Chapter 67 Pesan Terakhir

185 11 2
                                    

"Udah selesai, sekarang saatnya turun dan sarapan. Sudah sangat rapi, ganteng banget calon pacar aku," ucap Nio secara tiba-tiba.

Mendengar ucapan itu, aku menoleh ke belakang. Entah kenapa, ketika dia mengatakan cinta dan sayang itu adalah hal yang lumrah setiap harinya. Namun, jantungku tak terdetak karena sudah di dengar setiap saat. Kali ini berbeda, ada getaran tersendiri di saat dia berkata dengan ungkapan seperti itu:

"Nio," panggilku singkat.

"I-iya, ada apa?" tanyanya seraya memfokuskan mata menatap wajah ini.

"Love you to," lanjutku.

Akhirnya aku berani membalas ucapan yang setelah sekian lama di katakan berulang-ulang secara spontan. Mendengar ucapan itu, Antonio pun salah tingkah dan langsung menyibak kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Tampak dari wajahnya kalau Nio adalah lelaki penyayang, dia tidak mau merusak aku apalagi menyakiti.

Di mulai dari persahabatan, semakin dekat dan akrab berubah menjadi saling penyemangat satu sama lain. Aku baru sadar kalau selama ini yang pantas menjadi seorang pendamping atau kekasih hidup adalah Nio, bukan yang lainnya. Mataku telah di butakan karena egoisme dan nafsu semata.

Bahwa ada yang berjuang mati-matian demi mendapatkan diri ini. Memulai dengan menyampingkan semua egoisme hanya karena menerima kenyataan adalah hal yang sudah menjadi keputusan. Aku pun salah tingkah, begitu juga Nio yang juga salah tingkah. Dengan mengembuskan napas panjang, kali ini Nio melepas cengkeraman di baret hijauku.

Loreng dan hijau adalah warna kesukaan kami berdua, tidak ada yang lain. Dengan sangat lambat, aku mengambil tangan kiri Antonio. Walau pun dia non-muslim, akan tetapi aku nyaman berada dekat dengan dia. Dengan meletakkan punggung tangannya di hidung ini, aku pun mencium.

"Nio, aku sayang sama kamu," kataku sangat mendayu.

"Hmm ... kenapa kau katakan ini setelah aku menandatangani surat dinas pindah tugas, kalau sebelum itu mungkin akan baik-baik saja dan kita tetap bersama," katanya.

"Itu adalah ujian, dan kita harus siap menemuinya sampai garis akhir. Maka, nilai dari perjuangan akan segera di dapatkan," jawabku.

"Aku udah sejauh ini ujian, bersama sama kamu. Tapi belum juga menerima raport, malah semakin hari semakin banyak saja ujian itu," pungkas Antonio Kristianto.

"Yang namanya cobaan itu banyak, Sayang. Kalau sedikit namanya cobain," ungkapku dengan sangat tulus.

Mendengar ungkapan itu, Nio pun meletakkan kedua tangannya di leherku dan dia pun langsung mendekatkan wajahnya tepat di pipi kanan ini. Ciuman pertama mendarat di pipiku, kemudian dia menatap cermin.

"Udah cocok belum, ya, jadi pendamping kamu?" tanyanya sangat pelan.

"Udah, kok, kamu udah pantas menjadi pendamping aku. Hanya saja, satu saja yang belum. Kamu harus login, biar bisa langsung jadi imam buat aku," jawab diri ini.

"Oh, mesti login dulu, ya, biar bisa membua gemboknya. Okelah ... pulang dari tugas yang ini, tuntun aku ke jalan menuju login. Biar kita bisa satu iman," katanya.

"Ta-tapi, kalau kamu sudah paham agama aku pasti akan berhenti menjadi penyuka sesama. Karena islam melarang hubungan seperti ini," lanjutku.

"Ya ... ke depannya gak tahu, semoga aja kita sama-sama bisa berubah. Kan, gak selamanya seperti ini. Kalau pun selamanya, mungkin kita bukan pengkhianat dalam urusan kematian tetapi konsekwensi berat sudah harus kita temui nanti," pungkasnya.

Tanpa rasa ragu aku pun menarik kedua tangan Nio yang sekarang tengah memeluk. Ciuman di pipinya pun aku layangkan, Antonio menutup matanya dan menikmati indahnya kasih sayang.

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang