Bab 7

2.2K 206 11
                                    

Setelah hampir telambat, hampir disiksa preman, dan berakhir di traktir ice coffee kurasa hari ini tidak terlalu buruk. Setidaknya tidak seburuk kemarin, tetapi ternyata pekerjaan hari ini belum selesai sampai di sini. Harapanku adalah setelah makan siang, aku hanya perlu mengikuti Steven sebentar dan langsung kembali ke kost. Tetapi ternyata sebuah dering telepon menghancur leburkan semua impian dan harapanku. Coba tebak! Siapakah yang menghancurkan impianku di balik sambungan telepon itu? Satu...dua....tepat! Madam Devil.

"Hallo, Siang Bu, " kata Steven ketika mengangkat teleponnya. Aku tidak mau menguping pembicaraan mereka walaupun aku sedikit merasa penasaran. Eh, ini harus kukoreksi, sesungguhnya aku merasa sangat penasaran. Tetapi aku tidak menguping, aku tahu etika. Bagaimana mungkin bocah anak baru sepertiku berusaha menguping pembicaraan boss-boss besar? Tidak sopan bukan? Ya kan? Ah..., ga juga sih, sesungguhnya aku kecewa karena aku tidak bisa menguping walaupun aku sangat ingin melakukannya. Jika kedua bossmu adalah orang-orang nyentrik dengan perspektif unik, tentu saja kamu ingin mendapatkan informasi untuk menentukan apa langkah kedepan. But nope, i don't get it.

"Hei, anak baru, ayo pergi!" ajak Steven setelah mengakhiri teleponnya.

"Kita mau ke mana?" tanyaku penasaran.

"Suatu tempat! Ayo!" jawab Steven yang sebenarnya tidak menjawab pertanyaanku. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya karena ini masih jam kerja. Aku tidak tahu apakah jantung ini cukup kuat bekerja dengan orang yang misterius seperti Steven. Sepertinya kejutan-kejutan gila seperti tadi pagi akan sering terjadi. Yang kuharap, ia tidak terlalu jahat untuk menjebloskanku ke jebakan serigala lagi.

Aku mengikutinya sampai ke tempat parkir dan kembali masuk ke dalam mobilnya.

"Masuk!" peritahnya setelah membuka pintu mobil.

Asal kalian tahu, jika aku perempuan matre, aku akan senang sekali naik mobil miliknya. Mobil yang sangat mewah untuk gaji seorang arsitek. Tunggu, jika aku bertanya berapa gajinya, apakah itu terlalu...kalian tahu...terlalu personal? Aku tidak ingin dekat-dekat dengan Steven, tapi aku penasaran, apa jika aku berkarir dalam bidang ini, aku bisa membeli mobil sekeren mobilnya.

"Ini mobil kantor," kata Steven yang tiba-tiba seperti mengerti isi pikiranku. "Aku tidak mengeluarkan seperakpun untuk mendapatkannya, dan selama aku kerja untuk Anna Gunadi, aku bisa menggunakannya untuk beraktifitas. Jadi, jangan pikir macam-macam."

"Aku tidak berpikir macam-macam!" sahutku tidak terima sambil masuk ke dalam mobil.

"Ya baguslah, jadi aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut," katanya sambil mengendarai mobilnya dan kami segera pergi.

"Ngomong-ngomong, kamu suka style apa?" tanya Steven.

"Yang keren, eh, maksud bapak style apa?"

"Style arsitektur, kamu pikir style apa?"

"Maaf, pak. Nggggg, style apa ya? " Aku harus berpikir lebih lanjut. "Style apa ya? Sepertinya aku suka tropis. Tropis minimalis, tropis modern, apapun yang penting tropis dan green," jawabku.

"Tropis? Kenapa?"

"Karena kita tinggal dan bekerja di Indonesia. Bukankah arsitektur selalu mengikuti iklim dan kebudayaan setempat? Kadang, aku sedikit kesal jika melihat orang membangun dengan gaya yang tidak sesuai dengan iklim dan budaya setempat dan mereka berbangga diri, merasa selera mereka luar biasa. Rumahku bergaya klasik eropa, lengkap dengan patung dewa zeus di pillar depan rumah, dengn colom-colom corintian yang menjulang ke surga, oh, bullshit," kataku sambil menutup mulutku. Aku tidak sengaja berkata kasar di depan atasanku. Aku bahkan tidak bisa mentolelir diriku sendiri yang mengatakan sesuatu di depan Steven seperti aku berbincang dengan teman-temanku sendiri.

Ms. Newbie, Mr. Boss, & Mdm. DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang