itu masih ada, justru semakin merajalela. Namun, Jhon adalah anak yang keras jiwanya dari segi mana pun. Aku paham benar karakter yang dia punya, hampir sama dengan aku. Tapi, sejujurnya dia punya sikap yang sangat baik. Sudah berusaha sangat maksimal, tapi apalah daya tetap tidak membuahkan hasil yang maksimal.

[Oh, kalau begitu aku kirim salam aja sama dia, ya, bilang kalau komandan Reza rindu. Kalian jaga kesehatan di sana, jangan telat makan, dan satu lagi. Selalu berdoa agar senantiasa dalam lindungan Tuhan, amin ....]

[Dan, apakah kau merindukan Jhon? Kenapa sampai segitunya memberikan sebuah nasihat padanya. Ak-aku ... aku merasa bersalah sudah menahan kalian akan berkata. Ini, ponselnya akan aku berikan padanya saja.]

[Udah gak usah, kalau dia gak mau berkata. Lagian, percuma aja kan kalau udah gak di anggap apalah daya. Aku sudah tahu semua cerita tentang kalian, privasi kalian dan aku tahu kalau kau sudah punya ikatan yang sama seperti kami, tapi dengan Bambang.]

[Dan, aku mohon jangan buka tentang cerita ini pada siapa pun. Karena apa, aku gak mau ada yang tahu kalau akhirnya kita ini adalah g4y. Please, aku hanya tidak bisa menerima kenyataan sebagai—]

[Ya, tanpa kau beritahu, aku sudah tahu apa yang harusnya aku lakukan. Kau tenang saja, kita sudah sama-sama paham. Lagian ... aku tidak sejahat itu. Bilang sama Jhon kalau aku ....]

Tiba-tiba, air mataku menetes dan dengan kepiluan teramat dalam. Mulut enggan berkata. Ini adalah pengungkapan paling tulus dari sebuah perasaan. Bagaimana tidak, setelah sekian lama aku menunggu kabar, sekalinya mendapatkan jawaban dari telepon malah di alihkan pada orang lain.

Sakit, sih, karena aku tak pernah mengalami dunia percintaan demikian. Setelah berjuang menerima kedua manusia yang berbeda aliran jenis, aku akan mencintai keduanya. Namun. Ada di salah satunya yang memutuskan untuk pergi. Kini aku harus menerima, walau rasanya tidak dapat terbayangkan.

Andai saja waktu bisa di putar kembali, aku tak ingin bertemu dengan Jhon waktu itu. Memulai kisah yang salah, dan ini adalah pertanda kehancuran akan semakin mendekati. Dalam posisi terdiam, aku menghentikan ucap dalam ponsel. Tangan kanan memegang kening, dan isak tangis itu pun ke luar dari mulut ini sangat perlahan.

[Dan, apakah kamu menangis? Komandan ... maaf, jangan turunkan kami ke kecamatan, ya, kami udah berada di posisi ini adalah pencapaian yang menurutku sangat baik. Semua berkat kamu, Dan, kau adalah orang di balik suksesnya karir kami.]

[Jangan naif kamu, Raka! Biarin ajalah kalau dia mau nurunkan kita ke kecamatan. Kenapa emangnya, kalau kita di kecamatan emang rendah? Peduli banget kamu sama karir, kan, tidak segampang itu!]

Terdengar lagi ucapan yang sangat membuat aku terpukul, dari nada suaranya itu adalah Jhon. Dia tidak takut kalau aku mengambil keputusan untuk menurunkannya ke tingkat bawah, tapi aku juga tak segampang itu melakukannya. Hanya orang berhati kotor yang bisa membuat mereka turun dari Kostrad.

Sudah sejauh ini aku berjuang agar mereka sukses semua, bisa bertemu dan bersaing pada senior-senior kelas atas. Namun, aku tak percaya kalau mendengar suara Jhon adalah hal paling sulit aku dapatkan. Ini merupakan dari kesedihan yang tak bisa aku lupakan.

[Raka, selamat istirahat kalau begitu. Sebentar lagi kalian selesai tugas, kan, semoga saja kalian selalu di berikan kesehatan.]

[Terima kasih, Da—]

Belum pun selesai berkata, aku mematikan ponsel dan meletakkan di atas meja. Kali ini, di ruang sendiri yang sangat sunyi. Aku tak mampu duduk tegak dan hanya bertemankan kopi hangat saja di depan mata. Perlahan kepala pun turun, dan akhirnya menutup isi dunia. Kalau saja aku harus kalah, ya, malam ini aku sidah kalah.

Mencoba mencintai orang yang benar-benar susah untuk di taklukkan. Tak berapa lama, ponselku kembali berdering. Lamat-lamat, aku membuka mata lagi dan menyibak air mata yang mulai menetes perlahan itu. Emosi yang datang mulai meredah, lalu aku melihat Antonio menghubungi melalui video call.

Ini adalah pertama kali sepanjang sejarah, Antonio menelepon aku. Dia adalah anak yang baik, akan tetapi kurang cocok bertaman denganku. Seraya memandang, aku pun maju mundur hendak mengangkat telepon darinya. Yang ada hanyalah sebuah tarik ulur bagai layangan, dan ingin mengangkat akan tetapi hati menolak.

Karena aku adalah seorang atasan, apa salahnya mengangkat telepon dari seorang prajurit yang pernah aku titipkan seseorang padanya.

[Hallo ... salam hormat, komandan!]

[Ya, izin diterima. Kenapa menelepon malam-malam, Antonio?] tanyaku seraya menghapus air mata.

[Dan, kamu kenapa? Kok, sepertinya habis menangis itu?] tanyanya sangat kepo.

[Ah, eng-enggak, biasalah malasah rumah tangga.] Kali ini aku berbohong padanya.

[Apakah malam ini Nio mengganggu, Dan?] tanyanya lagi.

[Enggak, kok, kamu mau ngomong apa emangnya?] kataku lagi.

[Gimana kabarnya, Dan. Lama kita gak bertemu, aku rindu dengan suara Komandan. Ingat waktu dulu di Batalyon 3, di pimpin oleh komandan yang sangat baik hati dan tidak pernah marah.]

[Ah, kamu terlalu memuji. Aku gak begitu, kadang ada marahnya juga kalau kalian bandel. He-he-he ... oh, ya, di mana dinas sekarang? Kok, seperti manjat pohon?]

[Ini, Dan, aku lagi manjat pohon rambutan. Susah signal, sekarang lagi dinas di Kalimantan, Dan!]

[Loh, kenapa kamu bisa ke sana. Kan, mandat kemarin mengatakan kalau kamu sama Jhon hampir dekat lokasi dinasnya.]

Terlihat Antonio menggaruk kepala. [Aku meminta Jendral buat misahin kami, Dan. Aku dinas jauh di sini, gak ada siapa pun yang kenal. Eh, ada Bambang. Selebihnya gak kenal, gimana sama karirnya, Dan?]

[Sekarang udah gak mikirin karir, Nio. Kalian yang harusnya mikirin karir. Ternyata setelah menikah, gak ada lagi ambisi untuk mencapai sebuah jabatan. Mengalir saja, tapi kamu masih ada hubungan sahabat dengan Jhon?]

[Masih, Dan, tapi terhalang signal. Yang penting Komandan sehat selalu, ya, terima kasih udah membuat kami sangat paham dunia militer sejauh ini. Aku adalah newbie yang tak pernah minta maaf walau pun salah, malam ini aku meminta maaf kalau ada kesalahan baik ucapan dan perbuatan, Dan!]

[Ah, kalian semua udah aku maafkan. Gak ada satu manusia pun yang gak punya salah. Baik-baik tugas di negeri orang. Aku gak bisa lagi menjaga kalian, kita udah jauh sekarang. Jangan kasar-kasar, kalian adalah pengayom masyarakat setempat dan NKRI. Semoga kalian bisa duduk menjadi pemimpin terkuat di negara kita kelak.]

Tak berapa lama, Antonio diam dan dia menyibak matanya dengan seragam yang saat ini dia pakai.

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Onde histórias criam vida. Descubra agora