Bab 46

1.2K 102 25
                                    

"Bruuummmmm...."

*hening*

"Bruuuuuumm...."

"Bruuummmmm...."

*hening*

"Bruuuuuumm...."

Baiklah, kesabaranku habis. "Steven!" panggilku kesal. Pria itu segera melirik padaku, menatapku seperti melihat debu di atas meja, antara ada dan tiada. Tanpa berlama-lama, lalu kembali memusatkan pandangnnya ke jalanan. Aku tahu, dia memang sedang berkonsentrasi menyetir mobil, tetapi tidak seharusnya ia hanya melirikku seperti itu.

"Apa?" tanyanya sambil memperhatikan jalan.

"Sekarang sudah pukul 12 siang. Kita masih ada di kilometer 27, yang berarti harus menempuh jalan 100 kilometer lagi untuk sampai gerbang masuk Jakarta. Menurut ilmu fisika, V = S / T. Kecepatan sama dengan jarak di bagi waktu bukan? Dan, kalau kecepatan mobil kamu hanya 60 km/jam, maka kita butuh 1 jam 42 menit lagi untuk sampai. Anggap saja 2 jam. Kita akan sampai kira-kira jam 2 siang, di tambah lagi jarak masuk ke dalam kota, belum lagi kalau ditambah dengan macet di beberpa pintu tol. Kita bisa sampai jakarta jam 5 sore," kataku protes.

"Wow, aku baru tahu kalau ternyata kamu juga bakat jadi guru fisika," kata Steven menggodaku. "Penjelasanmu luar biasa...rumit."

"Steven, ini ga lucu. Cepet sedikit kenapa? Mobil kamu bukan mobil murah, pasti tidak masalah kalau hanya melaju di kecepatan 80 km/ jam, atau mungkin 100 km/ jam, bahkan lebih. Asal kamu tahu, kita sudah disiap oleh puluhan mobil karena mobil kamu jalan seperti kura-kura."

"Ga ada kura-kura yang jalannya 60 km/ jam. Ckckck, ternyata orang yang nilai fisikanya bagus, belum tentu nilai biologinya juga ok," jawab Steven sambil terkekeh.

Aku menyilangkan tangan dan mengunci mulutku rapat-rapat. Aku tidak mengerti jalan pikiran pria di sebelahku ini. Bagaimana mungkin, dia membawaku ke Bandung hanya dengan waktu 2 jam setengah, kini ia mengendarai mobilnya pulang ke Jakarta dengan kecepatan minimum jalan tol. Betul, sekali kecepatan minimum, 60 km/jam. Apa selama aku ketiduran kemarin Steven mengemudi selambat ini? Tidak mungkin kan? Lalu kenapa sekarang kakinya seperti enggan menekan tombol gas?

"Memang kenapa sih? Harus buru-buru banget?" tanyanya kembali.

"Kerjaanku, Steven. Kumohon, aku masih harus kejar deadline."

"Ya sudah, kerjakan saja sekarang di mobil, memang ga bisa?"

"Bisa, ini juga lagi kerja, tapi baterai laptopku tinggal setengah, sebentar lagi habis."

"Oh, kalau begitu nanti kita mampir di kilometer 97 ya, Kamu bisa nge-charge sekaligus beli kopi. Atau mau makan juga boleh? Aku yang traktir," jawab Steven sambil tersenyum.

Aaarrggghhhhh...., Oh, Tuhan, jika begini caranya, sepertinya aku akan sampai kosan pukul 8 malam.

"Terserah!" jawabku kesal.

Steven tertawa, entah mengapa dia tertawa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otakknya ketika ia menertawakan aku. Apa aku terlihat lucu? Apa ceritaku terdengar lucu? Apa kalian menganggapku lucu? Ini tidak lucu, aku tidak mau gagal.

"Maaf, ya Sandra. Sebenarnya aku mau, nyetir lebih cepat supaya cepat sampai. Tapi mau gimana lagi, aku sudah janji sama Papa kamu buat jagain kamu. Jadi..., prinsip perjalanan kita hari ini adalah pelan-pelan asal selamat, ok?"

Aku menatapnya dengan serius, aku tidak percaya Steven memanggil namaku dengan nada seperti itu. Biasanya dia memanggilku dengan sebuatan 'anak baru' atau 'asisten', jarang sekali dia memanggil namaku. Apalagi dengan nada suara barusan, andai saja waktu bisa di ulang, aku akan merekam suaranya hanya untuk kuulang-ulang ketika sedang suntuk sendirian di kost.

Ms. Newbie, Mr. Boss, & Mdm. DevilWhere stories live. Discover now