Chapter 87 Jadi Topeng Kegagahan

146 8 0
                                    

"Ya, udah, Mas kalau gitu aku tunggu di bawah aja deh, lagian si Mas belum pakai celana juga," jawab Naya—istriku.

"Hmm ... buru, aku mau pakai baju dulu!" sergahku sambil menoleh ke samping.

Lirikan yang teramat parah itu membuat Naya langsung ke luar dari dalam kamar. Yang tadinya pintu terbuka lebar, sekarang tertutup sangat rapat. Namun, yang namanya sudah resmi menjadi suami dan istri, harusnya tidak masalah lagi kalau melihat masing-masing dari pasangan.

Hanya saja, aku merasa aneh dan kurang percaya diri kalau harus memerlihatkan bebda yang selama ini di tutup  harus terlihat dengan sangat tegap. Bentuk si Joni yang ada di dalam celana berukuran XL itu sangatlah kekar. Sama halnya dengan badanku yang penuh dengan urat. Kalau pria sejati seperti ini, adalah hal yang wajar.

Namun, aku belum pernah mencobanya pada siapa pun. Selain pada Jhon saja, karena selama hidupku sangat jauh dari kegiatan atau lingkungan yang merusak moral dan pikiran sejak dini. Pada masa remaja, aku menghabiskan waktu tanpa pegang ponsel dan hanya latihan fisik agar lulus angkatan.

Sejak ambisi kedua orang tuaku menjadikan aku sebagai anggota TNI, mereka pun tidak pernah memberikan peluang agar aku bergaul banyak teman di luar. Sehingga teranjak sampai saat ini, tak punya banyak teman yang berada di lain-lain pemikiran. Akan tetapi, sejak di nyatakan lulus angkatan, aku menjadi orang yang terkenal dan populer di kalangan angkatan.

Wajar saja, kalau para prajurit sangat kagum padaku mulai dari yang wanita, sampai lelaki. Mereka menganggap aku adalah pria yang humble, dapat menerima siapa pun dan mudah bergaul. Selang beberapa menit menyisir rambut, kemudian aku berjalan ke luar kamar dan menapak sangat santai.

Pandangan sejurus ke depan, badan sudah aku semprotkan minyak wangi yang baru saja di beli beberapa hari lalu pada kesempatan jalan-jalan ke sebuah mall di kota Medan. Dengan menuruni anak tangga lantai dua, aku pun tiba di meja makan ruang tengah rumah ini. Terlihat kalau Naya sedang berada di sana mempersiapkan makanan lagi, begitu banyak menu hari ini.

Setibanya aku di meja makan, sang istri pun berjalan mendekat dan mencium aroma tubuhku yang sudah sangat wangi ini. Tak biasanya dia begitu, karena kalau bertemu paling hanya sekadar mendekat saja lalu pergi. Sekarang berbeda jauh, lalu aku pun menatapnya sangat serius.

"Kamu kenapa begitu? Dari tadi senyam-senyum terus," pekikku sangat monoton, dan wajah ini berubah menjadi aneh.

"Wangi, Mas, kamu wangi banget. Aku betah kalau punya suami seperti kamu," pujinya sangat polos.

"Banyak banyak gombalan pagi ini, kamu gak tahu aja kalau aku pulang dinas baunya seperti apa. Nih, seperti sambal terasi kamulah," pungkasku lagi, dengan nada suara meledek.

"He-he-he ... biar kamu bau terasi, tapi tetap gagah kok Mas, aku suka sama laki-laki yang gagah seperti kamu. Nanti, anak kita pasti seperti ayahnya yang macho banget," kata Naya lagi.

"Oh, jelas. Kalau anak kita laki-laki, harus macho gak mau aku punya anak kemayu. Apalagi zaman sekarang, banyak banget laki-laki yang sangat lemas, tuh, seperti Praka—sepupu kamu itu!" Kali ini, aku membandingkan.

"Mas ... dia itu sebenarnya ganteng, sih."

"Bukan sebenarnya ganteng, dia itu memang ganteng tapi kemayu. Tuh, kebanyakan pergaulan sama orang-orang yang jogetan mulu. Aku gak mau kalau anak kita bergaul sama yang seperti itu nanti," kataku lagi sedikit ngegas.

"Iya-iya ... sekarang makan dulu, biar aku ambilkan nasinya suami, ya!" serunya.

Seraya mendudukkan badan di atas kursi, aku menatap wanita yang sampai saat ini mampu membuat aku sangat biasa saja. Dia adalah istriku, walau pun sering mendapatkan refleksi mental lewat ucapan yang begitu kasar, akan tetapi dia mengikut saja dengan kata-kata itu.

Perasaan wanita yang satu ini sangat tangguh, tidak lemah meskipun badannya sangat terlihat lemah. Aku pun merasakan ada cinya yang dia miliki sangat besar, sampai-sampai membuat aku merasa sangat betah bersama dengannya. Namun, ini hanya sementara karena kami akan berpisah pindah tugas.

Naya tidak di perbolehkan mengikut aku bertugas. Karena ayah dan ibunya masih membutuhkan Naya untuk menjadi ustazah di salah satu pesantren milik ayahnya di Kota Medan. Sehingga, dia tetap berada di sini dan aku saja yang ke luar pulau bertugas demi negara.

Kesepatakan itu sudah kami putuskan bersama-sama, dan tidak ada yang namanya kecemburuan atau apa pun. Kepergianku kali ini mendapatkan restu, terutama dari istri dan orang tua. Mereka sudah mempercayakan apa pun padaku, agar menjaga perasaan dari pasangan. Kalau untuk selingkuh pada perempuan, tidak mungkin terjadi.

Akan tetapi, kemungkinan akan selingkuh pada sesama jenis—dia adalah Jhon. Kalau melihat orang lain aku tidak begitu suka, karena tidak tahu mereka masih original atau bukan.

Selang beberapa menit, aku mengunyah nasi dan makanan berdua dengan Naya. Lalu, dia menoleh kembali dan memerhatikan aku yang sedari tadi makan. Karena merasa di perhatikan, lalu aku pun membalas tatapan darinya.

"Kamu kenapa?" tanyaku sangat lembut.

"Mas, aku mau di—"

"Mau di suapin?" tanyaku lagi, kali ini dengan menawarkan sesuatu yang lain.

Tanpa menjawab, Naya pun mengangguk ringan. Lalu, aku memberikan nasi di suapan yang pertama. Terlihat sangat jelas kalau Naya merasa bahagia, dan dia pun menitihkan air mata. Ternyata mudah membuat pasangan untuk merasa jatuh cinta pada kita, tak sesusah yang aku bayangkan sebelumnya.

"Kenapa nangis, sih, Sayang?" tanyaku sambil meletakkan kepala Naya di dada ini.

"Ak-aku ... aku terharu, Mas. Ternyata selama ini kamu cuek sama aku, dan bersikap keras sama aku, bisa menerima semua yang aku inginkan. Selama ini pikiran aku salah tentang kamu, Mas!" pekiknya sangat membuat aku merasa senang.

"Iya udah ... yang penting kamu udah tahu apa yang aku mau, dan kamu juga udah membuat aku mengerti akan arti dari pernikahan ini. Intinya, jangan pernah suuzon sama suami kalau dia ada salah dari sikap, maafkan saja."

"I-iya, Mas, aku akan memaafkan semua yang pernah Mas lalukan dulu. Sekarang berbeda, kalau kamu adalah lelaki yang pantas mengantarkan aku sampai ke jannah."

Seraya tarik napas, aku pun mulai berkata dengan batin yang hampir saja menolak pernyataan itu barusan. Namun, aku tidak dapat berkata apa-apa selain hanya diam dan mendengarkan curhatan Naya yang sangat panjang.

Sarapan pagi ini sangat berbeda, di temani dengan kopi hangat yang sempat membangkitkan inspirasiku dalam berkata-kata.

'Maaf, ya, Naya ... kalau aku belum bisa menjadi suami seperti apa yang kau inginkan. Karena aku melakukan ini hanya ingin kau bahagia saja, kalau boleh jujur suami kamu ini masih mencintai sesama jenisnya. Pernikahan kita hanya sekadar pelengkap saja, bahwa hatiku belum mampu memiliki kamu seutuhnya. Maafkan aku, Naya,' kataku dalam hati sambil tarik napas.

Entah kenapa, setiap kali aku mengelus rambut istriku, si Joni tidak bisa bangkit dan hanya diam di dalam celana.

Apa yang salah pada si Joni?
Kenapa dia hanya diam, tanpa respons?
Apakah karena aku tidak nafsu pada wanita?

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang