XLIV

352 77 63
                                    

            Teknisnya, hampir semua kembali ke ruangannya masing-masing, kembali tidur. Hanya ada aku, David, dan Dayne yang masih terjaga. Ada beberapa hal yang harus kubicarakan dengannya, yang kemungkinan tak bisa dilakukan bila terlalu banyak orang. Lagipula aku sudah tak mood untuk kembali tidur.

Kami bertiga duduk di salah satu ruangan tanpa atap dengan pipa-pipa kecil yang mengalirkan air. Aku masih ingat, aku juga diam dengan Mark di sini saat membahas soal Dayne dahulu. Bukan pilihan yang bijak mengingat udara malam ini terlewat dingin, tapi aku tak bisa bohong. Suasana di dalam ruangan yang pengap membuat otakku tak dapat berpikir dengan baik, atau bahkan otak yang lainnya. Terlebih lagi dengan kejadian tadi. Kurasa baik David ataupun Dayne setuju untuk berdiam diri di sini. Kau tahu, udara jernih, pikiran jernih.

Kami bertiga duduk di bangku kayu yang cukup panjang. Dayne duduk di kanan, aku di tengah, sementara David di sebelah kiriku, bersandar, kedinginan. Kami hening untuk beberapa saat, dan tentu saja, Dayne tak akan memulai obrolan lebih dulu karena ia kehilangan kemampuan untuk bicara. Aku tak mengerti bagaimana teknisnya, dan akupun tak berniat bertanya soal itu. Entahlah, kupikir itu akan membuatnya tak nyaman.

Aku berpikir sesaat, mencoba mencari pembukaan obrolan yang tepat. Aku bukan tak merindukannya, hanya saja ini sudah sekian lama sejak terakhir kali kami bertemu. Dari sekian banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku, aku hanya tak bisa memutuskan apa yang akan kutanyakan terlebih dahulu. Dan lagi, Dayne terasa seperti orang yang berbeda. Maksudku kau tahu bagaimana kacau dan kekanak-kanakannya ia dahulu. Ia akan berbicara soal hal-hal tak penting berjam-jam lamanya. Ia akan tertawa pada hal yang bahkan tak kudapati lucu. Ia akan tersenyum lebar saat ia menceritakan hal-hal yang disukainya. Dan kini, Dayne yang kulihat di depanku, diam, kaku, penuh luka dan trauma.

"Dayne,... aku tak menyangka aku masih bisa melihatmu lagi" kata David. Ia masih dalam posisinya, bersandar padaku.

"..." Dayne melirik sebentar, kemudian mengeluarkan sebuah pena dari saku bagian dalam jubahnya. Ia kembali melirik David, menarik tangannya sampai David terperanjat, kemudian mulai menulis sesuatu di telapak tangan David.

"Aku juga. Satu-satunya alasanku bertahan hidup adalah untuk melihat kalian lagi"

Aku mendekat ke arah David, ikut membaca apa yang Dayne tulis. Setelah membacanya, aku melirik Dayne. Ia kuat. Ia mampu bertahan hidup sejauh ini. Ia lebih kuat dibandingkan aku, atau dibandingkan Mark sendiri. Dayne balik melirik ke arahku, kemudian menarik tanganku, menulis sesuatu.

"Sekarang aku sudah melihat kalian, aku bisa mati dengan tenang di sini"

Aku menatap telapak tanganku, membacanya. Aku membuka mulutku sedikit, terguncang dengan apa yang ditulisnya. Apa maksudnya ini? Ia sudah bertahan hidup sejauh ini, dan mengapa yang ia bahas hanya kematian? Aku dan David kembali menatap Dayne, mempelajari tubuhnya. Ia menunduk. Matanya mati, kehilangan cahayanya. Aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana rusak bibir dan dagunya. Tangannya penuh luka dan goresan-goresan kecil yang mulai mengering. Posturnya jauh lebih bungkuk dari pertama kali kami bertemu. Senyumnya hilang.

Aku mengambil secarik kain dan membasahinya di pipa-pipa kecil, lalu menghapus tulisan yang ada di telapak tanganku. Aku menghembuskan nafas panjang, dan kembali bertanya.

"Dayne,... apa maksudmu? Kau sudah bertahan sejauh ini. Kita pasti akan kembali seperti semula, bertahanlah sebentar lagi" kataku memohon. Ini menyedihkan.

Ia kembali melirikku dan menarik tanganku untuk kembali menulis. Kali ini ia membutuhkan waktu lebih lama. Tangannya yang rusak gemetar, mencoba menulis di tanganku yang sama rusaknya. Saat ia sadar telapak tanganku tak cukup luas untuk jadi area tulisnya, ia menarik tanganku yang lain, mencoba menulis di telapak tangan kiriku. Setelah selesai menulis, ia langsung menghadap ke arahku dan mengistirahatkan kepalanya di bahuku, lelah. Lelah dengan semuanya.

"El, kau tak mengerti. Aku memang ingin mati. Aku bersumpah aku lebih memilih mati saat Yuki meninggalkanku sendirian saat itu. Aku lebih memilih mati saat aku sadar tenagaku habis bahkan untuk sekedar berjalan. Aku lebih memilih mati saat aku terkapar karena kelaparan. Aku ingin mati, El. Aku ingin mati."

Astaga, Dayne...

"Tapi aku tak bisa. Fakta bahwa aku mati sendirian, ditinggalkan, dilupakan, aku tak bisa. Itulah mengapa aku bertahan hidup, untuk bertemu kalian satu kali lagi. Untuk mati dengan tenang. Kuharap kau mengerti. Aku tak ingin bertahan lebih lama lagi"

Aku tertegun, terhempas, terpukul. Rasanya seperti duduk di rel kereta api kemudian kereta melaju dengan cepat ke arahku tanpa peringatan. Ini terlalu menyakitkan untuk dibaca. Aku yakin David merasa terpukul juga setelah membacanya. Ia memeluk tanganku erat-erat dan kembali bersandar, hanya saja kini kedua bahuku terasa basah. Kuyakin mereka berdua menangis di bahuku. Aku menarik nafasku panjang, menggenggam kedua tanganku dengan erat, berharap tak pernah membaca tulisan itu. Berharap tulisan itu hancur di tanganku sebagaimana hancurnya hatiku, dan mungkin hatinya. Aku harap aku tak menangis, namun nasib berkata lain. Bulir-bulir air asin itu akhirnya meleleh juga dari mataku, menetes ke dagu, kemudian ke pahaku. Dan kini, kami bertiga, manusia-manusia putus asa menangis. Menangisi takdir kami.

Waktu berlalu. Aku kembali ke ruanganku untuk tidur. Aku menatap langit-langit ruangan, membiarkan pikiran-pikiran itu masuk ke otakku, menambah beban kepalaku. Semua hal terasa berantakan. Bahkan terkadang aku tak bisa membedakan antara ilusi dan kenyataan. Aku melihat telapak tanganku, sekilas membaca tulisan Dayne lagi. Air mata kembali turun dari kedua mataku. Aku menggenggam tanganku rapat-rapat, berdoa. Berdoa agar apapun yang kulihat hanyalah ilusi. Berdoa bahwa sebenarnya aku adalah pasien rumah sakit jiwa yang senang berhalusinasi. Aku memukul wajahku sendiri. Sakit. Membuktikan bahwa aku tak sedang berkhayal. Oh Tuhan,... aku harap saat aku bangun besok, semua ini hanya ilusi.

"SEKARANG! SEKARANG! SEKARANG!"

Aaah,... aku masuk ke alam mimpi lagi. Yang pertama kudengar hanyalah teriakan-teriakan tak jelas yang memintaku untuk buru-buru. Aku menutup kedua telingaku, lelah. Aku ingin istirahat. Aku tak ingin melakukan apapun. Bahkan dalam tidur pun aku tak bisa tenang. Orang-orang masih berteriak padaku, menyuruhku melakukan sesuatu. Aku ingin mimpi indah.

"SEKARANG, EL! SEKARANG"

"SEKARANG WAKTUNYA!"

"CEPAT, EL! KAU KEHABISAN WAKTU"

"EL, LAKUKAN SEKARANG!"

Teriakan-teriakan itu semakin kencang, berulang-ulang. Seperti kaset rusak yang telah lama tak digunakan. Suara-suara itu beteriak tepat di sebelah telingaku. Kurasa mereka, siapapun itu ingin gendang telingaku pecah. Kurasa mereka ingin aku tuli. Kurasa mereka ingin aku kehilangan pendengaranku. Aku berjongkok, masih menutup telingaku, sebelum akhirnya kulihat seseorang berdiam di depan mulut gua, membelakangiku. Walau dari belakang, aku bisa melihat postur tubuhnya. Lelaki berambut putih dengan celana coklat yang terlihat longgar. Setelah beberapa saat, akhirnya ia berbalik ke arahku.

"KAKEK?!" teriakku segera setelah menyadari ia adalah kakekku.

"Lakukan sekarang, El" ucapnya pelan. Sedetik setelahnya, tangan-tangan busuk zombie itu menarik kakekku masuk ke dalam gua. Jumlahnya ratusan, atau bahkan ribuan. Aku berteriak sampai kakekku benar-benar menghilang dari bekas tempatnya berdiri, masuk ke dalam gelapnya gua.

Aku melotot. Nafasku terengah-engah seperti habis lari marathon. Aku yakin baru tidur sekitar 4 jam. Ini sudah pagi, kurasa sekitar jam 6 pagi. Aku reflek mengambil selimut atau kain apapun yang ada di dekatku untuk menutupi kakiku. Udaranya semakin dingin, dan aku masih lelah dengan mimpiku. Aku paham betul apa maksud dari mimpiku kali ini. Kakek ada di sana, di mulut gua, dan menyuruhku untuk melakukannya sekarang. Aku membulatkan niatku. Aku akan pergi ke gua itu hari ini juga.

Aku bangkit, keluar dari ruanganku sambil memegang kepalaku yang terasa berat itu. Bisa kulihat Ex dan David berdiri, menatap jendela, tak bergerak sama sekali. Aku menghampiri mereka, menepuk pundaknya.

"Hei, ada apa?" tanyaku pada keduanya.

"Saljunya mulai turun" ucap David tanpa menoleh ke arahku. Ia terpaku.

"Mam, waktunya telah tiba" kata Ex menoleh ke arahku dan menggenggam tanganku, membuatku merinding.



----------------------------------------------------------------

hehehehehehehehehehehehe yo siap-siap perpisahan sama author :D

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now