Chapter 62 Pertengkaran Tanpa Ujung

127 8 0
                                    

Dalam diam hati hanya bisa menatap seisi ruangan, satu persatu orang-orang akan segera pergi ternasuk diri ini. Meratap betapa pendikte perihal sebuah keputusan itu selalu saja membuat aku harus bercampur aduk pada alam, bahwa ini mengacu pada sebuah kenyataan dan sebisa mungkin akan dirterima.

Setelah berdebat panjang dengan banyak kepiluan, sang waktu pun akhirnya menunjukkan pukul 22. 00 WIB. Dan Antonio juga telah beranjak dari depan lemari seraya duduk di atas dipan, memainkan ponselnya dengan tenang. Tak berapa lama ketukan pintu terdengar lagi dari luar, aku menatap.

Tok-tok-tok!

Dengan gerak cepat Antonio mendatangi sumber suara dan dia pun segera membuka pintu itu. Terbukanya pintu kamar, memerlihatkan seseorang tengah berdiri sangat tegap. Dia adalah Komandan Reza, yang ternyata belum pulang sampai detik ini. Lalu aku membuang tatapan menuju samping, tidak mau melihat dia.

Sebuah percakapan di antara keduanga pun terjadi, sampai Antonio sangat mengeraskan suara beberapa kali. Ini adalah pembahasan tentang militer, kalau perihal membentak dan di bentak sudah bisa bagi kami. Tidak ada kecanggungan lagi, akan tetapi yang terjadi saat ini sedikit berbeda.

Tak berapa lama komandan Reza memasuki ruang kamar, dia pun menutup pintu itu dan menatap ke samping kanan serta kiri. Kebetulan aku tak ada di sana, kini lebih santai duduk di atas balkon lantai dua. Awalnya aku mengira kalau ada tugas yang akan diberikan oleh Komandan Reza perihal sebuab perintah.

Karena di lain tempat sudah pasti memiliki peraturan yang berbeda. Aku yang sekarang bertugag di kodim kesatuan, harus paham jenjang yang lebih tinggil di banding kantor dinas di mana Nio berada. Tak berapa lama diri ini pun menarik napas panjang, meneguk air mineral di samping kanan.

Udara di kota Medan sangat sejuk, membuat aku betah berada di sini. Yang terlihat dari bayangan kalau nereka tengah berdebat dengan saling tunjuk wajah satu sama lain. Bagiku sudah biasa, karena Komandan Reza dan Antonio sering seperti itu kalau berbicara.

Bahkan dengan aku sendiri, hal ini pun sering terjadi. Tak berapa lama aku menatap, ada yang lain di antara keduanya. Komandan Reza malah mencengkeram kerah baju Antonio, dia membawanya ke sebuah tembok dan langsung menatap serius.

Sontak aku tercengang dan langsung bangkit, menjatuhkan botol minuman air mineral di samping dan berlari membuka pintu balkon yang tebuat dari kaca transparan.

Brug!

Sebuah pukulan telah diberikan oleh komandan Reza malam ini, entah apa pembahasannya. Dengan mata tercengang, aku melerai dengan berteriak.

"Hentikan!" kataku sembari berjalan menuju ke arah mereka.

Melihat aku ada di dalam ruangan ini, komandan Reza pun salah tingkah dan dia melepas cengkeraman tangan itu. Entah apa pasalnya kedua manusia ini bisa sampai adu kekuatan, tanpa memahami situasi dan kodisi yang terjadi antara aku dan Jendral tadi pagi.

Dengan mendekati keduanya, aku melihat Antonio dan memegang bibirnya yang telah mengeluarkan darah segar. Secara spontan, aku memutar pandangan ke arah wajah Komandan Reza, dia pun tampak salah tingkah dan diam di posisinya.

"Apa yang kau lakukan, Dan!" kataku memekik.

"Ma-maaf, Jhon. Ak-aku ... aku khilaf, gak tahu kalau di dalam sini ada—"

"Kalau di dalam sini ada aku? Kalau pun aku gak ada, apakah kau akan menghajar Antonio. Apa yang terjadi di antara kalian. Dari tadi aku perhatikan, dari awal masuk biasa saja sampai berdebat panjang. Sebenarnya apa yang kalian bicarakan, apa yang kalian bahas?" tanyaku bertubi-tubi.

Antonio enggan berkata, dia hanya fokus pada lukanya yang ada di bibir. Namun, sekarang Komandan Reza tampak lebih kalem dari awal datang ke kamar ini. Yang bisa aku lakukan hanyalah diam, selain memerhatikan orang yang pernah ada dalam diriku.

Keduanya punya ambil andil yang sama. Lalu, aku mendekat ke badan komandan Reza, berjalan menemuinya dan langkah kakinya secara muncur pun di lakunan.

"Kenapa, Dan, tadi berani mengahadi Nio. Kalau kau berani, hadapi aku. Kan, yang merasa jagoan di sini kamu, dengan berjuta pangkat serta jabatan. Apa yang kau lakukan sama Nio?" pungkasku dengan bada suara pongah.

"J-Jhon ... aku bisa jelaskan ini semua. Gak seperti apa yang kamu lihat, kamu udah salah dalam menafsirkan semuanya," titahnya terbata-bata.

"Oh, mentang-mentang udah dapat jabatan baru dan naik pangkat sekarang kesombongan kamu bertambah, ya? Dengar, ya, sampai kapan pun aku gak mau balikan sama kamh kalau begini sikap kamu, Dan. Aku udah gak mau lagi terlibat skandal dari semua skema yang kau kendalikan, bersama orang-orangmu!" pungkasku.

"Jhon ... kau salah paham, aku gak mau kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu, pasti Antonio yang sudah membuka semua rencana aku, kan. Kalau bukan dia siapa lagi, pasti kau tahu semua tentang Calvin dan rencana kami ini karena anak ini." Komandan Reza menunjuk wajah Nio.

"Salah! Kau salah dalam menilai Antonio. Dia adalah korban di sini, jangan menjadi playing victim seolah-olah kamu yang bersalah. Sekarang aku tanya, kenapa kamu memukul wajah Nio, Dan?" tanyaku sangat lembut.

"Ak-aku ... aku —"

"Jawab!" teriakku. Namun, Komandan Reza hanya diam dan dia langsung memeluk aku di hadapan Antonio. Tak berapa lama, aku melepas pelukan itu dan langsung menyingkir.

Untuk menghadapi manusia seperti keduanya tidak perlu dengan kekerasan, tapi sentuhan hati akan aku berikan karena mereka sebenarnya luluh dengan ucapan yang sangat lembut.

Seketika aku duduk di atas dipan, memerhatikan Antonio yang dari tadi hanya diam. Kemudian Komandan Reza sudah mulai meredah amarahnya, dan ini adalah ungkapan yang harus aku jelaskan malam ini juga.

"Kalian berdua, tolong jangan pernah kejar aku lagi mulai detik ini. Aku tahu, dari semua ambisi kalian untuk berlomba mendapatkan aku terlalu hebat, bahkan sampai melebihi batas dengan adu kekuatan. Beberapa kali skandal telah kalian lakukan, senua untuk apa?" tanyaku.

Tanpa ada jawaban, kemudian aku mengehentikan ucapan.

Kemudian, "Antonio sudah memutuskan untuk menjauh dengan aku dan dia memilih berdinas di luar pulau, dengan mempertaruhkan lencana Bintang Utama demi itu. Aku paham, agar apa yang kau inginkan tersalur," lanjutku.

"Ja-jadi ... jadi kau membiarkan lencana itu hilang, Nio. Sia-sia aku sudah mempertaruhkan semuanya dari awal. Kalian adalah prajurit yang bodoh, aku tidak menyangka kalau kalian sangat gegabah seperti itu."

"Tidak ada yang gegabah di sini, Dan. Kami adalah kesatuan yang bukan gila jabatan. Ya, aku paham kalau kau kecewa, bahkan aku kecewa. Karena apa, otomatis Nio enggan berada di sampingku lagi, its oke. Mulai saat ini jangan pernah salahkan kalau aku bertindak sesuka hati, karena kalian yang memulai."

"Jhon ... aku menyesal udah mengambil keputusan itu, tapi gak ada guna, kan. Semuanya gak membuat Jendral mengembalikkan keadaan, kecuali kau yang meminta," ujar Nio.

"Aku gak akan meminta apa pun dari Komandan, karena kami lagi ada masalah serius. Dan, kamu ngapain masuk ke sini?" tanyaku.

"Jendral panggil kamu di lantai tiga, ada yang mau beliau katakan," jawab komandan Reza.

"Perihal apa, Dan?" tanyaku.

Akan tetapi Komandan Reza diam, dia tak berkata lagi.

"Perihal apa!" teriakku lebih keras.

"Lihat sendiri, aku tidak tahu. Jhon ... tolong rendahkan ucapanmu, aku ini Komandamu. Atasamu," ujar Komandan.

Seketika aku berdiri dan berjalan menemuinya, tepat di hadapannya kami saling menatap sejurus. "Kenapa, ada yang salah. Apakah selama ini kau melatih aku seperti bajing4n ketika berkata, ini adalah didikanmu, Dan!"

"Tapi kau salah konsep, Jhon. Aku bukan adikmu, tapi atasanmu," katanya lagi.

"Oh, atasan," kataku seraya tepuk tangan. "Kalau gitu, aku pengen merasakan pukulan seorang atasan seperti apa," lanjutku.

Bersambung ...

Seleksi Calon Bintara (SEASON II)Where stories live. Discover now